1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Saatnya Menghentikan Kegaduhan Di Kabinet

29 Juli 2016

Pelantikan sudah dilakukan. Serah terima jabatan sudah dilewati. Pesta akan segera usai. Pekerjaan berat sudah menanti para pembantu Presiden di kabinet. Ikuti perspektif Ade Wahyudi berikut ini.

Indonesischer Präsident Joko Jokowi Widodo
Foto: Reuters

Presiden Joko Widodo (Jokowi) Rabu lalu melakukan reshuffle kabinet. Perubahan kabinet yang cukup besar, karena Presiden langsung mengganti 12 menterinya. Dari jumlah itu, sembilan menteri merupakan nama-nama baru. Sedangkan sisanya, hanya berubah posisi saja.

Lepas dari apapun alasannya dan kontroversi nama-nama yang dipilih, Presiden sudah menggunakan hak prerogatifnya. Pelantikan sudah dilakukan. Serah terima jabatan sudah dilewati. Pesta akan segera usai. Pekerjaan berat sudah menanti para pembantu Presiden di kabinet.

Masih jauh dari target

Di sektor ekonomi misalnya, capaian pemerintah masih jauh dari target yang ditetapkan. Pertumbuhan ekonomi kuartal I 2016 mencapai 4,9 persen, di bawah target 5,2 persen. Target pajak 2016 sebesar Rp 1.822,5 triliun baru tercapai 33 persen.

Ancaman lainnya adalah defisit anggaran. Sampai pertengahan tahun ini, defisit anggaran mencapai 1,83 persen dari (Produk Domestik Bruto) atau sebesar Rp 276,5 triliun.

Defisit terjadi karena laju realisasi penerimaan lebih rendah dibandingkan belanja negara. Jika tidak segera ada langkah-langkah kongkrit, defisit bisa melewati tiga persen, batas maksimal yang diperbolehkan sesuai dengan Undang-Undang Keuangan Negara.

Infografik Menteri-menteri baru. Sumber grafik: KATADATA

Kepelikan sektor migas

Di sektor migas, masalah yang dihadapi tak kalah pelik. Cadangan minyak dan gas Indonesia terus menurun. Ini karena eksplorasi yang juga terus menurun akibat tidak stabilnya harga minyak. Penyebab lainnya adalah tidak menariknya insentif yang diberikan sehingga investor enggan menanamkan modalnya di Indonesia.

Untuk menyelesaikan permasalahan di sektor ekonomi, migas dan banyak lainnya, perlu ada pemerintahan yang solid. Perselisihan antar menteri di media, seperti yang terjadi pada kabinet sebelumnya, harus dihentikan.

Sebelum terjadi reshuffle, Presiden Joko Widodo seakan-akan tidak memiliki kontrol terhadap menteri-menteri di kabinetnya. Menteri-menteri bisa saling mengkritik dan berseteru terbuka di media.

Menteri Koordinator Bidang Maritim Rizal Ramli salah satu contohnya. Rizal sebenarnya belum lama menjabat menteri. Ia ditunjuk oleh Presiden saat terjadi reshuffle pertama pada Agustus 2015.

Penulis: Ade WahyudiFoto: Ade Wahyudi

Namun baru beberapa hari menjadi menjabat, Rizal langsung berseteru terbuka dengan beberapa menteri. Ia umpamanya meminta pembatalan pembelian 30 pesawat Airbus 350 oleh Garuda. Padahal soal ini bukan ada di ranah kerja Menko Maritim, namun Menteri BUMN.

Rizal kemudian juga berkonflik dengan Menteri ESDM Sudirman Said soal proyek listrik 35 ribu megawatt. Rizal meminta proyek ini dievaluasi karena menurutnya tidak mungkin tercapai. Untuk persoalan yang sama, ia juga mengkritik Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Rizal bahkan tak segan-segan menantang Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk debat terbuka mengenai proyek listrik 35 ribu megawatt.

Mengatur kembali barisan

Dalam soal pengembangan Blok Masela di Maluku, Rizal Ramli kembali berkonflik dengan Sudirman Said. Rizal berkeras pengembangan Blok Masela dilakukan di darat (onshore),sedangkan Sudirman Said memilih pengembangan di laut (offshore). Presiden Jokowi akhirnya memutuskan pengembangan di darat.

Presiden kini sudah merombak kembali susunan kabinet. Reshuffle kedua yang dilakukan Presiden Jokowi kali ini harusnya menjadi momentum untuk mengatur kembali barisan. Ekonomi dunia sedang bergejolak. Satu-satunya jalan melewati "badai" ini adalah dengan bekerja sama mencari jalan-jalan terobosan.

Setidaknya dari nama-nama yang masuk di kabinet baru, khususnya di sektor ekonomi, memunculkan harapan di publik. Kini tinggal bagaimana kabinet baru ini mewujudkan harapan-harapan perbaikan. Dan itu tidak akan bisa terjadi bila menteri-menteri terus berseteru di media.

Penulis:

Ade Wahyudi, managing director KATADATA.