Kisah hidup sastrawan nyentrik, Franz Kafka, ditangan penulis Indonesia hadir dengan nuansa berbeda. Kegelisahan hidup penulis asal Praha itu diracik Triyanto Triwikromo dan dibalutnya dengan filosofi Jawa.
Foto: DW
Iklan
Tiga bulan lamanya, Triyanto Triwikromo menelusuri jejak Franz Kafka, penulis berbahasa Jerman yang hidup 93 tahun lalu di Praha, Ceko. Tak hanya di Praha, penulis cerita pendek itu juga mengunjungi lokasi yang dituliskan Kafka dalam bukunya yang legendaris berjudul Metamorfosa atau judul aslinya Verwandlung.
Buku itu pula yang menjadi inspirasi Triyanto untuk menulis ulang buku biografi Kafka dan menamai buku versinya dengan judul Metamorkafka. Kafka yang dikisahkan pria kelahiran Salatiga tersebut, menjadi aktor utama dalam bingkai cerita yang diciptakan Kafka dalam Metamorfosa. Triyanto tak hanya merekonstruksi ulang kisah Kafka dalam bentuk roman biografi, tapi ia juga menyisipkan buah pikiran dari budaya Jawa.
Buku Metamorfosa karya Kafka mengubah pandangan dunia mengenai bagaimana sastra bisa ditulis dengan cara berbeda.Foto: public domain
"Saya tidak sekadar menuliskan biografi, tapi saya ingin menulis sisi gelap kehidupan Kafka. Jadi tak selamanya kisah Kafka dan Dora sangat romantis, namun saya balik," ujar Tiryanto menambahkan. "Bagi saya Kafka itu andai kata lahir di Jawa akan menulis novel yang sama, karena di Jawa kehidupan yang ditulis Kafka itu biasa saja. Dalam realisme Jawa apa yang tampak dan tidak tampak itu bersilang tempur dalam manusia Jawa tanpa dibedakan. Kesetanan dan Ketuhanan dalam tubuh orang Jawa hanya atribut yang saling berdampingan tanpa perlu dipertentangkan."
Suasana kental budaya Jawa turut dihadirkan Triyanto saat membaca bab pertama dari Metamorkafka di ruang kelas Bahasa Indonesia di gedung Studi Asia Universitas Bonn pada hari Senin (27/11). Ia mendendangkan lagu Jawa bertema Api untuk menggambarkan kisah Kafka di pantai Laut Timur Ostsee.
Roman Kafka Guratan Penulis Indonesia
01:25
This browser does not support the video element.
Triyanto Triwikromo hanya satu dari belasan penulis yang mendapat dukungan beasiswa dari pemerintah Indonesia dalam program residensi untuk melakukan riset di negara-negara Eropa. Ia memilih untuk menulis Kafka di Berlin karena merasa ada ikatan pribadi dengan negara yang pernah ditempati Kafka sebelum akhirnya meninggal di Praha.
"Saya merasa teman saya paling dekat di Jerman adalah Kafka meski dia lahir di Praha. Selain itu saya merasa dekat dengan pikiran Max Horkheimer yang mengatakan puncak rasionalitas adalah irrasionalitas dan puncak irrasionalitas adalah rasionalitas. Menurut saya, itu adalah kristalisasi pemikiran Jawa," kata wartawan di Suara Merdeka tersebut.
Sejak Indonesia menjadi tuan rumah di Frankfurt Book Fair tahun 2015 lalu, pemerintah serius melirik pasar Eropa dengan mendukung para penulis melakukan riset untuk memperkaya penulisan buku-buku mereka.
Indonesia Terus Kembangkan Sayap di Pameran Buku Frankfurt 2017
Di Frankfurt Book Fair 2017, Indonesia memboyong ratusan judul buku. Bagaimana sepak terjang Indonesia di pameran buku terbesar di dunia ini?
Foto: DW/A.Purwaningsih
Kembali tampil di Frankfurt
Indonesia kembali berpartisipasi dalam ajang pameran buku 'Frankfurt Book Fair'. Dalam ajang salah satu pameran buku terbesar sedunia ini, Indonesia memboyong sekitar ratusan judul buku.
Foto: DW/A.Purwaningsih
Sejak jadi tamu kehormatan...
Ketua Komite Buku Nasional, Laursa Prinsloo menjelaskan, sejak Indonesia menjadi tamu kehornatan pameran buku Frankfurt 2015, cukup banyak perkembangan dalam dunia literasi di tanah air, dimana kini mulai diciptakan strategi untuk bisa memasarkan buku-buku Indonesia berkualitas di mancanegara, misalnya lewat bantuan subsidi riset dan pelatihan promosi bagi penulis.
Foto: DW/A.Purwaningsih
Program residensi bagi penulis
Subsidi riset bagi penulis diberikan lewat program residensi bagi penulis untuk melakukan riset di mancanegara. Mereka tersebar hingga ke Inggris, Belanda dan Portugal. Salah satu peserta residensi adalah Zaky Yamani penulis buku "Bandar: Keluarga, Darah dan Dosa yang Diwariskan". Untuk keperluan risetnya, ia bermukim selama tiga bulan di Portugal.
Foto: DW/A.Purwaningsih
Diminati pengunjung
Stand Indonesia cukup banyak diminati pengunjung. Banyak di antara mereka yang melakukan janji temu dengan sejumlah perwakilan penerbit Indonesia yang berpartisipasi dalam pameran kali ini.
Foto: DW/A.Purwaningsih
Buku anak digemari
Buku anak Indonesia yang dipamerkan di Frankfurt Book Fair 2017 banyak peminat. Beberapa penerbit Indonesia yang memamerkan buku anak mengatakan banyak sekali penerbit dari luar negeri yang tertarik untuk membeli hak cipta buku-buku tersebut.
Foto: DW/A.Purwaningsih
Di tanah air bersaing dengan Korea
Meski demikian Noni Timotius dari penerbit Bhuana Ilmu Populer menjelaskan, buku-buku Indonesia di tanah air sendiri juga masih harus bersaing dengan buku-buku dari mancanegara terutama Korea Selatan, yang banyak diminati orangtua untuk diberikan kepada buah hati mereka, mengingat banyaknya unsur pendidikan dalam buku-buku tersebut.
Foto: DW/A.Purwaningsih
Ajang diskusi dalam pameran buku
Dalam pameran buku kali ini, Indonesia juga tampil dengan berbagai diskusi. Salah satu di antaranya adalah diskusi tentang toleransi di Indonesia, yang menghadirkan penulis Zaky Yamami, Avianti Armand dan Ben Sohib. Ketiganya juga mengikuti program residensi Komite Buku Nasional.
Foto: DW/A.Purwaningsih
Pembacaan buku
Sejumlah buku juga dibacakan oleh para penulis Indonesia, seperti Wajah Terakhir karya Mona Slyviana dan karya-karya Zen Hae yang terkenal dengan tulisan-tulisannya yang ironi dan penuh humor. (Ed: Ayu Purwaningsih/TS)