1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Salman Rushdie: Sastrawan Tidak Punya Tentara

20 Oktober 2023

Setelah menyintasi serangan senjata tajam yang membutakan mata kanannya, penulis Inggris berdarah India, Salman Rushdie, berbincang dengan DW di ajang Pameran Buku Frankfurt, antara lain untuk mempromosikan buku barunya.

Sir Salman Rushdie
Sir Salman RushdieFoto: Andrew Matthews/AP/picture alliance

Salman Rushdie jarang muncul di depan umum, terutama sejak mengalami serangan brutal pada Agustus 2022 yang membuatnya kehilangan penglihatan pada salah satu matanya. 

Penulis buku pemenang penghargaan Booker "Midnight's Children" (1981) dan "The Satanic Verses" (1988) itu tampil di Pameran Buku Frankfurt untuk mempromosikan novel terbarunya, "Victory City" (Kota Kemenangan), dan menerima Hadiah Perdamaian Industri Buku Jerman pada tanggal 22 Oktober mendatang. 

DW menemui penulis untuk mendiskusikan kesembuhannya dan kekuatan sastra. Berikut kutipannya:  

DW: Hadiah Perdamaian Industri Buku Jerman tidak hanya diberikan atas karya seni tetapi juga atas pemahaman internasional dan, dalam kasus Anda, komitmen terhadap kebebasan di dunia. Apa arti penghargaan ini bagi Anda? 

Salman Rushdie: Penghargaan ini sangat penting. Saya rasa, kita semua di dunia buku sudah familiar dengan penghargaan ini. Dan banyak sekali orang besar yang pernah mendapatkannya. Jadi saya sangat bersyukur bahwa nama saya kini ditambahkan ke dalam daftar tersebut. 

Bagaimana kabar Anda hari ini, hanya 14 bulan setelah Anda terluka parah dalam sebuah serangan? 

Seperti yang Anda lihat, saya merasa sudah pulih. Maksudnya, saya sedikit babak belur, tapi saya baik-baik saja. 

Dalam sebuah wawancara dengan mingguan The New Yorker pada bulan Februari, Anda mengatakan sempat menderita writer's block sejak serangan itu. Tapi beberapa hari lalu, Anda diumumkan akan menerbitkan buku baru ("Knife") pada awal tahun depan, yang mengupas serangan tersebut dan konsekuensinya bagi Anda. Bagaimana Anda menemukan jalan pulang untuk bisa kembali menulis? 

Saya saat itu baru saja kembali. Segera setelah diwawancari oleh The New Yorker, gagasan menulis mulai mengalir kembali. Jadi saya senang bisa menulis buku ini, yang akan terbit pada musim semi. 

Apa yang membantu Anda? 

Anda tahu, saya cuma berlatih saja. Saya sudah melakukan pekerjaan ini sejak lama. Pada akhirnya, itulah yang membuat Anda kembali bekerja. 

Mari kita bicara tentang buku Anda saat ini, "Victory City", yang diterbitkan tahun ini. Di dalamnya, Anda mengangkat kisah fiksi tentang naik turunnya kota abad pertengahan Bisnaga di India selatan, di mana pria dan wanita dari berbagai agama hidup setara. Namun kekaisaran tersebut pada akhirnya musnah karena meninggalkan semua prinsip-prinsip dasar. Apakah ini respons kepada dunia kontemporer? 

Jika Anda menulis tentang sejarah, sampai pada batas tertentu, Anda juga menulis tentang masa kini, karena ketika kita melihat ke masa lalu, kita melihat apa yang menarik minat kita, kekhawatiran kita yang tercermin di masa lalu. 

Tapi sungguh, saya ingin menciptakan dunia saya sendiri. Ada banyak penulis yang melakukan hal ini, entah itu William Faulkner dengan Yoknapatawpha-nya, (Gabriel) Garcia Marquez dengan Macondo, atau penulis India R. K. Narayan dengan Malgudi. Saya menginginkan dunia kecil saya sendiri, dan kisah ini menjadi dunia itu. 

Beberapa kritikus melabeli buku Anda sebagai novel feminis. Apakah anggapan itu benar? 

Nah, salah satu hal menarik dari penelitian yang saya lakukan untuk buku ini adalah bahwa memang benar pada masa yang sangat lampau ini — yang sedang kita bicarakan adalah abad ke-14 dan ke-15 — kedudukan perempuan dalam banyak hal di masyarakat sudah sangat maju.  

Saat itu, ada banyak perhatian yang diberikan kepada pendidikan anak perempuan, dengan jumlah sekolah untuk anak perempuan yang hampir sama banyaknya dengan sekolah untuk anak laki-laki. Perempuan bekerja di segala bidang kehidupan: di militer, di bidang hukum, atau sebagai pedagang, dan sebagainya. 

Itu memang benar, tapi tentu saja, yang penting dalam sejarah adalah tidak ada yang benar sepanjang waktu. Dan karakter saya Pampa Kampana, yang dengan cara menceritakan kisah yang saya ceritakan kembali, mengalami pasang surut kehidupan, ada saatnya dia menjadi ratu, dan ada saatnya dia diasingkan di hutan. 

Dan menurut saya hal itu juga berlaku pada nilai-nilai di masyarakat. Ada saat-saat ketika mereka bersikap liberal, toleran dan terbuka, dan ada saat-saat ketika mereka menjadi tidak liberal dan tidak toleran. Saya kira kehidupan manusia memang seperti itu. 

Fatwa yang dikenakan kepada Anda lebih dari 34 tahun yang lalu hampir membuat Anda kehilangan nyawa pada serangan tahun lalu. Mengapa para diktator dan orang-orang berkuasa begitu takut dengan sastra? 

Anda tahu, di banyak belahan dunia, diktator takut pada penyair. Dan ini sangat aneh karena penulis tidak punya tentara. 

Apa penjelasan Anda? 

Saya pikir mereka takut terhadap dunia alternatif yang kami ciptakan. Pemerintahan otoriter ingin memaksakan versi dunianya sendiri dan menjauhkan versi-versi yang lain. Tentu saja, semua penulis mempunyai versinya masing-masing tentang dunia dan terkadang hal itu tidak menyenangkan orang-orang yang berkuasa, sehingga mereka berusaha membungkam mereka. 

Di tengah perang yang terjadi saat ini antara Hamas dan Israel, apa yang bisa dilakukan oleh literatur untuk membantu? 

Sangat kecil. Anda tahu, saya selalu berusaha untuk tidak melebih-lebihkan kekuatan sastra. Apa yang dapat dilakukan para penulis – dan apa yang mereka lakukan – adalah mencoba mengartikulasikan penderitaan luar biasa yang dirasakan banyak orang saat ini dan membawa hal tersebut ke lingkup perhatian dunia. Saya pikir, para penulis di mana pun sedang melakukan hal tersebut saat ini, dan mungkin itulah hal terbaik yang bisa kita lakukan: mengartikulasikan akar masalahnya. 

Apakah Anda mengatakan bahwa kata-kata kehilangan makna di medan perang? 

Saya hanya berpikir, ada hal-hal yang tidak bisa dilakukan dengan kata-kata, dan yang tidak bisa dilakukan kata-kata adalah menghentikan perang. 

Korban pertama dalam perang adalah kebenaran karena semua pihak akan mengakui propagandanya masing-masing. Dan itu sangat sulit jika Anda tidak bisa membedakan fakta dan fiksi di zona perang. 

Jadi menurut saya masalah yang harus dihadapi wartawan dan jurnalis saat ini adalah bagaimana membuktikan fakta. Dan jika jurnalisme dapat melakukan hal tersebut, maka jurnalisme telah memberikan layanan publik yang sangat berharga. 

rzn/hp 

Stefan Dege Editor dan penulis di departemen DW Culture
Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait