Saat Cabai dan Sambal jadi 'Katalis' Pertemuan dan Interaksi
22 Juli 2025
Saat pandemi Covid-19 melanda ditahun 2020, seniman asal Bandung, Vincent Rumahloine memutar otak untuk terus berkarya. "Saya seniman tapi waktu itu kan mau pameran ga bisa, jadi kita ngapain ya?” jelasnya. Akhirnya bersama Mang Dian, seorang petani urban yang tinggal tak jauh darinya, Vincent memutuskan untuk menanam cabai dan membagikan hasil benihnya lewat program "sedekah benih”. Cabai jadi pilihan karena dapat dipanen setelah 90 hari dan dapat diolah jadi sambal.
Dalam 90 hari proses benih tumbuh dan berbuah cabai, Vincent semakin memahami dampak positif musik bagi pertumbuhan tanaman, sebagaimana dijelaskan dalam banyak studi. "Dahulu alat musik Karinding sering dimainkan masyarakat Sunda sebagai ritual sebelum menanam. Nah saya mulai sadar dampaknya ke tanaman, selain itu di Indonesia sering kan dengar ‘sering-sering ngobrol sama tanaman' nah ternyata benar ini membantu,” ujar Vincent.
Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Sebagai seniman kontemporer dengan proyek seni lintas disiplin, Vincent terus mencari cara bagaimana membuat seni dan sains bisa mudah diterima dan pada akhirnya menemukan solusi bersama masalah lingkungan. Dari program sedekah benih, ia pun berkolaborasi dengan Goethe Institute Bandung ia pun menggelar "Konser tanaman” di tahun 2021.
Ternyata tanaman cabai membawa Vincent berkarya hingga ke Jerman. Pada tahun 2021 ia berhasil masuk enam besar proyek "Driving the Human” yang didukung kementerian lingkungan hidup Jerman. Proyek ini ingin menjawab pertanyan bagaimana pengetahuan tradisional menyelesaikan masalah ekologi.
Pada tahun 2022 proyek final "Driving the Human” ditampilkan di Silent Green Berlin dalam wujud instalasi rumah kaca indoor. Proyek ini yang menghubungkan seni, sains, dan komunitas lewat tanaman.
Masih di tahun yang sama, Vincent turut mendirikan saung bambu dengan tanaman cabai di Weizenhaus, Pforzheim. Di saung bambu inilah orang-mulai berinteraksi satu sama lain membahas topik seputar tanaman, "Tanaman bisa jadi katalis orang bertemu dan berinteraksi,” jelas seniman asal Jabar tersebut.
Tanaman-tanaman yang digunakan Vincent dalam instalasi seni ini ditanam di Jerman oleh seorang ahli cabai Jerman, Alexander Hicks, yang dibantu dengan Mang Dian, petani urban Bandung yang datang khusus ke Mannheim untuk merawat tanaman-tanaman cabai tersebut.
"Cabai itu tidak sekedar pedas dan panas, Cabai itu punya rasa yang beragam dan kita bisa memadukannya dengan bahan-bahan lainnya untuk aroma dan rasa yang berbeda,” kata Alex.
Alex sangat senang bisa berkolaborasi dengan Vincent, meski diakuinya tidak mudah menumbuhkan cabai-cabai Indonesia di Jerman, "Sulitnya menanam cabai di Jerman - karena cuaca yang tidak dapat diprediksi. Seperti sekarang bulan Juli, musim panas tapi sering hujan. Sedang tanaman cabai butuh matahari untuk fotosintesis dan memproduksi gula untuk pertumbuhan dan perkembangannya,” jelasnya.
Dari cabai sampai demo menyambal
Di Indonesia, cabai merupakan bahan baku penting yang hampir ada di setiap rumah. Sambal bukan sekedar saus sampingan untuk makan tapi jadi konsumsi sehari-hari masyarakat. Jika harga cabai fluktuatif ini dapat membebani masyarakat terutama mereka yang berpenghasilan rendah. Bahkan dalam laporan tahunan Bank Indonesia akhir 2024 hingga awal 2025 disebutkan bahwa fluktuasi harga cabai berpengaruh pada pergerakan inflasi harga pangan di Indonesia.
"Kalau harga cabai mahal, sering jadi kepanikan massal. Tukang gorengan kasih cabai sedikit, berarti cabai lagi mahal ya. Sambal itu bukan sampingan di meja makan - tapi ‘lem' yang menghubungkan setiap makanan,” kata Vincent.
Awalnya demo menyambal ini dibuat Vincent di Bandung. "Keganggu dengan laki-laki yang bilang: Oh kalau cari istri, cari yang pinter nyambal. Soalnya cara nguleknya bener, goyangnya juga enak. Ini stigma yang ingin saya ubah.” Alhasil 120 orang ikut lomba sambal ini, dan pemenangnya adalah laki-laki.
Sambal nyatanya bisa mempertemukan orang tidak hanya di Bandung tapi di Eropa. Ide lokakarya ini pun berlanjut hingga ke Berlin. "Awalnya kita buat di Praha karena Alex panen banyak jadinya kita bikin lokakarya sambal dan ternyata banyak yang tertarik. Jadi ini kali keempat membuat lokakarya sambal di Berlin. Awalnya mungkin banyak yang takut pedes, tapi ternyata setelah jadi, sambal bisa juga enak”
Bagaimana jika kepedasan?
"Tidak ada percakapan hangat yang dimulai dengan salad,” kata Alex saat membuka lokakarya membuat sambal bersama beberapa peserta asal Jerman di Berlin. "Cabai bisa menaikkan rasa makanan. Jadi kalau makanan enak diberi sambal, makanan itu makin enak, dan dengannya kita jadi senang, makan bersama teman jadi menyenangkan, dan kita jadi terhubung dengan mudah dengan orang lain.”
Dalam lokakarya tersebut, beberapa orang berpraktik membuat sambal menggunakan ulekan. Beberapa menunjukkan kemampuan alami saat menggerus bawang putih, bawang merah, hingga cabai lumat, beberapa lainnya nampak ‘berjuang keras' menggerus bahan-bahan tersebut, memastikannya tidak ‘melarikan diri' dari ulekan.
"Buatnya tidak susah, yang susah itu membuat sambal terasa enak tidak cuma pedas,”kata Carlsten. Ia mencoba membuat sambal dengan memadukan cabai bahan lokal Jerman, seperti rasberi dan basil.
"Biasanya saya beli sambal ulek di toko turki atau di toko Asia, tapi ini berbeda rasanya saat mengolahnya sendiri dari bahan-bahan yang segar,” kata Victor, salah satu peserta lokakarya.
Cabai secara tradisional bukanlah bagian dari kuliner Jerman. Kebanyakan orang Jerman mendeskripsikan pedas lewat mustar. Namun seiring banyaknya kaum pendatang, membuat kuliner international bercitarasa pedas dari Amerika Selatan dan Asia kian meramaikan dunia kuliner Jerman.
Seringkali saat kepedasan orang mencari susu atau makanan berminyak, tapi Alex lebih memilih memakan sambal secara perlahan. "Seringkali orang merasa kuat pedas dan langsung ‘hajar' memakan sambal sampai kepedasan, tapi sebaiknya nikmati rasa pedas itu, naikkan levelnya pelan-pelan. Kalau ada sensasi terbakar baiknya berhenti sejenak, tarik nafas, nanti saat sudah kembali reda bisa makan lagi.” Dengan makan pelan-pelan ini kita lebih "memperlakukan sambal dengan hormat” dan nikmatnya terasa.
Editor: Hendra Pasuhuk