Sejak menjadi tamu kehormatan di Pameran Buku Frankfurt 2015 silam, Indonesia rajin mempromosikan sastra nasional di luar negeri. Upaya itu disokong oleh Litri, dana penerjemahan pemerintah, yang ironisnya minim dana.
Iklan
"Suara kita perlu disampaikan," kata Direktur Litri, Anton Kurnia, dalam sebuah wawancara. Sebab itu "penerjemahan sastra kita penting untuk memperkenalkan karya kita kepada dunia."
Kesempatan tersebut muncul di arena Pameran Buku Internasional Frankfurt, Jerman. Sejak menjadi tamu kehormatan tahun silam, Indonesia mulai dilirik penerbit asing sebagai lahan menggali cerita. Terutama kehadiran penulis muda seperti Lakshmi Pamuntjak, Leila S. Chudori atau Eka Kurniawan yang tidak jengah bersinggungan dengan isu-isu sensitif bisa memperkuat daya pikat sastra nusantara.
Tapi berbeda dengan tahun lalu yang riuh, kali ini Indonesia tampil sederhana di Frankfurt Book Fair. Selain gerai nasional yang didesain modern menyerupai sawah terasering oleh duo Avianti Armand dan Andro Kaliandi, Indonesia cuma memiliki sebuah tenda kecil sebagai tempat pertunjukan.
Greget Indonesia di Pameran Buku Frankfurt
Sebagai tamu kehormatan, Indonesia menyihir publik Jerman di pameran buku terbesar sejagad, Frankfurt Book Fair 2015. Selain karya sastra, tuan rumah juga disuguhi musik, desain dan kuliner dari tanah air.
Foto: DW/R. Nugraha
Rasa, Bahasa dan Telinga
Untuk pertamakalinya publik Jerman bisa mencicipi Indonesia secara intim, yakni lewat Frankfurt Book Fair. Untuk itu komite nasional menyiapkan lebih dari 300 acara dan sebuah paviliun yang menyapa panca indera pengunjung yang ada.
Foto: DW/R. Nugraha
Suasana Mistis di Pavilun
Paviliun Indonesia yang diracik Muhammad Thamrin mengusung desain beraroma mistis, dengan lampu temaram kebiruan yang membuat setiap pengunjung seakan figur yang terbuat dari bayangan dan siluet, layaknya wayang Jawa.
Foto: DW/R. Nugraha
Membau Indonesia
Thamrin berupaya menghadirkan pengalaman unik buat pengunjung Jerman. Selain memanjakan mata dan telinga, publik juga disajikan aroma bumbu dan rempah khas Indonesia. Untuk itu panitia membawa ekstra 400 kilogramm bumbu dari tanah air.
Foto: DW/R. Nugraha
Pulau Budaya di Lautan Kata-kata
Ketika mendapat tanggungjawab mendesain paviliun, Muhammad Thamrin diberi tugas menghadirkan laut dan kepulauan Indonesia dalam desainnya. Setelah berpikir lama, ia akhirnya mendesain lautan lampion bertuliskan puisi dan kutipan prosa dengan tujuh pulau yang dibedakan sesuai jenisnya, seperti Island of Tales yang menyajikan dongeng anak, atau island of images yang dihias dengan gambar-gambar komik
Foto: DW/R. Nugraha
Dendang Tsunami
Salah satu yang paling mengejutkan publik Jerman adalah penampilan grup musik Aceh, Rafly Kande. Hentakan rebana, gitar akustik dan alunan serunai Kalee yang dipadu dengan suara Rafly yang dinamis dan emosional menjadi pengalaman spesial buat pengunjung. Kekaguman penonton meledak ketika Rafly menjelaskan isi lagu yang berkisah tentang hutan gunung leuser, Tsunami dan semangat hidup.
Foto: DW/R. Nugraha
Merdu Puisi Sapardi
Penampilan lain yang tidak kalah menarik adalah musikalisasi puisi Sapardi Djoko Damono oleh Reda Gaudiamo dan Ari Malibu. Merdu suara kedua musisi merangkai bait-bait sederhana puisi Sapardi dalam lagu yang ringan dan menyentuh. Ini pun bisa dikatakan pengalaman baru buat publik Jerman yang hadir.
Foto: DW/R. Nugraha
Indonesia Lewat Imajinasi Jompet
Seniman Indonesia Jompet Kuswidananto turut menghadirkan karyanya dengan judul "Power Unit" yang dipajang di galeri seni Kunstverein, Frankfurt. Instalasinya itu mengingatkan akan aksi demonstrasi yang ramai dan meriah jelang pemilihan umum.
Foto: DW/R. Nugraha
Eko Menggugat
Seniman lain yang turut hadir adalah Eko Nugroho. Karyanya terkesan banal dengan gaya yang mirip sebuah oret-oretan grafiti. Tapi warna-warni dan pesan pada setiap karya seniman asal Yogyakarta ini membuktikan sebaliknya.
Foto: DW/R. Nugraha
"Bukan Politik, Tapi Takdir"
Salah satu gambar Eko berjudul "Bukan Politik, tapi Takdir," yang menyoal pengungsi. Pesan yang disampaikan Eko bahwa "setiap orang bermigrasi" sangat mengena dengan problematika kekinian yang dihadapi publik Jerman.
Foto: DW/R. Nugraha
9 foto1 | 9
Lewat lembaga penerjamahan itu, nantinya penerbit asing bisa meminta dukungan dana penerjemahan untuk karya-karya yang telah dibeli hak terbitnya. Insiatif tersebut diusung oleh Komite Buku Nasional sebagai bagian dari program promosi.
Terkendala Birokrasi
Tapi sebagaimana lazimnya, dana menjadi kendala terbesar mempromosikan sastra Indonesia di dunia. Rumitnya birokrasi di level pemerintah membuat promosi budaya lewat aksara itu sering terhambat.
Anton Kurnia misalnya mengklaim Litri kehilangan lebih dari 50% anggaran yang sudah dijanjikan tahun lalu. Hasilnya "penerjemahan buku yang bisa kami danai menjadi berkurang," tutur Anton. Dari 200 judul buku, Litri cuma mampu mendanai lima penerjemahan.
"Persoalannya ada pada teknis birokratis," kata Anton. Meski pemerintah berpandangan sama soal promosi sastra, "mereka belum bisa melepaskan diri dari aturan-aturan" yang mengikat tersebut, tambh direktur Litri itu.
Keberadaan Litri dinilai penting oleh banyak pihak. Pasalnya "menerjemahkan 200 halaman ke dalam bahasa Inggris menelan biaya sangat besar. Sementara kita tidak tahu bukunya laku apa tidak," kata Sari Meutia, Direktur Utama Mizan Group.
"Kita sangat membutuhkan penerjemahan sastra. Jadi setelah diterjemahkan ke bahasa Inggris misalnya, penerbit asing bisa lebih mudah mempelajarinya dan mengapresiasi karya tersebut," kata Siti Gretiani, Direktur Utama Gramedia. Dari sekitar 2000 judul yang diterbitkan rumah cetak terbesar Indonesia itu, tidak sampai 10% yang diadaptasi ke dalam bahasa asing.
Musik Indonesia di Tepi Sungai Main, Frankfurt
Yang tampil di Uferfest, 28-30 Agustus 2015 antara lain: Dira Sugandi, Kua Etnika (Djaduk Ferianto), Dwiki Dharmawan & Friends, Barong dan Gandrung Banyuwangi, Bonita & the hus-BAND, Tiara, Sri Hanuraga, JFlow, DJ Cream.
Foto: DW/H. Pasuhuk
Kua Etnika
Kua Etnika garapan pemusik kondang Djaduk Ferianto menampilkan penggalian musik etnis dengan pendekatan modern.
Foto: DW/H. Pasuhuk
Kua Etnika
Hentakan musik Kua Etnika langsung membuat penonton riuh rendah.
Foto: DW/H. Pasuhuk
Kua Etnika
Koordinator Komite Nasional Frankfurt Book Fair (FBF) 2015 Slamet Rahadjo pun didaulat naik panggung.
Foto: DW/H. Pasuhuk
Bonita & The hus-BAND
BONITA & The hus-BAND, kuartet akustik dari Jakarta dengan musik bercorak folk dan soul.
Foto: DW/H. Pasuhuk
Bonita & the hus-BAND
Dan suara lantang vokalis Bonita yang tak terlupakan.
Foto: DW/H. Pasuhuk
Dira Sugandi
Yang membuat pejalan kaki menghentikan langkah, untuk mendengar suara jazz-nya.
Foto: DW/H. Pasuhuk
Dira Sugandi
Sering diajak tampil oleh Incognito, sering manggung di Java Jazz Festival, dan sekarang tampil di Frankfurt.
Foto: DW/H. Pasuhuk
Dwiki Dharmawan & Friends
Dwiki Dharmawan mengajak kawan-kawan Eropanya memainkan Jazz kolaborasi Indonesia dan Eropa.
Foto: DW/H. Pasuhuk
Dwiki Dharmawan & Friends
Kelincahan jari-jari Dwiki di atas tuts piano Steinway & Sons.
Foto: DW/H. Pasuhuk
Orkes Gandrung Banyuwangi
Kelompok Barong Osing dan Gandrung dari Banyuwangi menyedot perhatian penonton.
Foto: DW/H. Pasuhuk
Orkes Gandrung Banyuwangi
Para penari asal Banyuwangi mengajak penonton ikut bergoyang di atas panggung.
Foto: DW/H. Pasuhuk
JFlow beraksi
Komponis dan rapper JFlow membakar semangat penonton dengan gayanya yang enerjik.
Foto: DW/H. Pasuhuk
JFlow beraksi
Dan para penonton perempuan pun maju mendekat ke panggung.
Foto: DW/H. Pasuhuk
DJ Cream
DJ Cream melakukan solo performance yang memukau dan membuat penonton setengah tersihir.
Foto: Hendra Pasuhuk
DJ Cream
Kecekatan tangan dan kemampuan multitasking melayani beberapa mesin sekaligus.
Foto: Hendra Pasuhuk
Mian Tiara (vokal) dan Sri Hanuraga (piano)
Mian Tiara (vokal) dan Sri Hanuraga (piano) menampilkan musik syahdu dengan alunan yang membuai.
Foto: Hendra Pasuhuk
Mian Tiara
Memukau penonton yang terpaku di terang matahari sore.
Foto: Hendra Pasuhuk
Mian Tiara
Penguasaan teknik dan pembawaan lagu yang mempesona dan penuh penghayatan.