Satu dari enam pekerja rumah tangga migran di Hong Kong adalah korban kondisi kerja paksa. Banyak yang menjadi korban perdagangan manusia, kata Justice Centre dalam laporan terbarunya.
Iklan
Hasil survey organisasi hak asasi Justice Centre di Hong Kong menunjukkan lebih 80 persen dari 336.600 pekerja rumah tangga (PRT) di wilayah itu dieksploitasi. Sebagian PRT harus bekerja 20 jam sehari.
"Hong Kong harus berbenah; pemerintah tidak bisa lagi hanya menyembunyikan masalah ini di bawah karpet," tulis Justice Centre dalam laporan terbarunya.
Perlakuan yang dihadapi para pembantu rumah tangga di Hongkong sempat menjadi berita utama internasional tahun lalu, ketika seorang ibu Hong Kong dijatuhi hukuman enam tahun penjara karena berulang kali melecehkan dan menyerang pembantunya.
Pasangan lain dipenjara tahun 2013 karena menyiksa pembantu mereka. Mereka antara lain mengikat pembantunya di kursi, ketika mereka pergi berlibut.
Justice Centre menyebutkan, pemerintah Hong Kong sering memperlakukan kasus seperti inis ebagai insiden terisolasi. Namun para aktivis HAM yakin, eksploitasi PRT terjadi secara luas.
Sepertiga dari rumah tangga yang punya anak di Hong Kong mempekerjakan pembantu rumah tangga. Mayoritas PRT berasal dari Filipina dan Indonesia.
Studi terbaru Justice Centre antara lain menemukan bahwa para PRT rata-rata bekerja lebih dari 70 jam seminggu, dan hanya sebagian kecil menerima gaji di atas upah minimum bulanan, yaitu sekitar HK $ 4.210 (US$ 543).
Studi ini meneliti lebih dari 1.000 pekerja rumah tangga yang berasal dari delapan negara.Yang disoroti adalah tentang perekrutan, pembayaran upah, kondisi kerja mereka dan kesehatan.
Laporan yang berjudul "Comign Clean itu menyebutkan, lebih dari 50.000 pekerja rumah tangga migran diperkirakan bekerja dalam kondisi 'kerja paksa', di antaranya 14 persen mungkin jadi korban perdagangan manusia.
Para penyusun laporan mengatakan, bertentangan dengan apa yang dipikirkan banyak orang, kondisi kerja paksa dan praktek perdagangan manusia "tidak selalu berlangsung dengan tangan terbelnggu ".
Contohnya kasus Indah, seorang PRT asal Indonesia, yang direkrut lewat jalur resmi dan menerima pembayaran upah minimum. Tapi dia tetap bekerja dalam kondisi 'kerja paksa'.
Indah harus bekerja 20 jam sehari. Majikannya sering membangunkan dia pada malam hari untuk bekerja. Mereka juga memaksa dia bekerja untuk orang lain dan pada hari liburnya. Majikan juga menyimpan paspor Indah.
Pekerja rumah tangga migran sangat rentan terhadap kerja paksa karena sifat pekerjaan mereka tidak punya batas jelas antara waktu kerja dan waktu luang. Mereka juga hidup terisolasi dari dunia luar, tulis laporan itu.
Justice Centre mendesak pemerintah Hong Kong untuk membuat aturan yang jelas tentang jam kerja. Para aktivis juga mengeritik persyaratan bahwa PRT harus tinggal bersama majikannya. Situasi ini jsutru meningkatkan risiko eksploitasi.
Anak Terlantar dari "Negeri Tanpa Orangtua"
Ribuan anak-anak di Republik Moldova harus mengurus diri sendiri tanpa orang tua yang bekerja di luar negeri untuk mencari nafkah. Kisahnya kini didokumentasikan oleh seorang fotografer Jerman.
Foto: Andrea Diefenbach
"Negeri Tanpa Orangtua"
Olga, Sabrina dan Carolina harus mengurus diri sendiri selama tiga tahun. Selama itu ibunya bekerja sebagai perawat di Italia. Ia terpaksa tidur di atas tempat tidur lipat di koridor rumah majikannya. "Negeri tanpa orangtua" karya fotografer Andrea Diefenbach, menceritakan kisah anak-anak di Republik Moldova yang hidup terpisah dari orang tuanya.
Foto: Andrea Diefenbach
Kepala Keluarga Berusia 12 Tahun
Olga yang tertua di antara saudaranya, "mengambilalih tugas ibu. Membuat keju, memanggang roti dan memastikan kedua adiknya pergi besekolah," kata Diefenbach. Kemandirian yang lahir dari kemiskinan itu mendominasi foto yang dibuat oleh sang fotografer.
Foto: Andrea Diefenbach
"Mama, jangan lupakan kami!"
Begitulah kalimat yang sering diucapkan Carolina setiap kali berbicara dengan ibunya lewat telepon. "Pada dasarnya anak-anak itu bisa hidup dengan situasi seperti ini," ujar Diefebach. "Tapi keluarga mulai mengalami keretakan. Dampaknya mungkin baru akan terasa setelah 20 tahun, ketika anak-anak ini menjadi dewasa," imbuhnya.
Foto: Andrea Diefenbach
Bantuan dari Nenek
Orangtua Cătălina juga bekerja di luar negeri. Tapi ia beruntung karena diurus oleh sang nenek. Keutuhan keluarga kerap menjadi barang langka di negara bekas Uni Sovyet itu. Menurut Bank Dunia, seperempat penduduk Moldova mencari rejeki di luar negeri. Kebanyakan tidak memiliki izin tinggal yang legal.
Foto: Andrea Diefenbach
Pesan Sayang dari Kejauhan
Orangtua secara berkala mengirimkan paket kepada anak-anaknya. Terkadang berisikan Popcorn, atau apel yang dibeli di sebuah supermarket di Italia. "Rasanya mungkin tidak seenak apel segar dari Moldova, tapi paket ini adalah satu-satunya kesempatan orangtua untuk menunjukkan rasa sayangnya."
Foto: Andrea Diefenbach
Tujuh Tahun Terpisah
Ludmilla, yang melakoni enam pekerjaan sebagai petugas kebersihan di Italia, harus hidup berpisah dari putranya, Slavek selama tujuh tahun. Karena tidak memiliki izin tinggal, kebanyakan orangtua tidak bisa mengunjungi anak-anaknya. Karena sekali melintas perbatasan, mereka terancam tidak bisa kembali. Ludmilla sebaliknya mendapat izin tinggal dan bisa mengundang sang anak untuk tinggal bersamanya
Foto: Andrea Diefenbach
Membanting Tulang di Negeri Orang
Alyona dan Vanya menafkahi kedua anaknya dengan bekerja sebagai buruh panen di ladang melon di Italia. Mereka berbicara setiap hari lewat telepon. Jika hujan turun, pekerjaan pun menghilang dan mengurangi upah harian yang sejak awal sudah minim.
Foto: Andrea Diefenbach
Menjaring Simpati
"Saya berharap, lewat foto-foto ini penduduk makmur di Eropa Barat bisa merenung, apakah mungkin pembantu asing mereka punya anak dan seperti apa kehidupannya," kata Andrea Diefenbach. "Kasih sayang orangtua bisa menjaring simpati semua orang."
Foto: Andrea Diefenbach
Berkelana dengan Sebuah Foto
Orangtua yang berkisah lewat Diefenbach "tidak punya pilihan," selain melihat foto anaknya untuk mengobati rasa rindu. "Mereka tidak tahu, bagaimana bisa membeli perlengkapan sekolah untuk semester depan." Republik Moldova adalah salah satu negara termiskin di Eropa, dengan pendapatan rata-rata 200 Euro per bulan.
Foto: Andrea Diefenbach
"Tanpa Emosi Palsu"
Untuk proyeknya "Negeri tanpa Orangtua", Andrea Diefenbach mendapat penghargaan "N-Ost" 2012 silam. "Gambar-gambarnya berkesan kuat tanpa emosi palsu dan menunjukkan kesenjangan ekonomi di Eropa," kata anggota juri, Lars Bauernschmitt, Professor Fotografi Jurnalistik dan Dokumenter di Hannover.
Foto: Andrea Diefenbach
Memahami Kehidupan
Andrea Diefenbach juga memublikasikan bukunya di Moldova. "Banyak orang terkejut bagaimana kerasnya kehidupan sanak saudaranya di luar negeri. Karena mereka cuma mengenal paket berisikan makanan dan baju baru," ujarnya.
Foto: Andrea Diefenbach
11 foto1 | 11
Justice Centre juga menuntut agar aturan yang mewajibkan buruh migran untuk segera meninggalkan Hong Kong dua minggu setelah kontrak mereka berakhir harus dihapuskan. Karena aturan ini membuat kebanyakan PRT takut melaporkan penyalahgunaan, sebab itu berarti mereka harus segera kembali ke negara asalnya.
Justice Centre juga menyerukan tindakan tegas dan sanksi lebih berat atas agen-agen pengirim tenaga kerja, yang memasang harga terlalu tinggi kepada pekerja migran yang dikirim ke luar negeri, sehingga banyak pekerja migran yang sering terlilit utang besar.