1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Satu Tahun Demokrasi di Pakistan

19 Februari 2009

Setahun setelah pemilihan parlemen di Pakistan pada 18 Februari 2008, kondisi di Pakistan belum membaik. Malah di beberapa kawasan, bisa dikatakan lebih buruk.

Seorang tentara berjaga di salah satu tempat pemungutan di wilayah Jamrud, 18.02.08Foto: AP

Demokratisasi Pakistan disambut hangat tahun 2008 lalu, setelah sebelumnya dikuasai diktator militer. Bukan hanya disambut warga Pakistan, tapi juga oleh komunitas internasional yang sudah kehilangan kepercayaan terhadap Jendral Pervez Musharraf. Mereka berharap, pemerintahan demokratis yang didukung rakyatnya akan bisa mengakhiri kegiatan teror ekstrimis.

Namun setahun setelah pemilihan parlemen yang demokratis, pemerintah Pakistan memperlihatkan sikap tunduk terhadap militer dan badan intelijennya. Terutama bila terkait politik internasional, seperti hubungan dengan India atau upaya melawan teror di dalam negeri. Inilah mengapa pengamat politik, Wolfgang Merkel di Berlin, menyebut Pakistan sebagai demokrasi yang cacat.

“Militer menetapkan hak atas wilayah politik, meskipun telah berlangsung pemilihan umum yang bebas. Sehingga para wakil rakyat yang terpilih itu hanya memiliki pengaruh terbatas dalam keputusan-keputusan politik yang sentral”, demikian ungkap Wolfgang Merkel.

Politisi Pakistan kerap menyangkal tudingan ini, menunjuk pada keberhasilan kubu demokrat mendesak mundur militer dari pemerintahan. Seperti diungkapkan oleh Ahsan Iqbal, sekjen partai kedua terbesar di Pakistan, Liga Muslim: “Rakyat berhasil mendesak seorang diktator militer untuk berkapitulasi, untuk tunduk pada suara demokrasi. Setiap diktator harus menyelenggarakan pemilihan umum suatu saat, tak ada jalan lain. Dan masyarakat sipil akan memerangi setiap diktator dan menggulingkannya.”

Di Pakistan hal ini memang berulang kali terjadi dan sesudah pemilihan parlemen tahun 2008 lalu, sebuah koalisi besar memerintah. Namun sengketa dalam koalisi tak dapat dihindari. Liga Muslim, yang mendorong peradilan independen di Pakistan, mengundurkan diri. Dan meskipun labil, PPP terus memerintah.

Di luar negeri, lemahnya dukungan bagi partai-partai islamis yang radikal sempat membuat lega. Di Jerman, anggota parlemen dari kubu SPD, Detlef Dzembritzki, menilai, “Jangan hanya memperhatikan siapa pemenang pemilu, tapi juga siapa yang kalah. Partai mana yang betul-betul tidak diterima oleh rakyat Pakistan. Partai-partai berhaluan ekstrim kalah dalam pemilu di semua kawasan Pakistan.”

Meski begitu, masyarakat internasional justru meragukan keberhasilan demokrasi di Pakistan dalam hal ini. Setelah upaya bernegosiasi dengan Taliban, pertengahan tahun 2008 pemerintah Pakistan menggulirkan ofensif militer di lembah Swat dan wilayah suku-suku perbatasan dengan Afghanistan. Kedua strategi ini gagal. Kini Taliban menguasai seluruh lembah Swat dan mendesak pemerintah untuk menyepakati pemberlakuan hukum Syariah.

Ada pendapat bahwa Pakistan masih membutuhkan waktu, karena proses demokratisasi yang berlangsung menghasilkan pemerintah transisi yang lemah. Pertanyaannya hanyalah, apakah Pakistan yang dikepung kekuatan-kekuatan militan punya waktu untuk menggulirkan demokrasi secara lamban. (ek)