Di Hari Bumi ini ada baiknya kita menyoroti nasib Bumi Indonesia yang diwarnai sengketa kelapa sawit. Simak opini Agus Sari.
Iklan
Parlemen Uni Eropa menggodok sebuah keputusan untuk meniadakan sama sekali minyak sawit sebagai bahan bakar nabati pada 2021, berdasarkan alasan-alasan sosial dan lingkungan utamanya kerusakan hutan. Keputusan ini tentu saja langsung dikritik keras oleh pejabat negara di Indonesia, sebagai produsen minyak sawit terbesar dunia. Bahkan, ancaman pembalasan telah dilontarkan kepada Eropa dan Amerika Serikat.
Sangkaan perusakan lingkungan akibat perluasan sawit adalah isu klasik. Menurut perhitungan sekelompok ahli biologi yang dipimpin oleh Maria Voigt, yang dilaporkan pada Current Biology baru-baru ini, lebih dari seratus ribu ekor orang utan mati dalam kurun waktu antara 1999 dan 2015 karena kehilangan habitatnya akibat pembalakan dan perebutan lahan hutan oleh pertanian dan pertambangan. Angka ini didapat melalui sebuah metoda ilmiah, walaupun beberapa ilmuwan mempertanyakannya. Sementara itu, sebuah tanda tulisan "SOS” dibuat oleh seorang artis asal Lithuania, Ernest Zacharevic, menggunakan pepohonan di sebuah lahan perkebunan kelapa sawit di Sumatera Utara, untuk menarik perhatian dunia atas urgensi permasalahan ini. Foto udara tulisan "SOS” itu tersebar secara viral di mana-mana. Serangan terhadap industri sawit Indonesia memang sedang marak.
Keputusan Uni Eropa ini tidak datang tiba-tiba. Sudah sejak lama tekanan terhadap impor minyak sawit mendapat tekanan besar, utamanya dengan alasan-alasan lingkungan. Berdasarkan studi pada 2016 yang mereka danai, ditemukan bahwa bahan bakar nabati yang berasal dari minyak sawit menyebabkan pencemaran tiga kali lipat lebih tinggi dari minyak disel biasa. Keputusan ini mendapat banyak dukungan politik, baik dari kelompok politik apalagi dari kelompok lingkungan hidup. Di seluruh dunia, kekuatiran atas dampak negatif produksi minyak sawit sudah sejak lama digemakan. Laporan oleh United Nations Environment Program (UNEP) pada 2007 menyebutkan bahwa ekspansi kebun kelapa sawit adalah penyebab utama deforestasi di Indonesia dan Malaysia.
Muncul Tanda Bahaya SOS Raksasa di Perkebunan Sawit Sumatera
Seniman Lithuania 'mengukir' bekas perkebunan sawit jadi bertanda “SOS” di tepi hutan lindung Sumatera Utara sebagai ekspresi keprihatinannya atas kehancuran hutan di Indonesia.
Foto: All Is Amazing/Ernest Zacharevic
Berdampak buruk bagi masyarakat dan spesies langka
Proyek 'Save Your Souls' karya seniman Lithuania, Ernest Zacharevic ini merupakan bagian dari kampanye keprihatiannya atas dampak perkebunan kelapa sawit terhadap komunitas dan spesies langka di Indonesia. Huruf “SOS” membentang setengah kilometer di lahan seluas 100 hektar di Bukit Mas, Sumatera Utara, dekat ekosistem Leuser.
Foto: All Is Amazing/Nicholas Chin
Tanda darurat di perkebunan sawit
"Saya ingin menyuarakan besarnya masalah dampak kelapa sawit," ujar Zacharevic yang membuat proyak tulisan tanda SOS raksasa di perkebunan di Sumatera Utara. "Proyek ini merupakan upaya untuk menarik kesadaran khalayak yang lebih luas." Proyek ini, bekerja sama dengan kelompok konservasi Sumatran Orangutan Society (SOS) yang berbasis masyarakat dan perusahaan kosmetik Lush.
Foto: All Is Amazing/Nicholas Chin
Mengumpulkan dana kampanye
Mereka mengumpulkan dana untuk membeli perkebunan melalui penjualan 14.600 sabun berbentuk orangutan tahun lalu. Tujuannya adalah, benar-benar menghijaukan kembali lahan itu, yang sekarang dimiliki oleh sayap organisasi SOS di Indonesia, The Orangutan Information Center (OIC), dengan bibit pohon asli. Akhirnya menghubungkan kawasan itu dengan lokasi penghijauan OIC terdekat.
Foto: All Is Amazing/Ernest Zacharevic
Mengolah konsep dan bertindak
Zacharevic berbagi ide kreatif yang sangat berani: Ia bersama kami saat itu dan kebetulan saja tanah yang baru kami beli itu adalah kanvas instalasi yang sempurna, tulis SOS di situsnya. Sekitar seminggu, seniman ini bekerja di lahan itu, menyusun konsep dan akhirnya menebang 1.100 sawit untuk menguraikan pesan ini.
Foto: Tan Wei Ming
Menanam kembali hutan
Setelah menghijaukan kembali lahan itu,sayap organisasi SOS di Indonesia, The Orangutan Information Center (OIC), menanaminya lagi dengan dengan bibit pohon asli di habitat tersebut sebagai upaya penghijauan.
Foto: Skaiste Kazragyte
Jadi sorotan dunia
Sementara itu sang seniman mewujudkan konsep yang digodok bersama sebagai penanda daruratnya kondisi hutan di Indonesia yang banyak digunduli: SOS. Indonesia telah menjadi pusat perhatian dunia dalam upaya mengendalikan emisi gas rumah kaca yang disebabkan oleh penggundulan hutan lahan gambut untuk dijadikan perkebunan bagi industri seperti minyak sawit, pulp dan kertas.
Foto: Tan Wei Ming
Komitmen perusahaan-perusahaan
Tanda SOS ini muncul di tengah tekanan yang terus bergulir pada perusahaan kelapa sawit. PepsiCo dan perusahaan kosmetik Inggris Lush telah berkomitmen untuk mengakhiri penggunaan minyak kelapa sawit - yang ditemukan dalam beragam produk mulai dari sabun hingga sereal .
Foto: picture-alliance/dpa/V. Astapkovich
Meningkatkan transparansi
Sementara, awal tahun 2018 ini perusahaan raksasa Unilever mengatakan telah membuka informasi rantai pasokan minyak sawitnya untuk meningkatkan transparansi.
Foto: Getty Images
Masyarakat adat yang tersingkirkan
Hutan-hutan ini sering berada di daerah terpencil yang telah lama dihuni oleh masyarakat adat, yang mungkin tidak memiliki dokumen yang bisa membuktikan kepemilikan lahan atau dapat bersaing dalam akuisisi lahan di negara Asia Tenggara yang kaya sumber daya.
Foto: Skaiste Kazragyte
Flora dan fauna yang makin menghilang
Perluasan hutan juga menyebabkan berkurangnya populasi satwa liar. Cuma sekitar 14.600 orangutan yang tersisa di alam liar di Sumatera, demikian perkiraan para pemerhati lingkungan. "Kita semua berkontribusi terhadap dampak merusak dari minyak kelapa sawit yang tidak berkelanjutan, apakah itu dengan mengkonsumsi produk atau kebijakan pendukung yang mempengaruhi perdagangan," papar Zacharevic.
Para ahli lingkungan mengatakan pembukaan lahan untuk perkebunan pertanian di Indonesia, penghasil minyak sawit terbesar di dunia, bertanggung jawab atas kerusakan hutan. Penutupan hutan telah turun hampir seperempat luasnya sejak tahun 1990, demikian menurut data Bank Dunia. (ap/vlz/Ernest Zacharevic/SOS/rtr/leuserconservation/berbagai sumber)
Foto: All Is Amazing/Ernest Zacharevic
11 foto1 | 11
Sang importir besar
Tekanan besar juga datang dari kelompok petani di Eropa sendiri, yang merasa bahwa minyak sawit impor menekan pangsa pasar minyak nabati produksi sendiri. Selain alasan lingkungan, salah satu alasan mereka untuk menggunakan etanol sebagai bahan bakar nabati adalah karena hampir seluruhnya diproduksi di Eropa, sementara lebih dari setengah minyak sawit harus diimpor, utamanya dari Indonesia dan Malaysia yang secara bersama-sama menguasai 85 persen pasar minyak sawit dunia. Menggunakan bahan bakar nabati bukan sawit, walaupun membutuhkan lahan perkebunan jauh lebih banyak daripada sawit, meningkatkan pangsa minyak nabati domestik mereka. Perkebunan sawit memproduksi minyak sepuluh kali lebih banyak per hektar dibandingkan tanaman minyak lainnya. Pada 2012, perkebunan sawit mengambil 5,5 persen lahan untuk memproduksi 32 persen produk minyak dan lemak.
Walaupun masih menjadi perusak hutan terbesar dunia, deforestasi di Indonesia sebetulnya makin lama makin terkendali. Dari sekitar 1,1 juta ha (laporan Second Communication Indonesia kepada United Nations Framework Convention on Climate Change, UNFCCC) antara 2000 – 2005, Indonesia telah berhasil mengurangi laju kerusakan hutannya menjadi 0,4 juta ha saja (berdasarkan laporan Kementerian Kehutanan) pertahun antara 2009 – 2011. Berbeda dengan kebakaran hutan hebat pada tahun 1997-1998, pada 2014-2015 — dianggap sebagai salah satu kebakaran hutan dan lahan terhebat sepanjang sejarah dengan kerugian ditaksir sebesar lebih dari Rp 200 triliun — sawit tidak lagi menjadi penyebab utama kebakaran hutan. Hanya sekitar 10 – 20 persen hotspots yang dipindai berada dalam konsesi kebun sawit.
Bukti Kekejaman Manusia Pada Orangutan
Rumah mereka dibabat dan dibakar pebisnis kelapa sawit. Para induk dibunuh pemburu liar, sedangkan anak-anak orangutan diperdagangkan secara ilegal.
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
Kenalkan, Ini Dina…
Dina masih bayi saat diselamatkan petugas konservasi dari aksi perdagangan ilegal. Di Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera, banyak anak-anak orangutan tumbuh tanpa ibu, karena induk mereka dibunuh pemburu liar. Anak-anaknya diperjualbelikan.
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
Tumbuh tanpa ibu
Orangutan biasanya sering tinggal dengan induknya sampai mereka berusia enam atau tujuh tahun. Mereka benar-benar tergantung pada ibu mereka selama dua tahun pertama kehidupan mereka, dan disapih pada usia sekitar lima tahun. Di pusat konservasi Sumatran Orangutan Conservation Programm (SOCP), Sumatera Utara, mereka dirawat.
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
Butuh waktu lama
Oleh karenanya, orangutan tanpa induk di pusat konservasi Sumatran Orangutan Conservation Programm (SOCP), Kuta Mbelin, Sumatera Utara ini dididik untuk bisa bertahan hidup di hutan - sebuah proses yang memakan waktu berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun.
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
Jauhi predator
Mereka juga belajar bagaimana membangun sarang di pohon-pohon dan menjauhi jangkauan predator. Pemburu liar umumnya beroperasi di ekosistem Leuser yang luasnya 2,5 juta hektar, yang menjadi habitat sekitar 6.700 orangutan, dan juga badak, gajah, harimau dan macan tutul.
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
Rumah mereka dibabat
Penebangan hutan di Singkil, Leuser, yang merupakan rumah bagi orangutan dan satwa liar lainnya. Pembukaan hutan untuk perkebunan kelapa sawit selama ini dianggap sebagai biang keladi kepunahan satwa langka termasuk orangutan, disamping menggilanya perburuan liar.
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
Operasi
Operasi dilakukan terhadap orangutan yang terluka di di konservasi Sumatran Orangutan Conservation Programm (SOCP), Kuta Mbelin, Sumatera Utara.
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
Ditembaki senapan angin
Ini hasil rontgen seekor orangutan bernama Tengku yang diselamatkan dari perburuan liar. Di tubuhnya bersarang 60 peluru senapan angin.
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
Pakai kutek
Staf SOCP membubuhi kutek di kuku seekor orangutan yang baru selesai dioperasi dan masih kesakitan, agar orangutan tersebut dapat teralihkan pikirannya dari rasa sakit yang diderita pasca operasi.
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
Dilepas kembali ke alam liar
Setelah melewati masa perawatan di SOCP, adaptasi di lokasi konservasi, dan dianggap siap, mereka mulai dilepaskan kembali ke hutan dan dipantau. Perpisahan antara petugas yang merawat mereka dengan kasih sayang tentu bukan perkara mudah.
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
Terancam kehidupannya
Orangutan Sumatera maupun Kalimantan, saat ini berada dalam status konservasi sangat terancam. Berdasarkan status yang dilabelkan Lembaga Konservasi Satwa Internasional IUCN, orangutan Kalimantan dikategorikan spesies genting (endangered), sementara orangutan Sumatera dianggap lebih terancam lagi nasibnya karena masuk kategori kritis (critically endangered). Penulis: Ayu Purwaningsih (vlz)
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
10 foto1 | 10
Upaya untuk menjamin keberlanjutan produksi minyak sawit telah lama dilakukan. Narasi dunia — kecuali sedikit sekali — tidak lagi "anti sawit” secara mutlak. Kelompok-kelompok pejuang lingkungan telah mulai membedakan "sawit baik” dari "sawit buruk.” WWF Indonesia misalnya, telah mulai melancarkan kampanye "beli yang baik” untuk mendorong konsumen untuk hanya membeli barang dengan kandungan minyak sawit yang baik. Untuk bahan-bahan selain bahan bakar nabati, Eropa dan Amerikapun memperhatikan perbedaan ini, dan membatasi impor hanya untuk sawit yang baik. Perbedaan sawit baik dan buruk ini dimungkinkan oleh adanya sertifikasi keberlanjutan. Bila produsen sawit mengikuti syarat-syarat keberlanjutan, maka dia akan diberikan sertifikasi sebagai sawit berkelanjutan, atau sawit baik.
Sejak 2002, sebuah standar keberlanjutan yang dikembangkan bersama-sama oleh para pemangku kepentingan mulai digunakan dalam sektor sawit. Standar itu dikenal dengan Roundtable for Sustainable Palm Oil (RSPO) standard sesuai dengan nama kelompok pengembangnya. Saat ini, standar RSPO telah digunakan secara meluas dan telah menjadi standar keberlanjutan de facto dari industri sawit dunia. Dengan lebih dari 3.600 anggota di 91 negara, lebih dari 12 ton minyak sawit, saat ini sekitar 2,6 juta hektar perkebunan sawit memproduksi sekitar 19 persen dari sawit yang diperdagangkan dunia telah bersertifikasi RSPO. Pada 2014, standar RSPO khusus untuk bahan bakar nabati diluncurkan dan diakui serta diterima oleh pasar Eropa. Untuk bahan bakar nabati, sistem sertifikasi keberlanjutan dari International Sustainability and Carbon Certification (ISCC) lebih banyak digunakan.
Biteback: Potensi Minyak Serangga Gantikan Minyak Sawit
Penggagasnya anak-anak muda. Idenya gantikan minyak kelapa sawit yang produksinya selama ini tidak ramah lingkungan, dengan memanfaatkan serangga.
Foto: Founders Valley/Biteback Indonesia
Bermula dari eksperimen
Para anak muda yang tergabung dalam start up Biteback melakukan berbagai eksperimen dengan serangga. Hasilnya, minyak makan dibuat dari serangga. Potensinya bisa gantikan fungsi minyak kelapa sawit. Biteback telah mengembangkan sebuah proses untuk mengekstrak minyak dari serangga yang dapat dimakan. Ini adalah pilihan yang jauh lebih berkelanjutan untuk kelapa sawit.
Foto: Founders Valley/Biteback Indonesia
Memanfaatkan ulat kumbang hitam
Jenis ulat yang digunakan adalah ulat kumbang hitam atau larva kumbang. Para peneliti mengikuti kompetisi-kompetisi internasional di manca negara sebelum berbuka usaha. Selain berkompetisi mereka juga terus menimba ilmu kembangkan bio teknologi yang berkaitan dengan pengembangan minyak serangga ini.
Foto: Founders Valley/Biteback Indonesia
Gantikan minyak kelapa sawit
Maraknya perkebunan sawit telah mengundang kekhawatiran aktivis lingkungan karena besarnya penghancuran hutan untuk melakukan pertanian monokultur. Diharapkan di masa mendatang, minyak serangga ini bisa gantikan fungsi minyak sawit yang dianggap rugikan lingkungan lewat penebangan hutan besar-besaran yang juga telah banyak hancurkan ekosistem di Indonesia.
Foto: Founders Valley/Biteback Indonesia
Fungsinya serupa
Tak jauh beda dengan kelapa sawit, minyak serangga bisa dimanfaatkan untuk berbagai macam industri, mulai dari industri makanan, kosmetika hingga bahan bakar. Menurut peneliti yang terjun dalam bisnis ini, jika dalam setahun, minyak yang diproduksi sawit 4 ton per hektar, maka dalam satu hektar, bisa dihasilkan 150 ton minyak serangga dalam setahun.
Foto: Founders Valley/Biteback Indonesia
Konsumsi Anda
Minyak sawit digunakan dalam banyak produk. Anda mungkin bahkan tidak menyadari berapa banyak yang Anda konsumsi dalam setahun. Ini adalah minyak nabati yang paling diperdagangkan secara internasional, dapat ditemukan di 50% semua barang kemasan mulai dari bahan makanan hingga kosmetik. Jika minyak serangga bisa gantikan fungsinya, diharapkan kerusakan akibat sawit dapat dikurangi.
Foto: Founders Valley/Biteback Indonesia
Pakan dari limbah
Serangga membutuhkan sedikit pakan, air, tanah, dan hampir tidak menghasilkan gas rumah kaca. Tak sulit dipelihara, menurut para peneliti yang kini terjun di bisnis minyak serangga, pakan ulat kumbang hitam ini adalah limbah-limbah organik.
Foto: Founders Valley/Biteback Indonesia
Berkompetisi sambil gaet pemodal
Salah seorang peneliti dan pebisnis Mush'ab Nursantio menceritakan, beberapa bulan setelah ikut berbagai kompetisi di manca negara, mereka berhasil menggaet para investor. Akhirnya ia dan rekan-rekannya pulang ke tanah air dan memberanikan diri membuka bisnis ini.
Foto: Founders Valley/Biteback Indonesia
Menarik perhatian publik
Bisnis Biteback ini menarik tim Founders Valley DW untuk berkunjung dan melihat bagaimana cara kerja mereka. Dalam foto, tampak Fridtjof Detzner, organisator kompetisi Founders Valley DW, terjun langsung ke Indonesia dan lokasi bisnis. Start up ini adalah salah satu ide bisnis cemerlang.
Foto: Founders Valley/Biteback Indonesia
Mengatasi anemia
Minyak serangga, selain bisa mereduksi penggundulan hutan, juga bisa memberi nutrisi penting bagi dunia dengan metode yang mudah digunakan. Minyak yang telah dibuat oleh Biteback sama dengan minyak goreng biasa. Dan karena minyaknya terbuat dari serangga, kandungan zat besinya tinggi sehingga bisa mengatasi anemia.
Foto: Founders Valley/Biteback Indonesia
Ulat gorengnya bisa dimakan
Entomofag, atau memakan serangga, baru-baru ini mendapat banyak perhatian sebagai cara yang menjanjikan untuk mengatasi beberapa tantangan makanan dan gizi utama, yang dihadapi dunia. Serangga yang dapat dimakan karena sangat bergizi, mengandung asam lemak esensial, protein, kandungan mineral dan biokimia bernilai tinggi lainnya.
Foto: Founders Valley/Biteback Indonesia
Menangkan 10 ribu Euro
Anda punya ide bisnis cemerlang semacam ini ? Ikuti kontes Founders Valley DW. Kirim video gagasan start up atau bisnis Anda. Pemenangnya akan mendapat hadiah 10.000 Euro. Ditunggu hingga 15 November 2017.
Foto: Founders Valley/Biteback Indonesia
11 foto1 | 11
Di Indonesia, sebagiannya atas respons terhadap sistem sertifikasi "asing” semacam RSPO, sebuah sistem sertifikasi telah dikembangkan di dalam negeri, yaitu standar Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO). Sejak 2009, ISPO telah dijalankan sebagai sebuah kewajiban. Semua petani dan pengusaha sawit harus mendapatkan sertifikasi ISPO. Sayang, hanya sedikit petani dan pengusaha sawit yang telah mendapatkan sertifikasi ISPO. Padahal, ISPO hanya mengkompilasi ketaatan petani dan pengusaha sawit kepada peraturan-peraturan yang ada.
Saat ini, di bawah kepemimpinan Kementerian Koordinasi Perekonomian, sebuah upaya sedang dilakukan untuk membuat ISPO lebih banyak digunakan dan mendapatkan pengakuan internasional. Upaya ini menapaktilas apa yang terjadi dengan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) yang dikembangkan di dalam negeri tapi mendapat pengakuan internasional. SVLK dikembangkan saat perdagangan kayu curian (illegal) marak terjadi. Saat ini Uni Eropa, misalnya, telah mengakui kesaktian SVLK, dan telah menganggap kayu impor dari Indonesia sebagai kayu yang legal. Diharapkan, ISPO bisa mendapatkan pengakuan yang serupa.
Dengan adanya sertifikasi keberlanjutan yang diakui dunia, pembedaan sawit baik dari sawit yang buruk dapat dilakukan dengan mudah. Konsumen dan pembeli minyak sawit di seluruh dunia juga dapat menentukan kebijakannya untuk hanya membeli minyak sawit yang baik. Tropical Forest Alliance 2020 (TFA2020), kelompok pembeli produk minyak sawit dunia dengan jumlah belanja total $3 triliun per tahun, telah mensyaratkan bahwa produk minyak sawit yang mereka beli harus berasal dari proses produksi yang etis dan berkelanjutan. Pepsi, Unilever, adalah sebagian dari pengguna yang mensyaratkan standar keberlanjutan produksi minyak sawit yang dibelinya. Tanpa bukti sertifikasi keberlanjutan, produsen minyak sawit manapun tidak akan bisa menjual ke mereka. Paul Polman, Chief Executive Officer Unilever, adalah ketua TFA2020. Unilever menggunakan sekitar satu setengah juta ton minyak sawit setahun, sekitar tiga persen produksi minyak dunia.
Minyak Sawit Dimana-mana
Keterangan minyak nabati biasanya menunjukkan minyak sawit. Peluasan perkebunan sawit seringnya berarti pengalihgunaan kawasan hutan.
Foto: DW
Minyak Sawit Dalam Permen Coklat
Permen coklat tak hanya mengandung kakao, tapi juga minyak sawit. Organisasi lingkungan Greenpeace, tahun 2010 meluncurkan kampanye anti produk Nestle.Tahun itu juga Nestle berjanji akan membeli minyak sawit yang diproduksi sesuai standar sosial dan lingkungan, agar tidak semakin banyak hutan tropis yang musnah.
Foto: Fabrice Coffrini/AFP/Getty Images
Tersembunyi Dalam Kue
Hampir semua kue menggunakan minyak sawit. Pabrik roti dan kue menggunakan minyak sawit karena murah dan tahan lama. Karenanya, minyak sawit lebih umum digunakan daripada minyak kedelai. Organisasi Pangan Dunia, FAO memperkirakan, sampai tahun 2030 pemakaiannya akan berlipat ganda.
Foto: Fotolia/Andrea Klinger
Minyak Sawit Dalam Penganan Siap Saji
Yang dimaksud dengan minyak nabati pada etiket penganan siap saji adalah minyak sawit. Sebagian besar hasil minyak sawit dunia digunakan untuk memproduksi bahan pangan. Minyak sawit meleleh pada suhu rendah dan mudah diolah, karenanya merupakan bahan dasar yang diminati banyak industri.
Foto: picture-alliance/dpa
Margarin Atau Mentega?
Margarin adalah mentega buatan yang mengandung campuran produk susu dan minyak nabati, seperti minyak sawit. Mentega produk industri di awal abad ke-19 menggunakan minyak paus, kini sebagai campuran digunakan minyak sawit. Ini melindungi populasi paus, di pihak lain mengancam hutan tropis.
Foto: picture-alliance/dpa
Minyak Sawit Untuk Kecantikan
Mulai dari lipstik hingga krem untuk kulit; minyak sawit amat penting bagi pembuatan semua produk kosmetika. Bahkan lilin, produk rumah tangga dan bubuk cuci, semua mengandung minyak sawit. Permintaan bahan dasar ini sangat besar, pada tahun 2010 produksi minyak sawit dunia mencapai 53 juta ton. Seperempatnya digunakan untuk produksi kosmetik, lilin dan sabun cuci.
Foto: Fotolia/VILevi
Bensin Bio Berkadar Sawit
Layanan pompa bensin Jerman tidak lengkap tanpa tawaran bensin-bio, yang merupakan bensin yang berkadar bahan bakar dari tumbuhan. Untuk itu Uni Eropa mengimpor minyak sawit yang murah, dan bukan minyak dari tumbuhan lokal sebagai campuran bensin.
Foto: dapd
Sejauh Mata Memandang
Permintaan minyak sawit, baik itu untuk bahan pangan, kosmetika atau bahan bakar - dari tahun ke tahun terus meningkat. Uni Eropa berkomitmen untuk turut melindungi hutan-hutan tropis di dunia, Namun pemakaian minyak sawit Uni Eropa dari tahun 1990 hingga 2008 turut menyebabkan musnahnya 9 juta hektar kawasan hutan di dunia.Kawasan yang seluas Irlandia.
Foto: CC/a_rabin
Ancaman Bagi Fauna
Musnahnya hutan menyebabkan punahnya binatang. Organisasi lingkungan, WWF memperingatkan, bahwa baik orang utan di Sumatra dan Borneo, maupun macan Sumatra terancam punah akibat pembabatan hutan, yang merupakan habitat mereka.
Foto: picture alliance/dpa
Membakar hutan, meluaskan perkebunan
Bukan hanya hutan yang menjadi korban perkebunan sawit, tapi juga berbagai kota besar Asia. Setiap tahun berbagai kota Indonesia dan Malaysia diselimuti asap tebal yang berdampak pada kesehatan, akibat pembakaran hutan. Indonesia dan Malaysia adalah negara pengekspor minyak sawit terbesar dunia.
Dengan metodologi pemisahan sawit baik dan buruk ini, tren dunia yang semakin memberikan tempat eksklusif untuk sawit baik dan menghindar dari sawit buruk dan keberhasilan Indonesia untuk terus-menerus mengurangi laju kerusakan hutan dan menjamin keberlanjutan produksi minyak sawitnya, sesungguhnya pemerintah tidak harus bereaksi negatif. Cukup dengan meneruskan dan memperlihatkan praktik yang sudah baik, serta mengikuti hukum dan aturan yang telah ada, Indonesia dapat dengan mudah mematahkan tuduhan.
Pertama, produksi sawit baik atau yang berkelanjutan akan membawa manfaat pula untuk Indonesia. Apalagi, produksi sawit yang tidak berkelanjutan nyata telah menghasilkan kerugian yang tidak sedikit kepada negara maupun, akhirnya, kepada perusahaan sawit itu sendiri. Baru-baru ini, dibantu oleh Landscape Indonesia (bersama Profundo, Center for International Forestry Research, dan World Agroforestry Center), RSPO menerbitkan sebuah publikasi, Managing Palm Oil Risks: A Brief for Financiers, yang memperlihatkan bahwa resiko sawit yang tidak berkelanjutan akan menular menjadi resiko finansial kepada pendananya. Itulah sebabnya, sektor keuangan mesti berhati-hati dalam mengelola portofolio pendanaannya dalam sektor sawit ini. Di Indonesia, misalnya, sebuah perusahaan sawit diwajibkan oleh pengadilan untuk membayar lebih dari Rp 300 miliar atas kerugian kebakaran hutan gambut di konsesinya di Aceh. Bayangkan kerugian finansial yang harus ditanggung oleh pendananya. Indonesia bisa memperlihatkan tindakan-tindakan hukum yang telah dijatuhkan kepada pengusaha sawit "nakal” ini.
Kedua, kepada pengusaha baik dan kepada pekebun rakyat berskala gurem (smallholders), fasilitas untuk membuat mereka menjadi lebih berkelanjutan telah banyak disediakan. Pasar akan menyambut lebih positif kepada produsen minyak sawit berkelanjutan. Dalam beberapa kasus, malah dengan harga yang lebih baik. Selain itu, melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit, tersedia pendanaan sebesar sekitar Rp 10 – 13 triliun per tahun untuk meningkatkan produksi bahan bakar nabati yang berkelanjutan serta meningkatkan produktivitas petani gurem.
Bagaimana Ambisi Iklim Eropa Membunuh Hutan Indonesia
Ambisi Eropa mengurangi jejak karbonnya menjadi petaka untuk hutan Indonesia. Demi membuat bahan bakar kendaraan lebih ramah lingkungan, benua biru itu mengimpor minyak sawit dari Indonesia dalam jumlah besar.
Foto: picture-alliance/dpa/C. Oelrich
Hijau di Eropa, Petaka di Indonesia
Bahan bakar nabati pernah didaulat sebagai malaikat iklim. Untuk memproduksi biodiesel misalnya diperlukan minyak sawit. Sekitar 45% minyak sawit yang diimpor oleh Eropa digunakan buat memproduksi bahan bakar kendaraan. Namun hijau di Eropa berarti petaka di Indonesia. Karena kelapa sawit menyisakan banyak kerusakan
Foto: picture-alliance/dpa/J. Ressing
Kematian Ekosistem
Organisasi lingkungan Jerman Naturschutzbund melaporkan, penggunaan minyak sawit sebagai bahan campuran untuk Biodiesel meningkat enam kali lipat antara tahun 2010 dan 2014. Jumlah minyak sawit yang diimpor Eropa dari Indonesia tahun 2012 saja membutuhkan lahan produksi seluas 7000 kilometer persegi. Kawasan seluas itu bisa dijadikan habitat untuk sekitar 5000 orangutan.
Foto: Bay Ismoyo/AFP/Getty Images
Campur Tangan Negara
Tahun 2006 silam parlemen Jerman mengesahkan regulasi kuota bahan bakar nabati. Aturan tersebut mewajibkan produsen energi mencampurkan bahan bakar nabati pada produksi bahan bakar fossil. "Jejak iklim diesel yang sudah negatif berlipat ganda dengan campuran minyak sawit," kata Direktur Natuschutzbund, Leif Miller.
Foto: picture alliance/ZUMA Press/Y. Seperi
Komoditas Andalan
Minyak sawit adalah komoditi terpanas Indonesia. Selain bahan bakar nabati, minyak sawit juga bisa digunakan untuk memproduksi minyak makan, penganan manis, produk kosmetika atau cairan pembersih. Presiden Joko Widodo pernah berujar akan mendorong produksi Biodiesel dengan campuran minyak sawit sebesar 20%. Di Eropa jumlahnya cuma 7%.
Foto: picture alliance/ZUMA Press/Y. Seperi
Menebang Hutan
Untuk membuka lahan sawit, petani menebangi hutan hujan yang telah berusia ratusan tahun, seperti di Taman Nasional Bukit Tiga Puluh, Riau, ini. "Saya berharap hutan ini dibiarkan hidup selama 30 tahun, supaya semuanya bisa kembali tumbuh normal," tutur Peter Pratje dari organisasi lingkungan Jerman, ZGF. "Tapi kini kawasan ini kembali dibuka untuk lahan sawit."
Foto: picture-alliance/dpa/N.Guthier
Kepunahan Paru paru Bumi
Hutan Indonesia menyimpan keragaman hayati paling kaya di Bumi dengan 30 juta jenis flora dan fauna. Sebagai paru-paru Bumi, hutan tidak cuma memproduksi oksigen, tapi juga menyimpan gas rumah kaca. Ilmuwan mencatat, luas hutan yang menghilang di seluruh dunia setiap enam tahun melebihi dua kali luas pulau Jawa
Foto: Getty Images
6 foto1 | 6
Ketiga, beberapa aturan baru telah memberikan kesempatan lebih banyak kepada produksi sawit berkelanjutan dan membatasi produksi sawit yang tidak berkelanjutan. Peraturan Otorita Jasa Keuangan (OJK) No. 51/2017, misalnya, tidak saja akan membawa perusahaan sawit yang merusak lingkungan ke depan pengadilan, tetapi menularkan kesalahan tersebut kepada pendananya. Peraturan tersebut melarang sektor keuangan di Indonesia untuk mendanai perusahaan-perusahaan perusak lingkungan. Sebelumnya, secara agresif aturan-aturan yang menghukum perusahaan perusak lingkungan telah mulai ditegakkan. Selain denda Rp 300 miliar di Aceh, denda Rp 1 triliun telah dijatuhkan kepada sebuah perusahaan perkebunan (bukan sawit) satu tahun sesudahnya.
Pemerintah Indonesia tinggal memperlihatkan semua hal yang telah dilakukan dengan baik, hasil-hasil nyata yang positif yang telah dicapai, aturan-aturan yang telah ditegakkan dengan tegas dan agresif, dan komitmen nyata untuk meneruskan prestasi ini. Manfaat dari sawit berkelanjutan tidak hanya menjadi tuntutan Eropa dan negara pengimpor lainnya. Dia justru lebih bermanfaat kepada Indonesia.
Penulis:
Agus P. Sari adalah Chief Executive Officer dari Landscape Indonesia, sebuah perusahaan yang menjembatani pengelolaan bentang alam yang berkelanjutan dengan fasilitas pendanaan.
@agussari
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis.
7 Fakta Mengerikan Kebakaran Hutan di Indonesia
Bukan saja memukul perekonomian, kebakaran hutan di Indonesia juga mendatangkan berbagai masalah besar lainnya, terutama masalah kesehatan dan lingkungan.
Foto: Reuters/D. Whiteside
Hutan Musnah
Sekitar 1,7 juta hektar hutan dan perkebunan di Sumatera dan Kalimantan musnah dilalap api. Demikian menurut data yang dikeluarkan pemerintah.
Foto: Reuters/D. Whiteside
Udara Tercemar
Sejauh ini, kebakaran hutan di Indonesia tahun telah melepaskan sekitar 1,7 miliar ton karbon dioksida (CO2). Jumlah ini dua kali lipat dari jumlah karbon dioksida yang diproduksi Jerman per tahunnya. Tahun 2014 lalu, sekitar 800 juta ton CO2 dilepaskan Jerman di udara.
Foto: Reuters/S. Teepapan
Emisi Tinggi
Para peneliti memperkirakan, pada bulan September dan Oktober, emisi CO2 dari kebakaran hutan di Indonesia per harinya melebihi emisi rata-rata harian dari seluruh kegiatan ekonomi di Amerika Serikat.
Foto: picture-alliance/dpa/B. Indahondo
Senyawa Mematikan
Penelitian di Kalimantan Tengah menunjukkan adanya senyawa berbahaya di udara, termasuk ozon, karbon monoksida, sianida, amoniak, formaldehida, oksida nitrat dan metana.
Foto: Getty Images/AFP/A. Qodir
Korban Kebakaran Hutan
Sampai sekarang, kebakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan sedikitnya telah menewaskan 10 orang. Dan akibat kabut asap, 500.000 orang terserang penyakit, terutama masalah pernafasan.
Foto: Getty Images
Partikel Halus Berbahaya
Di wilayah lahan gambut yang terbakar, level partikulat atau partikel halus meningkat menjadi lebih dari 1.000 mikrogramm per meter kubik udara. Angka ini tiga kali lebih besar dari tingkat yang dianggap berbahaya.
Foto: Reuters/Antara Foto/N. Wahyudi
Biang Keladi
20 persen dari penyebab kebakaran hutan di Indonesia diperkirakan akibat pembalakan hutan untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit. Tahun 2014, Indonesia merupakan produsen minyak sawit terbesar di dunia, memasok setengah dari kebutuhan minyak sawit dunia.