Saat Taliban kembali berkuasa di Afganistan pada 2021, atlet sukses Nazima dan Nazira Khairzad meninggalkan tanah air mereka. Di Jerman, mereka terus berjuang demi perempuan di negaranya.
Iklan
Saat itu musim gugur di Jerman. Daun-daun di pohon berwarna coklat dan banyak yang sudah rontok. Angin sepoi-sepoi menggerakkan dahan di taman kastil kota kecil Hanau di negara bagian Hessen. Sesekali senyuman tersungging di wajah Nazima dan Nazira Khairzad saat kedua atlet asal Afganistan itu berjalan-jalan di taman.
Nazima dulunya adalah atlet balap ski gunung yang sukses di negara asalnya, saudara perempuannya Nazira menjadi penjaga gawang tim sepak bola perempuan di tingkat nasional. Mereka tinggal bersama di Jerman selama sembilan bulan.
Mereka harus meninggalkan Afganistan pada tahun 2021 ketika Taliban kembali berkuasa. Setelah Sebelum tiba di Jerman, Nazira pertama kali mendarat di Italia. Sementara Nazima, yang dua tahun lebih tua, mendarat di Jerman lewat Pakistan.
Terus berolahraga meski menentang aturan tradisi dan budaya
"Saya masih tidak percaya apa yang terjadi," kata Nazima dalam wawancara dengan DW. "Bahkan sebelum Taliban, situasi bagi perempuan tidak baik. Banyak dari mereka adalah ibu rumah tangga dan harus melakukan apa yang diperintahkan orang tua mereka. Mereka tidak punya kehidupan, mereka hanya hidup dan tidak diizinkan mengambil keputusan sendiri."
Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Nazima tidak ingin hidup seperti itu. Bahkan saat masih remaja, ia menentang aturan tradisional dan budaya di provinsi tempat tinggalnya, Bamiyan, di dataran tinggi Afganistan. "Saya selalu ingin tampil beda," kata perempuan berusia 22 tahun ini. "Saya selalu suka melanggar peraturan. Saya ingin menjalani hidup sesuai keinginan saya dan, yang terpenting, berolahraga."
Bahkan sebelum Taliban berkuasa, aktivitas olahraga bukanlah aktivitas rekreasi alami bagi perempuan dan anak perempuan di Afganistan. Namun demikian, kedua saudari ini mulai bermain sepak bola pada tahun 2014. Awalnya ditentang, tapi kemudian orang tuanya mendukung. Awalnya mereka pergi berlatih secara diam-diam.
Nazima: Banyak perempuan Afganistan mengalami depresi
Dua tahun kemudian, kedua saudari itu juga mulai bermain ski. Mereka mendaki pegunungan yang tertutup salju di Bamiyan karena saat itu belum ada lift. Mereka ambisius dan berlatih kapan pun jika memungkinkan.
Beberapa tahun kemudian, Nazima mencetak sejarah dan memenangkan medali internasional pertama dalam olahraga ski alpine untuk Afganistan pada sebuah kompetisi di negara tetangga, Pakistan.
Pada musim semi 2021, dia bersama Tamara Jahan menjadi perempuan Afganistan pertama yang mendaki Gunung Shah Fuladi. Ini adalah puncak tertinggi di Afganistan tengah dengan ketinggian lebih dari 5.000 meter.
Nazima memang telah menjadi panutan bagi ribuan anak perempuan dan kemudian semakin berkomitmen terhadap hak-hak perempuan di negaranya. Semakin banyak orang yang mengikuti teladan mereka, bermain sepak bola atau menjadi bagian dari tim ski nasional.
Adiknya Nazira juga berkarier di bidang olahraga. Dia berhasil masuk ke tim nasional Afganistan sebagai penjaga gawang. "Sepak bola adalah sesuatu yang istimewa bagi saya. Itu membuat saya kuat," kata pemain berusia 20 tahun ini.
Nazira mengatakan sangat bangga pada diri sendiri. "Tetapi saya juga bangga dengan gadis-gadis lain yang bermain sepak bola dengan saya, "tidak mudah bermain sepak bola sebagai perempuan di Afganistan."
Namun sejak 2021, hal tersebut berakhir dan impian akan dunia yang lebih baik dan lebih bebas pun pupus. Setelah kekacauan penarikan pasukan internasional dari Afganistan dan kembalinya Taliban pada Agustus 2021, olahraga untuk perempuan dilarang. Banyak rekan satu tim Nazima yang sudah bisa meninggalkan negara itu, meski beberapa dari mereka harus tetap tinggal di Afganistan.
"Sangat sulit bagi saya ketika memikirkan anggota tim saya," kata pemain berusia 22 tahun ini. "Banyak yang menikah atau mengalami depresi." Mereka berdua rutin melakukan kontak dengan sejumlah atlet perempuan yang masih berada di Afganistan.
Iklan
Situasi perempuan di Afganistan memprihatinkan
"Kami tidak bisa keluar rumah tanpa hijab atau burqa," Nazira melaporkan. "Beberapa teman saya bunuh diri tahun lalu karena depresi." Suaranya terputus-putus karena dia tidak bisa membantu teman-temannya.
Meski begitu, kedua kakak beradik ini berusaha memberikan semangat kepada masyarakat dan khususnya perempuan dan anak perempuan di Afganistan.
Pakistan: Bagaimana Militan Hancurkan Kehidupan Seorang Perempuan
Baswaliha, perempuan berusia 55 tahun yang tinggal di kawasan adat di perbatasan dengan Afganistan, kehilangan suami dan anaknya dalam konflik dengan kelompok Taliban. Sekarang dia khawatir kekerasan akan kembali.
Foto: Saba Rehman/DW
Kehidupan yang sulit
Bertahan hidup merupakan hal yang sulit bagi perempuan Pakistan di kawasan perbatasan. Hidup Baswaliha, seorang janda 55 tahun, makin memilukan setelah kehilangan anaknya tahun 2009, dan suaminya pada 2010. Baswaliha tinggal di Galanai, sebuah desa adat di kawasan Mohmand, yang berbatasan dengan Afghanistan.
Foto: Saba Rehman/DW
Serangan dari segala penjuru
Imran Khan, anak sulung Baswaliha, terbunuh pada usia 23 tahun oleh kelompok lokal anti-Taliban karena dituduh membantu gerakan teroris, jelasnya pada tim DW. Operasi militer Pakistan memang menciptakan suasana tenang untuk beberapa kawasan, namun penarikan pasukan NATO dari Afghanistan meningkatkan kekhawatiran bahwa kelompok Taliban akan kembalio berkuasa.
Foto: dapd
Fase penuh kekerasan
Abdul Ghufran, suami Baswaliha, tewas setahun kemudian akibat dua bom bunuh diri yang meledakkan gedung pemerintahan, 6 Desember 2010. Saat itu suaminya hendak mengambil uang duka anaknya yang tewas dibunuh, kata Bawaliha kepada DW. Banyak yang tewas dalam serangan itu. Baswaliha mengatakan, seorang perempuan yang hidup tanpa suami atau laki-laki dewasa di kawasan adat penuh risiko dan berbahaya.
Foto: Getty Images/AFP/A. Majeed
Belum menyerah
Abdul Ghufran, suami Baswaliha, tewas setahun kemudian akibat dua bom bunuh diri yang meledakkan gedung pemerintahan, 6 Desember 2010. Saat itu suaminya hendak mengambil uang duka anaknya yang tewas dibunuh, kata Bawaliha kepada DW. Banyak yang tewas dalam serangan itu. Baswaliha mengatakan, seorang perempuan yang hidup tanpa suami atau laki-laki dewasa di kawasan adat penuh risiko dan berbahaya.
Foto: Saba Rehman/DW
Jahit dan jual
Baswaliha ingin anak-anaknya mendapat pendidikan yang layak. “Tidak mudah. Saya merasa hidup saya tidak ada gunanya lagi, dan saya tidak bisa bertahan hidup di lingkungan seperti ini,” katanya. Dia menceritakan perempuan di desanya dilarang berbelanja sendiri ke pasar. Saat ini, pendapatan utamanya menjahit. Dia mematok harga sekitar 13 ribu hingga 15 ribu rupiah untuk satu setel pakaian wanita.
Foto: Saba Rehman/DW
Wajib didampingi lelaki
“Setelah ditinggal suami, saya biasa membuat jajanan roti dan anak perempuan saya yang kecil menjualnya kepada warga di jalanan utama. Namun ketika dia sudah mulai cukup besar, anak perempuan yang berkeliaran dicap jelek di sini,” jelasnya. “Saat itulah saya mulai membuat berbagai macam selimut.” Tetapi untuk ke pasar, dia harus ditemani seorang laki-laki, berapapun umur laki-laki tersebut.
Foto: Saba Rehman/DW
Akan ada lebih banyak kekerasan?
Ribuan keluarga di kawasan adat di utara dan barat laut Pakistan menjadi korban kekejaman kelompok ekstrem di daerahnya. Abdur Razaq, saudara ipar Baswaliha, mengatakan bahwa dia masih ingat saat Abdul Ghufran terbunuh dalam sebuah serangan kelompok Taliban. Dia berharap kawasan adat tidak berubah lagi menjadi daerah kerusuhan dan keganasan. (Teks S. Rehman/mh/hp)
Foto: Saba Rehman/DW
7 foto1 | 7
"Saya berusaha memberi mereka energi positif dan terus menyuarakan nasib mereka agar tidak dilupakan," kata Nazima. Saat pemain ski ini melihat foto-foto lama dari masa lalu, dia merenung dan tampak sedih. Saat itu, perempuan setidaknya punya sedikit kebebasan, kata sang atlet. "Dibandingkan dengan situasi hari ini, dulu masih baik-baik saja."
Setelah berjalan-jalan, kedua kakak adik ini memasuki sebuah kafe kecil di pinggir pusat kota Hanau. Mereka kini senang berada di Jerman dan tidak perlu takut lagi. Sejak lama, kehidupan sehari-harinya di Jerman dipenuhi dengan kepedulian terhadap kerabatnya di kampung halaman.
Namun keluarga mereka kini juga telah berhasil meninggalkan Afganistan. Mereka bertahan di ibu kota Kabul selama berbulan-bulan, menunggu saat yang tepat untuk melarikan diri.
"Saat orang tua saya berada di Afganistan, hidup mereka dalam bahaya karena saya dan saudara perempuan saya aktif berolahraga," kenang Nazira. "Mereka adalah salah satu dari sedikit keluarga di Afganistan yang mengizinkan putri mereka belajar dan berolahraga," tambah saudara perempuannya.
Larangan Kuliah oleh Taliban, Hak Perempuan Afganistan Dirampas
Sejak merebut kekuasaan pada pertengahan 2021, Taliban semakin membatasi hak-hak perempuan dan anak perempuan Afganistan. Kini, mereka membatasi akses perempuan ke pendidikan tinggi hingga memicu kemarahan internasional.
Foto: AFP
Perpisahan untuk selamanya?
Perempuan tidak akan diizinkan untuk kembali berkuliah. Dalam pernyataan pemerintah pada hari Selasa (20/12), Taliban menginstruksikan semua universitas di Afganistan, baik swasta maupun negeri, untuk melarang perempuan mengenyam pendidikan. Sekarang ini semua mahasiswa perempuan dilarang masuk ke universitas
Foto: AFP
Perempuan disingkirkan
Pasukan Taliban menjaga pintu masuk sebuah universitas di Kabul, sehari setelah larangan untuk perempuan berkuliah diberlakukan. Para mahasiswi diberitahu bahwa mereka tidak bisa masuk kampus. Larangan diberlakukan hingga batas waktu yang tidak ditentukan. Namun, sudah ada aksi protes di universitas, di mana siswa laki-laki batal mengikuti ujian dan beberapa dosen laki-laki juga mogok mengajar.
Foto: WAKIL KOHSAR/AFP/Getty Images
Pendidikan tinggi hanya untuk laki-laki
Sejumlah pembatasan telah diberlakukan sebelum ini. Setelah Taliban mengambil alih kekuasaan pada Agustus 2021, universitas harus memisahkan pintu masuk dan ruang kuliah berdasarkan jenis kelamin. Mahasiswi hanya boleh diajar oleh dosen perempuan atau oleh pria tua. Gambar ini menunjukkan ada batas pemisah untuk mahasiswi di Universitas Kandahar.
Foto: AFP/Getty Images
Angkatan terakhir
Mahasiswi Universitas Benawa di Kandahar, masih bisa ikut wisuda Maret lalu dengan gelar di bidang teknik dan ilmu komputer. Pembatasan baru atas hak-hak perempuan di Afganistan mengundang kecaman keras dari dunia internasional. Human Rights Watch menyebut larangan kuliah bagi perempuan sebagai "keputusan yang memalukan", sementara PBB menyatakan keputusan itu melanggar hak asasi perempuan.
Foto: JAVED TANVEER/AFP
Dampaknya menghancurkan masa depan negara
Ribuan perempuan dan anak perempuan mengikuti ujian masuk universitas pada Oktober lalu, salah satunya di Universitas Kabul. Banyak yang ingin belajar kedokteran atau menjadi guru. Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan, larangan Taliban "tidak hanya melanggar persamaan hak perempuan dan anak perempuan, tetapi akan berdampak buruk pada masa depan negara."
Foto: WAKIL KOHSAR/AFP/Getty Images
Tutup peluang pendidikan untuk perempuan
Larangan untuk perempuan berkuliah adalah satu lagi pembatasan pendidikan bagi perempuan dan anak perempuan. Selama lebih dari setahun, gadis remaja hanya bisa bersekolah sampai kelas tujuh di sebagian besar provinsi. Gadis-gadis yang berjalan ke sekolah di Afganistan timur ini beruntung karena beberapa provinsi yang jauh dari pusat kekuatan Taliban mengabaikan larangan tersebut.
Foto: AFP
Negeri tanpa kehadiran perempuan
Perempuan dan anak perempuan sekarang disingkirkan dari sebagian besar aspek kehidupan publik Afganistan. Mereka tidak diizinkan mengunjungi gym atau taman bermain di Kabul selama berbulan-bulan. Taliban membenarkan larangan tersebut dengan berkilah, peraturan tentang pemisahan jenis kelamin tidak dipatuhi, dan banyak perempuan tidak mengenakan jilbab seperti yang diwajibkan oleh mereka.
Foto: WAKIL KOHSAR/AFP/Getty Images
Realitas distopia
Sejumlah perempuan mengumpulkan bunga safron di Herat. Ini adalah pekerjaan yang boleh mereka lakukan, tidak seperti kebanyakan profesi lainnya. Sejak berkuasa, Taliban telah memberlakukan banyak peraturan yang sangat membatasi kehidupan perempuan dan anak perempuan. Misalnya, mereka dilarang bepergian tanpa pendamping laki-laki dan harus mengenakan hijab di luar rumah setiap saat.
Foto: MOHSEN KARIMI/AFP
Sebuah aib yang memalukan
Banyak perempuan Afganistan menolak penghapusan hak-hak mereka dan berdemonstrasi di Kabul pada November lalu. Sebuah plakat bertuliskan "Kondisi Mengerikan Perempuan Afganistan Merupakan Noda Aib bagi Hati Nurani Dunia." Siapapun yang ikut protes perlu keberanian besar. Demonstran menghadapi risiko represi kekerasan dan pemenjaraan. Para aktivis hak-hak perempuan juga dianiaya di Afganistan.
Foto: AFP
9 foto1 | 9
"Perempuan lebih kuat daripada laki-laki"
Kini setelah seluruh keluarga berkumpul kembali di Jerman, para atlet pun berusaha melanjutkan kariernya. Mereka juga memberikan wawancara dan tidak melewatkan kesempatan untuk menarik perhatian terhadap situasi perempuan di Afganistan.
Olahraga, kata Nazima dan Nazira, memberi mereka harapan dan kekuatan akan masa depan yang lebih baik di tanah air mereka. "Situasi di Afganistan sangat sulit. Tapi saya berharap perempuan tetap kuat," kata Nazima.
"Saya yakin situasi akan berubah lagi di masa depan, terutama bagi perempuan. Suatu saat mereka akan punya hak yang sama dan dapat hidup sesuai keinginan mereka." Pemain berusia 22 tahun ini yakin bahwa perempuan lebih kuat dibandingkan laki-laki.