1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Romo Magnis soal "Benalu" Golput, "Saya mengecewakan mereka"

14 Maret 2019

Franz Magnis Suseno mendulang kecaman saat menyebut kaum golput sebagai "benalu atau parasit." Kepada DW dia mengakui bisa memilih kata yang lebih halus. Namun keyakinannya pada tanggungjawab moral pemilih tidak berubah.

Frankfurter Buchmesse 2015 Partnerland Indonesien - Franz Magnis-Suseno EINSCHRÄNKUNG (National Committee Indonesia (Pulau Imaji))
Foto: National Committee Indonesia (Pulau Imaji)

Sosok Romo yang biasanya bertutur kata lembut itu tiba-tiba berubah jadi agresif. Dalam kolom editorial sebuah surat kabar nasional Franz Magnis Suseno menyerang Golongan Putih dengan kata-kata pedas. Golput, tulisnya, "adalah sikap benalu atau parasit" dan sikap abstain lantaran tidak menyukai kedua paslon sebagai "tanda kebodohan."

Tak heran suara kritis bermunculan terhadap tulisan sang Romo. Berbagai komentar di media sosial menuding "usia" telah menelan "intelektualitas" milik pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara itu. Sebuah komentar di laman Facebook bahkan menyebut pemikiran sang Romo "sudah kadaluarsa."

Baca juga: Mengapa Tak Ikut Pemilu? Karena Golput adalah Pilihan Politik

"Saya memang mengecewakan mereka," kata Romo Magnis kepada DW. Tapi "mereka juga mengecewakan saya", tuturnya.

Pilihan kata keras demi selamatkan demokrasi 

Meski demikian Romo Magnis mengakui kata-kata yang dipilihnya "mungkin terlalu keras." Namun dia tetap berpegang pada anggapan bahwa sikap golput dalam alam demokrasi merupakan tindakan "amoral" yang "membahayakan masa depan demokrasi itu sendiri."

"Secara prinsipial saya sulit mengerti jika ada orang mengatakan tidak ingin memilih." Menurutnya jabatan presiden sangat berpengaruh dalam sistem demokrasi di Indonesia. Sebab itu "sikap abstain karena kecewa entah dengan orang atau sistem, saya rasa suatu sikap yang tidak bisa dipertanggungjawabkan!"

Dalam tulisannya itu Magnis mengritik kaum Golput karena meski hidup "atas usaha bersama masyarakat, tapi tidak mau menyumbang sesuatu." Menurutnya sikap tersebut bertolakbelakang dengan perjuangan kaum reformis mewujudkan demokrasi di Indonesia. Bagi dia kaum golput "secara mental tidak stabil, seorang psycho-freak," tulisnya dalam kolom tersebut.

Baca juga: Mari Melihat Dampak "Golput" dalam Kemunduran Peradaban

Romo Magnis mengkonfirmasi pula mereka yang dia anggap "benalu" adalah orang-orang yang enggan memilih karena merasa bisa bermukim di negara lain, sehingga pilpres tidak lagi dirasa penting. "Jelas sekali dari segala macam ketegangan menurut saya yang kita pertaruhkan adalah masa depan demokrasi. Kalau lebih banyak orang bersikap golput, demokrasi yang berada dalam bahaya," tuturnya.

Memilih yang terbaik

Tulisan Magnis banyak mengindikasikan keyakinannya pada doktrin Katholik, "Minus Malum," yang mewajibkan memilih yang terbaik di antara pilihan-pilihan buruk.

"Artinya, meski juga tak memuaskan, pilihlah yang lebih baik di antara keduanya. Jangan mendukung yang lebih tidak baik dibanding calon satunya dengan cara abstain! Dalam suatu pemilu, kita tak memilih yang terbaik, melainkan berusaha memastikan yang terburuk jangan terpilih," tulis Romo dalam editorial tersebut.

Baca juga: Golput Jadi Poros Ketiga? Sosok Cawapres Ma'ruf Amin di Mata Pegiat HAM

Tulisan Magnis itu dijawab jurnalis senior Made Supriatma lewat tulisan lain di laman Indoprogress. Menurutnya pandangan Magnis "sempit" dalam konteks partisipasi warga negara dan tudingannya bernada hipernasionalistik, serupa dengan anggapan "kita susah payah membangun negara ini, tapi Anda membangkang."

Dia juga menolak anggapan bahwa memilih adalah satu-satunya bentuk kepedulian kepada negara. "Apalagi dengan melihat betapa beracunnya kampanye politik yang dilancarkan kedua belah pihak – dengan hoaxes, agitasi, dan provokasi untuk hal-hal yang sangat remeh dan murahan – maka siapa sesungguhnya yang lebih merusak Republik ini? " tulisnya.

rzn/as