1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Sayur Asem, Hutan, dan Kebun Jadi Inspirasi Busana di Berlin

Miranti Hirschmann
20 Oktober 2022

Desainer Adhimiharja teringat sayur asem masakan ibunya. Ia lantas membuat blus dengan sulaman bermotif bahan sayur asem seperti jagung, bawang merah, dan kacang panjang.

Busana karya Y.M. Adhimiharja di Berlin
Busana karya Y.M. Adhimiharja di BerlinFoto: Y. M. Adhimiharja

Desainer busana asal Indonesia, Yudhi Mulyawan Adhimiharja, ikut memeriahkan pekan mode Berlin Fashion Week (BFW) 2022 di Jerman pada bulan September. Karyanya hadir di platform Neo Fashion di kategori Aspiring Designers.

Enam karya Adhimiharja yang ditampilkan kala itu bertema Sedap Malam. Siluet bunga sedap malam ia tuangkan di atas bahan sutra, tulle, katun, linen, dengan warna-warna cerah seperti hijau, kuning, dan magenta.

Saat para model berjalan membawakan karyanya yang ringan, melambai dan ceria di catwalk BFW, Adhimiharja juga menyertakan sejumlah aksen seperti keranjang bambu, batang bunga sedap malam, syal sutra, sarung tangan, dan kacamata hitam.

"Salah satu inspirasi saya adalah foto lawas tahun 1950-an yang saya temukan di sebuah museum di Belanda. Foto itu merekam 3 perempuan berkebaya dengan kacamata hitam. Saya pikir, wow ini cool sekali!” ujarnya kepada DW Indonesia.

Selama pagelaran yang berlangsung 3 hari itu, lantai booth-nya dipenuhi sekitar 200 botol berisi bunga sedap malam yang semerbak.

Salah satu desain Adhimiharja yang bertema sayur asem, bordir motif melinjo hadir dengan nuansa warna fuchsiaFoto: Y. M. Adhimiharja

Inspirasi dari bumbu dapur hingga sayur

Sejak menekuni bisnis mode dengan label Adhimiharja tahun 2020, tema koleksinya banyak terinspirasi kenangan masa kecil di Bandung. Koleksi pertama label Adhimiharja bertema Sono yang dalam bahasa Sunda berarti rindu.

Saat itu, Adhimiharja teringat dan kangen sayur asem masakan ibunya. Ia pun membuat berbagai model blus dengan sulaman bermotif bahan-bahan sayur asem seperti jagung, bawang merah, asam jawa, kacang panjang, dan daun tangkil (melinjo) dengan warna cerah. 

Koleksi Adhimiharja memang banyak mengaplikasikan ide dan motif dari berbagai jenis tanaman seperti bunga, sayuran, bahan makanan, bahkan bumbu dapur.

Pada koleksi bertema Wangi, misalnya, Adhimiharja memaparkan idenya berasal dari dapur rumah orang tuanya. "Di situ banyak bumbu dapur yang memiliki aroma dan rasa menarik. Bumbu-bumbu ini juga memiliki sifat yang hangat.” Adhimiharja mengaplikasikan warna hangat dari bumbu dapur seperti jahe, kunyit, dan kayu manis untuk koleksi musim gugur dan musim dingin.

Desainer asal Indonesia, Y. M. Adhimiharja di Berlin, JermanFoto: Private

Ditanya mengapa tumbuhan endemik tropis kerap muncul dalam karyanya, desainer ini mengakui: "Waktu kecil, orang tua saya, terutama bapak, sering mengajak saya pergi ke hutan untuk jalan-jalan beserta keluarga. Jadi, tema dan motif tanaman itu sudah melekat di kenangan saya.”

Ia mengungkapkan peran ibunda juga sangat memengaruhi ketertarikan dalam dunia mode. Di rumah, sang ibu sempat memiliki kursus menjahit dengan sertifikat nasional. Saat itu, ibunya mengajar membuat pola dan mengombinasi warna, hingga menjahit baik dengan tangan maupun mesin.

Warna-warni untuk Berlin

Bagi Adhimiharja, terjun di dunia mode dimulai saat ia masih berstatus mahasiswa jurusan biologi di Universitas Padjadjaran, Bandung. Saat itu, ia bekerja sampingan dengan membuat sketsa untuk beberapa desainer mode di Bandung. Dari sana, ia berkesempatan bekerja sebagai salah satu asisten desainer papan atas Indonesia. Kendati sangat menyukai pekerjaan sampingan tersebut, Adhimiharja bertekad untuk tetap menyelesaikan studinya.

Tahun 2012 ia pindah ke Jerman dan diterima di sekolah seni Kunsthochschule Weissensee, Berlin, jurusan desain busana. Untuk mencari uang tambahan, ia pun kembali membuat sketsa. 

Salah satu pendorong Adhimiharja menekuni dunia desain busana adalah pujian dari profesornya yang mengatakan desainnya punya keistimewaan dalam kombinasi warna dan tekstur. Saat meneruskan kuliah master, ia sempat mendesain dengan warna-warna khas busana Berlin yang bernuansa gelap dan dingin. Namun, rekan-rekannya memberi masukan bahwa karya itu tidak mencerminkan kepribadian khas Adhimiharja. 

Sejak itu, ia terus bereksperiman dengan warna, tekstur dan motif yang berbeda untuk Berlin. Baginya, Berlin adalah kota kreatif hub penting di dunia mode. Banyak orang berpendapat bahwa Berlin bukanlah tempat yang cocok bagi mereka yang ingin tampil elegan dan cantik. Namun bagi Adhimiharja, "tidak ada salahnya tampil elegan, indah dan berbeda di Berlin.”

Atelier di sudut Berlin

Sejumlah majalah desain dan mode Eropa juga telah mengulas berbagai karya Adhimiharja, antara lain majalah OE Magazine, Kaltblut, Volant Magazine di Jerman, dan French Fries Magazine di Milan. Majalah di luar Eropa juga sudah melirik karyanya seperti L‘ Officiel Rusia dan The Kunst Magazine dari New York, Amerika Serikat. Saat ini dia juga masih bekerja di sebuah perusahaan mode papan atas di Jerman sebagai desainer senior.

Perlahan tapi pasti, Adhimiharja mewujudkan mimpinya dengan memiliki sebuah atalier di sudut kota Berlin. Sebagai pemula, ia tidak keberatan berbagi atalier dengan berapa desainer Jerman. Di situlah debut pertamanya dalam Berlin Fashion Week 2020 dimulai.

"Saat itu kami tidak menggelar fashion show, tetapi kami mengadakan acara di atalier kami, open house untuk memperkenalkan koleksi tertema Taman. Tema ini banyak mengambil motif daun suplir dengan aplikasi bahan sutra.”

Dalam kesempatan itu pula, ia memperkenalkan orang-orang yang berada di balik karyanya dengan hashtag #meetthemakers. Foto-foto desainer tekstil, seniman batik, para penjahit, hingga fotografer, baik yang berlokasi di Indonesia maupun di Jerman, selalu ditampilkan di setiap katalog karyanya. Foto-foto dan kisah mereka juga tampil dalam bentuk poster besar di ataliernya.

Motif batik dan tenun nusantara kadang hadir dalam karya Adhimiharja. “Di beberapa desain, saya menggunakan motif batik seperti dari Tuban atau tenun dari Danau Tempe, Sulawesi, tapi kadang saya menggunakan juga motif dari Myanmar.”Foto: Y. M. Adhimiharja

"Tidak mungkin kami mengerjakan segalanya sendirian. Di balik tiap produk fashion, pasti ada orang-orang yang bekerja dengan ketekunan dan dedikasi,” tambahnya.

Ia beranggapan bahwa, kebanyakan orang akan menyimpan dan menggunakan pakaian lebih lama apabila mereka mengetahui siapa saja yang berkarya di balik pakaian yang mereka kenakan. Ini juga yang membuat karya-karyanya berkonsep slow fashion.

Bahasa Indonesia pada label Adhimiharja

Dalam menjalankan bisnisnya, Adhimiharja berpartner dengan seorang sahabat yang juga adalah warga Jerman, Detlef A. Fromme. Sependapat dengannya, Detlef juga mengatakan bahwa ia tidak ingin label Adhimiharja memproduksi busana dalam jumlah banyak, tetapi lebih ingin mendesain untuk orang-orang yang menyukai gaya dan menghargai konsep mode yang menjadi ciri khasnya. 

Walaupun dipasarkan di Jerman, koleksi Adhimiharja selalu dinamai dengan kata-kata dari bahasa di Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari nama-nama koleksi seperti Sono part 2/Di Rumah Saja, Pintu, Papan, dan Gebyok. Dengan bangga, ia mengatakan bahwa penggunaan bahasa yang ada di Indonesia adalah salah satu detail khas produknya.

Menyiasati sisa bahan produksi, ia juga menerapkan konsep upcycling. "Kami banyak memiliki kain sisa dari pengerjaan produksi. Inilah yang kami aplikasikan pada produk kami. Kadang biaya produksinya jadi lebih mahal, tetapi kami berupaya meminimalkan sampah produksi,” ungkapnya.

(ae)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait