Science Film Festival 2019 Siap Kunjungi 51 Kota Indonesia
Prihardani Ganda Tuah Purba
22 Oktober 2019
Science Film Festival edisi ke-10 kembali hadir di Indonesia. 13 film-film sains dari berbagai negara akan dipertontonkan di 51 kota seluruh Indonesia sampai 24 November mendatang
Iklan
Mengusung tema ‘Humboldt dan Jaring Kehidupan’, festival ini akan memperkenalkan sains kepada anak-anak Indonesia dengan cara yang menyenangkan lewat 13 film-film sains dari berbagai negara. Film-film tersebut disulihsuarakan ke dalam Bahasa Indonesia untuk memudahkan penonton memahami isi dari film yang ditayangkan.
Tema ‘Humboldt dan Jaring Kehidupan’ dipilih untuk menghormati tokoh multitalenta Jerman yaitu Alexander van Humboldt yang lahir 250 tahun lalu. Sosoknya berhasil merevolusi konsep alam sebagai jaring kehidupan yang saling terkait, sehingga jika ada kerusakan di satu tempat maka akan berdampak pada tempat lain di alam. Oleh karena itu, sudut pandang Hamboldt ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran pelajar dan anak-anak muda terkait isu lingkungan, perubahan iklim dan juga kelestarian.
“Saya harap anak-anak muda dapat terinspirasi pada sosok ‘Humboldt’ yang selalu ingin tahu soal sains dan memperkenalkan kepada mereka bahwa belajar sains juga bisa menyenangkan,” ujar Dr. Stefan Dreyer, Direktur Regional Goethe-Institut untuk Asia Tenggara, Australia dan Selandia Baru pada saat konferensi pers di Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (22/10).
Peter Schoof, Duta Besar Jerman untuk Indonesia yang hadir meresmikan pembukaan festival juga menyambut gembira gelaran Science Film Festival ini. Menurutnya, festival ini dapat mempererat hubungan bilateral Jerman dan Indonesia dalam bidang pendidikan.
“Sains itu universal, tidak ada Indonesia dan Jerman di dalam sains, jadi sains adalah satu hal yang dapat menyatukan kita,” ujarnya kepada DW. “Selain itu yang paling penting adalah peran generasi muda ke depan terkait keberlangsungan planet ini”, tambah Schoof.
Pembukaan Science Film Festival 2019 yang digelar di Goethe Institut Jakarta pada Selasa (22/10) dihadiri oleh ratusan siswa SD dari Jakarta dan sekitarnya. Mereka disuguhi 3 film sains dari total 13 film yang nantinya akan diperkenalkan kepada anak-anak di 51 kota di Indonesia.
Di antaranya, Eksperimen Sains Anak-Anak dari Chile, Bumi Menuju Masa Depan – Masa Depan Tanpa Plastik dari Jerman dan ‘Sembilan Setengah – Reporter : Masih Mau Membuang Barang?’ sebuah reportase terkait limbah elektronik dari Jerman.
Tidak hanya disuguhi film-film sains, mereka juga diajak bermain dengan eksperimen-eksperimen sains seru. Salah satunya menyusun batu bata di atas sebutir telur. Anak-anak yang hadir dijelaskan bahwa telur mampu menopang batu bata tanpa terpecah apabila diposisikan secara vertikal.
Nada, salah satu siswi dari SDN 01 Gondangdia mengaku senang dapat belajar terkait sampah plastik pada gelaran ini.
“Kita tidak boleh membuang sampah sembarangan karena bisa merusak laut,” ujar Nada kepada DW. “Banyak sampah plastik yang hanya digunakan sekali dan dibuang ke laut sehingga hewan laut bisa memakannya dan laut tercemar,” tambahnya.
Science Film Festival telah mengukuhkan diri sebagai acara terbesar di dunia dalam kategori film sains, dengan lebih dari 1 juta pengunjung di 18 negara selama edisi tahun 2018. Sejak edisi pertamanya di tahun 2005, festival yang diselenggarakan oleh Goethe-Institut ini secara konsisten mempromosikan literasi sains kepada kaum muda di Asia Tenggara, Asia Selatan, Afrika Utara, Amerika Latin dan Timur Tengah.
Dalam penyelenggaraan festival ini, Goethe-Institut juga bermitra dengan Kedutaan Besar Republik Federal Jerman, Inisiatif PASCH (“Sekolah : Mitra menuju Masa Depan”), Sahid Hotels & Resorts Indonesia, serta Universitas Paramadina. (gtp/vlz)
Fakta Tentang Laut, Sumber Kehidupan Bumi
Laut menutupi sebagian besar permukaan Bumi dan juga berperan dalam mengatur iklim di Bumi. Kondisi Bumi dan laut terus berubah karena perubahan iklim. Masih banyak yang harus diteliti tentang tempat tinggal kita ini.
Foto: picture-alliance/dpa
Planet biru tempat kita tinggal: Bumi
Bumi disebut juga sebagai planet biru tentu karena warnanya. Lautan menutupi hingga 71% dari permukaan Bumi dan 90% dari biosfer. Ini menjadi bagian integral dari kehidupan dan penyediaan kebutuhan oksigen hingga 80%. Menjadikan laut bagian vital dari siklus karbon. Asal-usul laut belum dapat dipastikan, tapi lautan menjadi katalisator pembentukan kehidupan 4.4 miliar tahun yang lalu.
Foto: NASA
Rahasia di balik dalamnya laut yang belum tersentuh
Sekitar 80% dari dunia bawah laut belum pernah dieksplorasi atau dijamah oleh manusia. Para ilmuwan dan peneliti selalu mencoba untuk menguak misteri apa yang ada di bawah laut sana yang bisa membantu kita untuk memahami perubahan lingkungan dan membantu upaya mengelola sumber daya laut yang vital untuk perubahan iklim.
Foto: Colourbox/S. Dmytro
Laut berperan mengatur iklim di planet kita
Dengan menyerap radiasi matahari, mendistribusikan panas dan menggerakkan pola cuaca, laut memiliki peran vital dalam mengatur iklim di Bumi. Namun, kemampuan Bumi untuk melakukan hal natural seperti menyimpan kandungan karbon yang ada di udara dan memproduksi oksigen mulai terganggu karena perubahan iklim.
Foto: Getty Images/AFP/C. Triballeau
Laut juga 'padat' penduduk
Laut adalah rumah bagi sekurangnya 230.000 jenis spesies yang sampai sekarang diketahui. Terumbu karang menjadi tempat berlindung yang aman bagi invertebrata seperti kepiting, bintang, moluska dan ikan-ikan yang beragam. Sedangkan hewan besar seperti hiu, paus, dan lumba-lumba hidup di perairan terbuka.
Foto: Getty Images/D. Miralle
Hewan temuan bawah laut yang aneh
Para peneliti mengakui bahwa manusia mungkin baru menemukan sekitar 2/3 dari isi laut sesungguhya. Setiap tahunnya, ilmuwan selalu menemukan spesies baru seperti Squidworm atau Teuthidodrilus samae (foto) yang ditemukan di perairan laut Celebes di tahun 2007. Banyak hal lain yang menunggu untuk ditemukan di bawah sana.
Foto: Laurence Madin, WHOI
Tanda peringatan perubahan iklim
Laut dalam keadaan yang mengkhawatirkan. Salah satu contoh utama adalah maraknya terumbu karang yang mulai "memutih" di seluruh dunia. Naiknya suhu dan polusi adalah situasi yang tidak optimal untuk kehidupan terumbu karang. Situasi ini menghambat terumbu karang untuk bertumbuh dan tidak semua terumbu karang dapat pulih setelah berubah menjadi "putih".
Foto: XL Catlin Seaview Survey
Tidak ada tempat berlindung lain untuk hewan laut
Penelitian terbaru menyatakan populasi ikan, moluska, dan kepiting turun dua kali lebih cepat dari populasi hewan daratan. Suhu ekstrem menjadi alasan utama, binatang yang hidup di laut tidak memiliki tempat untuk kabur dari naiknya suhu. Sayangnya, biota bawah laut tidak dapat berevolusi dengan cukup cepat untuk beradaptasi dengan situasi ini.
Es dan salju di Kriosfer mulai menghilang di tempat yang seharusnya ditutupinya. Naiknya suhu udara melelehkan glasier dan es. Kejadian ini berdampak pada naiknya permukaan laut dan juga naiknya tingkat keasaman laut dari metana yang dilepaskan dari permafrost dasar laut di Samudra Arktik.
Foto: AP
Kehilangan mata pencaharian
Manusia tidak dapat dipisahkan dari laut. Banyak kelompok sejak ribuan tahun yang lalu bermukim di pesisir pantai karena kelangsungan hidupnya bergantung kepada laut, seperti nelayan. Hari ini, keberlangsungan hidup banyak orang yang hidup di pesisir mulai terancam karena naiknya permukaan laut sedikit demi sedikit.
Foto: picture-alliance / Bildagentur H
Hilangnya biota laut
Hanya 13% dari laut di dunia bebas dari aktivitas manusia seperti menangkap ikan. Daerah pesisir yang sudah tersapu bersih mendorong para pencari ikan untuk berlayar lebih jauh. Kemajuan teknologi juga membantu menangkap ikan dengan jauh lebih mudah dan dalam jumlah yang lebih besar. Ini menjadi PR generasi mendatang untuk melindungi biota laut yang tersisa. (Ed.: pn/na)