Bagi otoritas politik, peristiwa 30 September 1965 mungkin sudah dianggap selesai. Namun sebagai kajian akademik, kejadian itu masih jauh dari selesai. Perspektif Aris Santoso.
Iklan
Pertengahan Agustus 2016 terjadi peristiwa menarik, yaitu peringatan 100 tahun Kongres Nasional Pertama Central Sarekat Islam (CSI), di Bandung. Kebetulan Kongres itu sendiri satu abad silam juga diselenggarakan di Bandung, tepatnya pada bulan Juni 1916. Satu hal yang menarik, dalam Kongres CSI seabad lalu itu, benih-benih perlawanan terhadap komunisme sudah mulai muncul.
Dalam kongres ini, selain figur Tjokroaminoto sebagai bintang arena, nama Semaoen juga sudah mulai muncul, mengingat posisinya sebagai Ketua Sarekat Islam Semarang. Sebagian peserta sudah mulai mempersoalkan status keanggotaan Semaoen, karena dia juga merupakan kader ISDV, organisasi kiri pertama yang didirikan di era Hindia-Belanda. Yang menjadi pokok soal adalah, karena ideologi ISDV yang kiri (sosial-demokrat), maka sebagian peserta kongres mulai menentang kehadiran Semaoen.
Dengan kata lain, peringatan seabad Kongres Nasional CSI, sama maknanya dengan seabad perlawanan terhadap komunisme di Indonesia. Bahkan usianya setahun lebih tua dari Revolusi Bolshevik di Rusia (Oktober 1917), yang dianggap sebagai tonggak kemenangan gerakan komunisme dunia. Setelah satu abad berlalu, gerakan perlawanan terhadap gerakan kiri di Indonesia masih terus berlangsung, tatkala ideologi komunisme sendiri sudah dianggap berakhir.
Antara Hatta dan Soeharto
Jika berbicara tentang gerakan kiri di Tanah Air, selalu merujuk pada dua peristiwa, yaitu pemberontakan Madiun 1948 dan Peristiwa 1965, yang secara kebetulan sama-sama terjadi di bulan September. Satu hal yang mungkin luput dari perhatian kita adalah, bagaimana kedua gerakan itu bisa cepat ditumpas, khususnya pada Peristiwa 1965. Saya menduga, itu bisa terjadi karena orang yang berperan penting di balik aksi penumpasan adalah orang dekat atau setidaknya pernah masuk dalam lingkaran pergaulan para pelaku gerakan.
Dalam Peristiwa 1965 misalnya, para pelaku utama gerakan, yakni Letkol Inf Untung dan Kol Inf Latief, adalah teman dekat Soeharto, sejak masih sama-sama berdinas di Tentara dan Teritorium IV/Diponegoro (kini Kodam IV/Diponegoro), yang bermarkas di Semarang. Tidak ada yang bisa membantah fakta ini.
Suharto - Jalan Darah Menuju Istana
Demi menyingkirkan Soekarno, Suharto menunggangi pergolakan di tanah air dan mengorganisir pembantaian jutaan pendukung PKI. Dia sebenarnya bisa mencegah peristiwa G30S, tetapi memilih diam, lalu memanfaatkannya.
Foto: picture-alliance/dpa
Prajurit Tak Bertuan
Suharto banyak berurusan dengan pemberontakan Darul Islam selama meniti karir militernya. Pasca kemerdekaan ia juga aktif memberantas kelompok kiri di antara pasukannya. Tahun 1959, ia nyaris dipecat oleh Jendral Nasution dan diseret ke mahkamah militer oleh Kolonel Ahmad Yani karena meminta uang kepada perusahaan-perusahaan di Jawa Tengah. Namun karirnya diselamatkan oleh Jendral Gatot Subroto.
Foto: picture alliance/United Archives/WHA
Dua Musuh di Bawah Bayang Soekarno
Seperti banyak prajurit yang lain, Suharto mencurigai kedekatan Soekarno dan pimpinan Partai Komunis Indonesia (dalam gambar D.N. Aidit). Terutama sejak pemberontakan komunis di Madiun 1948, eksistensi PKI sangat bergantung pada dukungan Soekarno. Tanpanya PKI akan lumat oleh tentara. Permusuhan ABRI dan PKI tidak cuma beraroma politis, melainkan juga dipenuhi unsur kebencian.
Foto: picture-alliance/United Archives/TopFoto
Bibit Perpecahan
Suharto sibuk membenahi karir ketika permusuhan ABRI dan PKI mulai memanas. Buat mencegah PKI memenangkan pemilu dan menguasai pemerintahan, ABRI yang saat itu dipimpin duet Ahmad Yani dan A.H. Nasution mengajukan mosi menjadikan Soekarno sebagai presiden seumur hidup. Saat itu, konstelasi politik sudah mulai bergeser: Soekarno tidak lagi melihat ABRI sebagai sekutu utamanya, melainkan PKI.
Foto: AFP/Getty Images
Berkaca Pada Tiongkok
Meniru gerakan kaum komunis di Tiongkok, PKI berupaya memperluas kuasa dengan niat mempersenjatai petani dan praktik land reform. Soekarno menyetujui yang kedua dengan mengesahkan UU Pokok Agraria 1960. Tiga tahun kemudian, PKI melakukan aksi sepihak dengan merebut tanah milik para Kyai di Jawa dan membagikannya pada petani miskin. Langkah itu menciptakan musuh baru buat PKI, yakni kelompok Islam.
Foto: AP
Sikap Diam Suharto
Enam jam sebelum peristiwa G30S, Kolonel Abdul Latief mendatangi Soeharto buat mengabarkan perihal rencana Cakrabirawa menculik tujuh Jendral. Latief saat itu mengira, Suharto adalah loyalis Soekarno dan akan memberikan dukungan. Kesaksian Latief menyebut, Suharto cuma berdiam diri. Setelah peristiwa penculikan jendral, Suharto yang menjabat Panglima Kostrad lalu mengambil alih komando ABRI.
Foto: picture-alliance/dpa
Kehancuran PKI, Kebangkitan Suharto
Pada 30 September, pasukan pengamanan Presiden, Cakrabirawa, mengeksekusi tujuh dari 11 pimpinan ABRI yang diduga kuat ingin mengkudeta Soekarno. Suharto lalu memerintahkan pembubaran PKI dan penangkapan orang-orang yang terlibat. Letnan Kolonel Untung, komandan Cakrabirawa yang sebenarnya kenalan dekat Suharto dan ikut dalam operasi pembebasan Irian Barat, ditangkap, diadili dan dieksekusi.
Foto: AP
Demo dan Propaganda
Pergerakan Suharto setelah G30S semata-mata diniatkan demi melucuti kekuasaan Soekarno. Ia antara lain mengirimkan prajurit RPKAD buat menguasai Jakarta, termasuk Istana Negara. Panglima Kostrad itu juga lihai menunggangi sikap antipati mahasiswa terhadap Sukarno yang dimabuk kuasa. Saat Soekarno bimbang ihwal keterlibatan PKI dalam G30S, mahasiswa turun ke jalan menuntutnya mundur dari jabatan.
Foto: Getty Images/C. Goldstein
Malam Pogrom, Tahun Kebiadaban
Di tengah aksi demonstrasi mahasiswa di Jakarta, ABRI memobilisasi kekuatan buat memusnahkan pendukung PKI di Jawa dan Bali. Dengan memanfaatkan kebencian kaum santri dan kelompok nasionalis, tentara mengorganisir pembunuhan massal. Jumlah korban hingga kini tidak jelas. Pakar sejarah menyebut antara 500.000 hingga tiga juta orang tewas. Tidak semuanya simpatisan PKI.
Foto: Carol Goldstein/Keystone/Getty Images
Eksekusi Disusul Eksodus
Selain menangkap dan mengeksekusi, massa dikerahkan menghancurkan toko-toko, kantor dan rumah milik mereka yang diduga pendukung komunis. Sebagian yang mampu, memilih untuk mengungsi ke luar negeri. Termasuk di antaranya Sobron, adik kandung pimpinan PKI D.N. Aidit yang hijrah ke Tiongkok dan lalu ke Perancis dan bermukim di sana hingga wafat tahun 2007.
Foto: Carol Goldstein/Keystone/Getty Images
Kelahiran Orde Baru
Setelah peristiwa G30S, Suharto yang notabene telah menjadi orang nomor satu di kalangan militer, membiarkan Soekarno berada di jabatannya, sembari menata peralihan kekuasaan. Selama 18 bulan, Suharto menyingkirkan semua loyalis Soekarno dari tubuh ABRI, menggandeng parlemen, mahasiswa dan kekuatan Islam, serta mengakhiri konfrontasi Malaysia. Kekuasaan Soekarno berakhir resmi di tangan MPRS.
Foto: DW
10 foto1 | 10
Demikian juga dengan Peristiwa Madiun 1948, para pelaku gerakan seperti Mr Amir Sjarifuddin, Maruto Darusman, Setiadjit, dan Abdulmadjid Djojoadiningrat, adalah teman seperjuangan (Perdana Menteri) Hatta sejak masa pergerakan. Mr Amir Sjarifuddin adalah Perdana Menteri yang kemudian digantikan Hatta, sementara tiga nama berikutnya adalah teman Hatta sejak menempuh pendidikan di Belanda, dan sama-sama tergabung dalam Perhimpunan Indonesia.
Sebagaimana kita tahu, para tokoh Peristiwa Madiun pada umumnya dieksekusi, pada pertengahan Desember 1948, hampir bersamaan waktunya dengan Agresi Militer Belanda II. Kecuali Setiadjit dan Abdulmadjid. Setiadjit hilang dalam pergolakan 1948 tersebut, dan jasadnya tidak pernah ditemukan. Sementara Abdulmadjid nasibnya sedikit lebih baik, dia bisa lolos dari eksekusi, kemungkinan disebabkan latar belakang keluarganya. Abdulmadjid adalah anak tiri dari Ibu RA Kartini, tokoh emansipasi perempuan. Bahkan Abdulmadjid sempat menjadi Walikota Semarang pada tahun 1950-an.
Keterlibatan Asing dalam Pembantaian 1965
Sejarah mencatat pembantaian simpatisan PKI 1965 adalah buah kotor percaturan politik dunia di era Perang Dingin. Bahkan propaganda anti komunis yang disebarkan di Indonesia pun dirancang dan disusun di luar negeri
Foto: Yoichi Robert Okamoto
Dunia Terbelah Dua
Pada dekade 60an dunia didera konflik ideologi antara Amerika dan Uni Sovyet. Akibatnya perang proksi menjalar ke berbagai belahan Bumi. Jerman terbelah dua dan negara berkembang menjadi lahan lain perseteruan dua adidaya tesebut. Tahun 1963 Amerika Serikat gagal menjatuhkan benteng Komunisme di Kuba. Presiden baru AS, Lyndon B. Johnson, lalu beralih menginvasi Vietnam Utara.
Foto: Getty Images/P. Christain
Adu Jotos di Negeri Orang
Bagaimana kedua adidaya menjadikan negara berkembang sebagai catur politik terlihat dari banyaknya perang proksi. Dekade 1960an mencatat sedikitnya 50 konflik semacam itu, yang terbanyak selama Perang Dingin. Uni Sovyet dan Cina terutama getol memasok senjata buat pemberontak komunis. (Gambar: Pemimpin Cina Mao Tse Tung dan penguasa Sovyet Nikita Khrushchev di Beijing, 1959)
Foto: AP
Pemberontakan Komunis Malaysia
Lima tahun sebelum peristiwa G30S, Malaysia telah mendahului lewat perang antara Malayan National Liberation Army yang didukung Partai Komunis dan tentara persemakmuran pimpinan Inggris. Konflik serupa terjadi di Kongo, India, Bolivia dan Kolombia.
Foto: Public Domain
Primadona Perang Dingin
Indonesia adalah medan perang lain antara Amerika Serikat dan Uni Sovyet. Mulai dekade 50an, Presiden Soekarno menjadi primadona politik yang diperebutkan oleh Presiden AS John F. Kennedy dan penguasa Uni Sovyet, Nikita Khrushchev. Saat itu Indonesia sudah menjadi salah satu kekuatan terbesar di Asia Tenggara dan mulai diperhitungkan di dunia.
Foto: Central Press/Hulton Archive/Getty Images
Petualangan di Timur
Soekarno yang mulai menua justru merasa Indonesia cukup kuat untuk menanggalkan asas netralitas dan menghidupkan poros Moskow-Beijing-Jakarta. Memasuki dekade 1960an, Uni Sovyet tercatat sebagai pemberi bantuan terbesar ke Indonesia, melebihi negara lain. Petualangan politik itu kemudian ternyata berujung fatal buat Indonesia
Foto: picture-alliance/Everett Collection
Manuver Sukarno
Hubungan Indonesia dan barat remuk setelah Amerika Serikat membantu pemberontakan PRRI/Permesta tahun 1958. Sebagai balasan Sukarno memerintahkan agresi militer terhadap Malaysia buat menentang pembentukan negara persemakmuran oleh Inggris. Soekarno saat itu beralasan dirinya menentang neo kolonialisme. Realitanya ia menyokong pemberontakan kelompok Komunis Malaysia di Serawak.
Foto: gemeinfrei
Harapan di Tangan Tentara
AS pun mulai berupaya menggembosi Partai Komunis Indonesia. Mereka mengkhawatirkan Soekarno yang mulai tua akan mewariskan tahta kepada PKI. Kendati dimusuhi Jakarta, dinas rahasia barat tetap menjalin kontak dengan TNI yang dianggap satu-satunya harapan memberangus komunisme di Indonesia. Hingga peristiwa 65, AS telah melatih setidaknya 4000 perwira TNI.
Bantuan dari Jerman
Tahun 1971 mingguan Jerman Der Spiegel melaporkan pada 1965 dinas rahasia BND bekerjasama dengan CIA memerangi PKI di Indonesia. BND antara lain membantu TNI dengan memasok senjata api, alat komunikasi dan uang senilai 300.000 DM atau sekitar 700 ribu Euro.
Foto: Imago
Pujian Gehlen buat Suharto
Tahun 1965 BND memiliki seorang agen rahasia, eks perwira NAZI, Rudolf Oebsger-Röder yang menyamar sebagai wartawan di Jakarta. Reinhard Gehlen (gambar), Presiden BND, menulis dalam memoarnya bahwa keberhasilan Suharto "menumpas PKI patut dihargai setinggi tingginya." Gehlen mengaku kehilangan "dua teman dekat" yang ikut dibunuh pada peristiwa G30S, salah satunya Brigjen Donald Isaac Pandjaitan
Foto: picture-alliance/dpa
Propaganda Kiriman Barat
National Security Archive di AS mencatat dinas rahasia Inggris, MI6, yang beroperasi dari Singapura, menggandeng dinas rahasia Australia buat merancang propaganda hitam terhadap PKI, etnis Cina dan Sukarno. MI6 bahkan memanipulasi pemberitaan media asing seperti BBC. Propaganda yang banyak berkaca pada pemberontakan komunis Malaysia itu lalu diadopsi berbagai media Indonesia yang dikuasai TNI
Foto: Getty Images/C. Goldstein
Daftar Maut Amerika
Tidak banyak kejelasan mengenai keterlibatan langsung dinas rahasia asing terhadap pembantaian simpatisan PKI. Yang jelas sejarah mencatat bagaimana Kedutaan Besar Amerika Serikat menyerahkan daftar berisikan 5000 nama jajaran pimpinan PKI kepada TNI. Dokumen tersebut, kata Robert J. Martens, atase politik di kedubes AS, "adalah bantuan besar buat TNI."
Foto: Carol Goldstein/Keystone/Getty Images
Darah Disambut Pesta
Di hari-hari pembantaian itu dunia merayakan kehancuran PKI di Indonesia. PM Australia Harold Holt (ki.) berkomentar "dengan dibunuhnya 500 ribu sampai 1 juta simpatisan Komunis, aman untuk berasumsi bahwa reorientasi (di Indonesia) sedang berlangsung." Ironisnya Uni Sovyet cuma bereaksi dingin dengan menyebut pembantaian tersebut sebagai "insiden yang tragis."
Foto: Yoichi Robert Okamoto
12 foto1 | 12
Beda jauh dengan nasib Amir Sjarifuddin, yang demikian tragis. Sebelum dieksekusi di sebuah tempat terpencil di Solo, Amir sempat diarak keliling Yogyakarta, sebagai seorang pesakitan. Bagaimana mungkin Hatta (selaku PM), dan juga Soekarno (selaku Presiden) membiarkan tindakan penistaan tersebut. Apakah yang terjadi saat itu benar-benar di luar kendali Soekarno-Hatta (sebagai otoritas sipil), sampai sekarang hal ini masih misteri.
Untuk pertama kalinya negara memberikan contoh buruk perihal adab berpolitik, yang dampaknya masih terasa hingga sekarang. Bagaimana seorang sekelas Amir Sjarifuddin, mantan Perdana Menteri, dan mengabdikan lebih dari separuh hidupnya untuk pergerakan nasional, bisa direndahkan martabatnya seperti itu. Kita jadi paham sekarang, bagaimana masyarakat kita acapkali main hakim sendiri, pada orang atau pihak yang belum jelas kesalahannya.
Suara Bisu Perempuan Korban Tragedi 65
Jutaan penduduk menua dengan trauma 65 di pundaknya. Sebagian pernah disiksa dan kehilangan anggota keluarga. Hingga kini mereka menderita dalam diam. Tanpa suara. Tanpa keadilan.
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Uang saya hanya cukup untuk menyambung nyawa"
Sumilah berusia 14 tahun ketika ia ditangkap tahun 1965. Tuduhannya: Dia adalah anggota dari gerakan perempuan "Gerwani". Aparat menghajarnya sampai pingsan. Mereka kemudian menyekap Sumilah di kamp Plantungan. Di sana baru diketahui bahwa ia korban salah tangkap. Di masa tua, Sumilah hidup di Yogyakarta dengan uang pas-pasan.
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Mereka memukuli ayahku hingga hampir mati"
Ayah Kina diduga merupakan simpatisan Komunis. Ia ditangkap dan tak boleh bekerja. "Itu sebabnya saya mengambil peran sebagai pengganti ayah," kata dia. Kina berpakaian seperti anak laki-laki, bekerja di ladang an mengumpulkan kayu bakar. Masyarakat mengecapnya sebagai "anak komunis". Oleh karena itu, ia dan saudara-saudaranya kehilangan hak atas tanah ayah mereka .
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Masih tersimpan luka di hati saya"
Suami Lasinem ditangkap tahun 1969, disiksa & dikirim ke Pulau Buru. "Suamiku diangkut oleh kawannya sendiri, yang merupakan tentara. Dia dipukuli, punggungnya diinjak-injak sampai luka di sekujur tubuh," papar Lasinem. Perempuan ini ditinggalkan sendirian dengan anak-anaknya. Tahun 1972, mereka menyusul sang kepala keluarga ke Buru. Trauma ketakutan melekat di diri Lasinem hingga saat ini.
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Meski dipukuli bertubi-tubipun saya tidak menangis"
Sri adalah seniman dan penyanyi yang tergabung dalam organisasi yang dekat dengan Partai Komunis Indonesia. Pada tahun 1965 ia ditangkap, disiksa, dan dipenjara. "Depan kamar tidur kami penuh tahi," kenangnya. "Kotoran itu baunya tak tertahankan." Ketika dia dibebaskan pada tahun 1970, rumahnya sudah dirampas keluarga lain. Sri menjadi tunawisma. Di masa tua, ia tinggal bersama keponakannya.
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Aku harus meninggalkan bayi perempuanku"
Berkali-kali Yohana ditangkap, ditahan, diinterogasi. Ketika ditangkap ke-2 kalinya, ia baru saja melahirkan. Ia dipisahkan dari bayinya masih menyusu. Dua tahun kemudian baru ia bertemu anak perempuannya lagi. "Pengalaman kekerasan itu menghantuiku terus," paparnya. Namun, sepanjang hayatnya, ia tak pernah menceritakan apa yang menimpanya saat itu, bahkan pada keluarganya sekalipun.
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Mungkin takkan pernah lupa"
Ketika Juriah beumur 7 tahun, ayah diasingkan ke Pulau Buru tahun 1966. Saat menginjak usia 18 tahun, Juriah dipaksa ikut pernikahan massal. Dia harus berjanji tidak pernah meninggalkan Buru. Meskipun penuh penderitaan, ia tetap di sana: "Jika kita datang ke tempat-tempat tertentu, kita akan berbicara tentang masa lalu dan terasa seolah-olah kita tertusuk pisau."
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Orang-orang belum tahu kebenarannya"
"Begitu banyak hilang pada tahun 1965, tanpa pengadilan atau bukti-bukti keterlibatan dengan kasus 65," kata Migelina. Seluruh keluarganya dipenjara pada tahun 1965 - ia kehilangan orang tuanya dan kakaknya. Meski tragedi sudah berlalu berakhir, tetapi ia tetap mendoakan. Migelina percaya bahwa Tuhan memberinya kehidupan lebih panjang, untuk bisa mengetahui apa yang terjadi dengan keluarganya.
Foto: Anne-Cecile Esteve
7 foto1 | 7
Ditiru Soeharto
Cara Hatta memperlakukan teman-teman seperjuangannya, entah sengaja atau tidak, kemudian ditiru oleh Soeharto. Benar, Soeharto menjadikan Hatta sebagai bench mark. Logika yang dipakai Soeharto kira-kira seperti ini, kalau Hatta saja sebagai figur politisi sipil terkemuka dan cendekiawan, bisa berlaku seperti itu, tentu publik akan memahami tindakan Soeharto (terhadap sahabatnya), bukankah Soeharto adalah sosok militer tulen, yang sudah akrab dengan tindak kekerasan.
Cuma bedanya Soeharto sedikit memberi sentuhan nilai kejawen, sesuai dengan latar belakang etnis budaya dia. Nilai dimaksud tercermin dalam ungkapan (Jawa) “tega larane, ra tega patine”. Kira-kira maknanya adalah: terhadap seorang teman, kita mungkin masih tega menyakitinya, namun ketika teman itu sedang menghadapi bencana (apalagi sampai mengancam nyawanya), kita akan merasa iba pula.
Sebagai penghayat kejawen yang kental, tentu Soeharto sangat paham atas narasi ini. Nilai inilah yang dipraktikkan oleh Soeharto secara “selektif” terhadap dua orang sahabatnya: Letkol Untung dan Kolonel Latief. Bagian tega larane (tega menyakiti), Soeharto terapkan pada Letkol Untung. Sementara ra tega patine (masih ada rasa iba) diberlakukan pada Kolonel Latief. Itu sebabnya Untung kemudian dieksekusi (mati), sementara Kolonel Latief sedikit terselamatkan, berupa vonis seumur hidup.
Memang logis juga bila Untung kemudian dieksekusi, karena posisinya yang sangat menentukan dalam gerakan dimaksud (G30S), setidaknya dibanding peran Kolonel Latief. Namun ini sekadar asumsi, bagaimana alasan yang lebih detail, mengapa Soeharto bertindak “diskriminatif” seperti itu, hanya Soeharto sendiri yang tahu.
Komunisme Sudah Mati Dimangsa Kapitalisme
Ideologi komunisme sudah bangkrut seiring runtuhnya Tembok Berlin, bubarnya Uni Sovyet dan Pakta Warsawa. Ironisnya negeri komunis kini lebih lihai bicara pertumbuhan ekonomi ketimbang ideologi.
Foto: Fotolia/Savenko Tatyana
Rusia
Biang komunisme Eropa ini menyadari runtuhnya ideologi yang digagas Karl Marx dan dikembangkan oleh Lenin dan Stalin seiring bubarnya Uni Sovyet. Pemimpin Rusia saat ini, Vladimir Putin tidak lagi banyak bicara soal ideologi, melainkan lebih menekankan ekpsor migas, penjualan senjata dan berebut hegemoni kekuatan global.
Foto: picture alliance/landov/A. Zhdanov
Cina
Embahnya komunisme di Asia ini menyadari bahwa ekonomi lebih penting dari ideologi. Petinggi Partai Komunis di Beijing lebih panik saat ekspor anjlok dan konjungktur turun, ketimbang saat Kongres Rakyat macet. Cina masih terapkan sistem satu partai, tapi terus membangun zona ekonomi istimewa dimana-mana untuk genjot ekspor. Negara ini juga memberi utang 1 Trilyun US Dollar kepada Amerika Serikat.
Foto: Reuters/D. Sagolj
Vietnam
Negara Asia lain yang masih mengusung ideologi komunisme ini, sudah sejak dua dasawarsa banting setir mengutamakan pertumbuhan ekonomi. Komunis Vietnam digdaya pada tahun 70-an dengan menumbangkan kekuatan Amerika. Namun tahun 90-an menyadari, kemakmuran dan ekonomi lebih penting dibanding ideologi.
Foto: AFP/Getty Images
Korea Utara
Satu-satunya negara Asia yang diyakini masih setia pada ideologi komunisme adalah Korea Utara. Tapi Kim Jong Un kini lebih tertarik pada permainan kekuasaan global, dengan ancaman senjata nuklirnya ketimbang penguatan ideologi. Politik dinasti Kim kini kelihatan jauh lebih penting dari komunisme, yang lebih banyak digunakan menenangkan rakyat yang lapar dan miskin.
Foto: picture-alliance/AP Photo
Kuba
Komunisme di Kuba pelan-pelan sekarat bersama lengsernya Fidel Castro. Penerusnya yang juga adiknya Raul, lebih membuka diri untuk pertumbuhan ekonomi. Pelan tapi pasti Kuba membuka pasarnya dan berfokus pada kepentingan ekonomi ketimbang ideologi. Rakyat sudah muak dengan kemiskinan dan pembodohan selama 5 dasawarsa diktatur komunis.
Foto: picture-alliance/dpa/O. G. Mederos
Laos
Sejak lebih dari satu dekade Laos yang berpartai tunggal sibuk menggulirkan liberalisasi pasar untuk membenahi perkonomian. Hasilnya adalah pertumbuhan ekonomi di atas 8% hampir setiap tahun. Tapi serupa Cina, jiran Indonesia itu masih setia pada konsep Marxis/ Leninis dan tidak segan menangkap atau menghilangkan paksa aktivis kemanusiaan jika diperlukan.
Foto: Getty Images/AFP/H. Dinh Nam
6 foto1 | 6
Seabad Menanti Kebenaran
Apa yang sebenarnya terjadi pada Peristiwa 1965, masih misteri sampai sekarang. Namun secara perlahan, dengan berjalannya waktu, secara alamiah akan terungkap juga. Saya kira, generasi sekarang rasanya belum sanggup membongkarnya, karena rentang waktunya relatif masih dekat dengan peristiwa. Dalam hitungan kasar, kemungkinan masih seabad lagi, impas dengan riwayat perlawanan terhadap komunisme, yang tahun ini memasuki usia seabad, bila dihitung dari pelaksanaan Kongres Nasional CSI 1916, sebagaimana disebut di awal tulisan ini.
Bagi otoritas politik, Peristiwa 1965 mungkin sudah dianggap selesai, namun sebagai kajian akademik, kejadian yang membentuk sejarah Indonesia modern ini masih jauh dari selesai. Kalangan sejarawan sepakat, bahwa dalam menganalisis Peristiwa 1965, belum ada yang lebih maju dari apa yang dulu dihasilkan Ben Anderson dan Ruth McVey, dalam naskah yang kemudian dikenal sebagai Cornell Paper. Secara singkat (menurut Cornell Paper), peristiwa itu pada pokoknya adalah konflik internal TNI AD, itu pun lebih khusus lagi dalam lingkup Kodam VII/Diponegoro.
Rasanya kita ikut gemas juga, mengapa tidak kunjung muncul karya berikutnya yang lebih maju dari analisis Cornell Paper. Ya mau bagaimana lagi, kalau analisis itu memang belum tersedia. Seperti perkiraan di di awal nulasan, kita tunggu saja temuan generasi yang akan datang, mudah-mudahan saja mereka masih berminat membongkar peristiwa setengah abad lalu itu.
Dalam sebuah perbincangan informal, di tempat saya bekerja dahulu (Komunitas Utan Kayu), Ben Anderson mengakui, memang masih ada kesalahan dalam Cornell Paper. Itu terjadi karena dibuat agak terburu-buru, dan tanpa sempat melakukan penelitian lapangan (di Jakarta). Namun penulisan Peristiwa 1965 versi Orde Baru, menurut Ben Anderson, kesalahannya lebih banyak lagi.
Penulis:
Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai staf administrasi pada lembaga HAM (KontraS).
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis.
Memburu Simbol Pemimpin Komunis Cina
Mao Zedong merupakan tokoh Partai Komunis Cina yang sangat berpengaruh & kontroversial. Sementara di Indonesia simbol komunisme diburu untuk dimusnahkan, turis & kolektor memburu berbagai barang bersimbol Mao.
Foto: picture-alliance/dpa
Poster dimana-mana
Saat berlangsung Revolusi Kebudayaan di Cina (1966-1976), poster-poster semacam ini tersebar. Saat itu, rakyat Cina mendambakan ‘era baru‘ dan ‘manusia baru‘. Zaman berganti, poster-poster sejenis ini masih bertebaran. Mao, penggerak Revolusi Kebudayaan, lahir dari keluarga petani miskin di Hunan, Cina tahun 1893. Ia menjadi pemimpin revolusi Cina dan kemudian pemimpin tertinggi RRC.
Foto: picture-alliance/dpa
Bros dan selebaran
Revolusi Kebudayaan menjadi gerakan radikal generasi muda dalam kapitalisme, intelektual dan haluan kanan. Bagi yang ingin menjadi seorang revolusioner sejati, berada di Mao, mereka menunjukkannya dengan mengenakan setelan Mao yang sederhana dilengkapi lencana bergambar Mao. Setelan Mao ini juga dianggap sebagai bentuk ketiadaan kelas. Gambar-gambar Mao menjadi simbol revolusi.
Foto: Getty Images/China Photos
Buku Mao dalam berbagai bahasa
Mesin propaganda dari Revolusi Kebudayaan menghasilkan jutaan eksemplar "Buku Kecil Merah" yang berisi kata-kata yang diungkapkan Mao. Buku-buku kecil ini dianggap ‘lentera merah’ dan ‘hati merah’ yang menyinari kaum proletar, sehingga menjadi ‘garis merah’ yang diikuti di dunia.
Foto: picture-alliance/dpa/T. Röstlund
Mao di setiap rak
Poster, tombol dan buku tidak cukup, bahkan ratusan ribu patung-patung setengah badannyapun diproduksi. Para pengikutnya meyakini bahwa kebijakannya telah mengubah negara tirai bambu itu dari masyarakat agraris menjadi kekuatan dunia. Filsuf ini juga dikenal sebagai penyair dan tokoh visioner. Meskipun terus diperdebatkan bahwa kebijakannya mengakibatkan kematian massal.
Foto: Getty Images/China Photos
Mao ada di mana-mana
Patung setengah badan pun tak cukup, maka dari bahan porselen, dibuat pula patung utuh Mao – bahkan ada yang sebesar ukuran aslinya.
Foto: imago/UIG
Koleksi populer
Revolusi Kebudayaan sudah setengah abad berlalu. Saat itu, sebagian masyarakat mengalami masa-masa waktu traumatis. Namun bagi kolektor, masa-masa yang dikira sebagai pembaruan ini menjadi sumber sukacita tanpa batas.
Foto: Getty Images/AFP
Bisnis menguntungkan
Para agen penjualan di Beijing tahu bahwa menjual poster dan majalah lama dari periode Revolusi Kebudayaan untuk kolektor dan wisatawan dari Barat sangatlah menguntungkan.