Revolusi Indonesia tahun 1945-1948, digerakkan oleh mereka yang berusia antara 18 sampai 25 tahun. Bagaimana dengan generasi muda sekarang? Kini mereka jadi rebutan kaum elite politik. Simak opini Aris Santoso.
Iklan
Generasi baru yang kini lebih populer disebut Generasi Y atau generasi milenial (mereka yang lahir di era 1990-an), hari ini sedang menjadi primadona dalam konteks Pilpres 2019.
Jumlah mereka yang besar, telah menjadi incaran capres-cawapres yang sedang bertarung menuju kekuasaan periode 2019-2024.
Tumbuh keyakinan di masing-masing kubu, bisa mendulang suara dari generasi milenial akan memberi hasil signifikan dalam kontestasi hari ini.
Bila kita perhatikan, masing-masing kubu terlihat demikian optimisnya, bakal merebut simpati generasi milenial, tanpa kita pernah tahu apa yang mendasari mereka, sehingga begitu optimistis.
Publik belum pernah melihat, bagaimana peta jalan masing-masing kubu dalam upaya mendekati generasi milenial. Yang kita kita lihat baru sebatas pernyataan verbal, lalu bagaimana operasionalnya di lapangan, selama ini masih samar-samar.
Saya sendiri khawatir, sebenarnya para capres belum memiliki skema soal bagaimana mendekati kaum belia tersebut.
Bisa jadi tim sukses masing-masing capres sudah turun ke lapangan, untuk menangkap aspirasi kaum muda terkait pilpres tahun depan. Tanpa memahami aspirasi kaum milenial, sebagus apa pun janji para capres hanya akan lewat begitu saja.
Kesenjangan antargenerasi
Bila kita perhatikan, optimisme masing-masing kubu hanya berdasarkan asumsi "senior dan yunior”.
Maksudnya, kalangan generasi milenial sebagai yunior secara otomatis akan mengikuti kehendak para senior.
Para senior adalah mereka yang lahir dari dekade 1940-an sampai 1970-an, generasi yang paling sibuk berebut kekuasaan tahun depan.
Asumsi bahwa yunior akan secara otomatis mengikuti kehendak senior, sejatinya sudah usang. Model seperti itu hanya pas ketika ormas kemahasiswaan sedang berjaya, seperti HMI, GMNI, AMPI, dan seterusnya.
Sebuah fenomena yang pernah terjadi di masa lalu, kira-kira sampai dekade 1980-an. Kini era kejayaan ormas kemahasiswaan (atau pemuda) sudah lewat, generasi milenial memilih mencari jalan sendiri dalam mengaktualisasikan dirinya.
Bila masing-masing kubu masih mengandalkan pendekatan senior ke yunior, istilah yang paling tepat bagi mereka adalah ahistoris. Semangat hidup yang kini sedang dijalani generasi milenial, sesuai dengan konsep yang pernah disampaikan Indonesianist terkemuka Ben Anderson (almarhum).
Menurut Ben, revolusi Indonesia tahun 1945-1948, digerakkan oleh mereka yang berusia antara 18 sampai 25 tahun.
Kalau kita percaya pada tesis Ben Anderson tersebut, sebenarnya di zaman apapun, lebih khusus lagi di masa sekarang, tidak ada tempat bagi aspirasi konservatif.
1968: Revolusi, Seks, Aktualisasi Diri
50 tahun lalu, Eropa Barat dan Amerika Serikat dilanda revolusi kaum muda 'Angkatan 68'. Mereka menggugat norma-norma generasi tua dari era Perang Dunia II, dan menuntut kebebasan menentukan jalan hidup sendiri.
Foto: Imago/United Archives
Tema 'pencerahan seksual' masuk bioskop
Di Jerman, Oswald Kolle tahun 1968 mengusung tema kehidupan seksual ke layar lebar dengan film "Das Wunder der Liebe" (Keajaiban Cinta). Film jilid pertama diproduksi dalam hitam putih, jilid kedua berwarna. Film-film itu memicu perdebatan sengit tentang norma-norma kehidupan seksual.
Foto: DHM
Perang Vietnam dan perlawanan di Barat
Seorang polisi Saigon menembak mati warga yang diduga anggota Vietcong. Kebrutalan milter Barat dan mitra-mitranya di Vietnam tersebar cepat lewat media dan menyulut protes keras dan luas di Eropa barat dan Amerika Serikat. Maret 1968, Presiden AS Lyndon B. Johnson memutuskan tidak mencalonkan diri lagi.
Foto: picture-alliance/AP Photo/E. Adams
Aksi teror ekstrimis kiri
Sebagai protes terhadap "Genosida di Vietnam" sekelompok aktivis kiri di sekitar Andreas Baader dan Gudrun Ensslin mencoba membakar dua rumah belanja di kota Frankfurt. Kedua aktivis tersebut kemudian mendirikan kelompok ekstrim Rote-Armee-Fraktion (RAF) yang melakukan berbagai serangan bersenjata, penculikan dan pembunuhan.
Foto: picture-alliance/AP Photo/C. Hampel
"Revolusi Mahasiswa"
Rudi Dutschke muncul sebagai salah satu tokoh mahasiswa dalam aksi protes menentang perang Vietnam. Kelompok-kelompok mahasiswa kemudian dikenal sebagai blok oposisi ekstra parlementer yang cukup berpengaruh. April 1968 Rudi Dutschke jadi korban penembakan. Dia menderita luka cukup berat dan meninggal tahun 1979 karena komplikasi luka itu.
Foto: AP
Terbunuhnya seorang pengkhotbah
4 April 1968 Martin Luther King ditembak mati di Memphis, Amerika Serikat. Pembunuhan tokoh pejuang hak asasi kulit hitam itu menyulut aksi protes luas menentang rasisme di Amerika Serikat yang punya akar sangat mendalam. Di lebih 100 kota terjadi aksi protes diiringi kerusuhan yang mengakibatkan banyak korban tewas dan cidera.
Foto: picture-alliance/AP Photo/J. Thornell
Mengubah dunia
Band The Beatles menampilkan single "Hey Jude" yang menjadi hit paling populer tahun 1968 dengan angka penjualan sekitar 7,5 juta piringan hitam. Hey Jude dipasarkan dalam satu piringan hitam bersama lagu "Revolution" - mencerminkan semangat era 1968 dengan motto: "Kami ingin mengubah dunia."
Foto: picture-alliance/AP
Tamparan Gereja Katolik
Penemuan pil anti hamil mengubah persepsi kehidupan seksual generasi muda pada jamannya. Kontak seksual kini tidak hanya dihubungkan dengan tindakan reproduksi, tetapi dikaitkan juga dengan faktor kenikmatan dan aktualisasi diri. Pimpinan Gereja Katolik Paus Paulus VI menentang pandangan itu dan menerbitkan "Humanae Vitae" yang menentang segala bentuk pencegahan kehamilan.
Foto: picture-alliance/dpa
Pehamaman baru
Natal 1968, kru Apollo 8 membuat foto planet bumi dengan judul "Earthrise" - sebuah foto yang memberi pandangan dan pemahaman baru terhadap Bumi. Planet ini tiba-tiba dilihat banyak orang sebagai sesuatu yang indah dan harus dilindungi. Foto ini berhasil mengubah cara pandang orang mengenai kelestarian dan perlindungan lingkungan. (Teks: Nicolas Martin/hp/ap)
Foto: picture-alliance/dpa/NASA
8 foto1 | 8
Namun sayang, dinamika dan kreativitas membuncah yang lahir dari generasi milenial, acapkali tidak bisa dimengerti elite pengusa. Menjadikan generasi milenial sekadar lumbung suara, perilaku konservatif generasi tua telah mencapai titik nadir.
Kaum tua seolah lupa sejarah, bahwa selalu ada kesenjangan -- lebih tepat lagi ketegangan – antargenerasi di negeri ini. Salah satu yang paling gamblang, adalah ketegangan antara Generasi 1966 yang sangat pro rezim Orde Baru, berhadapan dengan generasi Malari (1974), yang mulai bersikap kritis terhadap Orde Baru.
Generasi Malari telah menjadi inspirasi bagi generasi berikutnya untuk terus melawan rezim Orde Baru, hingga Soeharto benar-benar turun pada Mei 1998.
Bila generasi 1966 saja sudah diabaikan, bisa kita bayangkan bagaimana kondisi generasi yang lebih lampau, yaitu Generasi 1945, tentu citranya lebih suram lagi. Bila generasi milenial masih bersedia mengingat Generasi 45, itu lebih karena rasa belas kasihan, bukan karena performa Generasi 45.
Bagaimana tidak, Generasi 45 selalu membanggakan semangat nasionalismenya, ironisnya semangat nasionalisme itu mereka hanguskan sendiri, melalui serangkaian tindak korupsi, penindasan rakyat, pelanggaran HAM, dan seterusnya, saat Generasi 45 mencapai puncak kekuasaannya, dengan Soeharto sebagai representasinya.
Tradisi kekuasaan yang dulu dikembangkan Generasi 45, sampai kini masih meninggalkan jejak kuat. Seperti yang pernah dikatakan tokoh Gerakan Malari 1974 Hariman Siregar, bahwa demokrasi hari ini adalah demokrasi yang sudah dibajak dengan uang, dibajak dengan orang kaya dan menciptakan dengan prosedur yang sangat mahal.
Semisal untuk menjadi caleg DPR harus memberi mahar pada partai pengusung, demikian juga bila ingin maju dalam pilkada, para calon harus menyediakan dana dalam jumlah besar. Dana kampanye pilpres tentu lebih besar lagi, sangat fantastis, di luar imajinasi rakyat kebanyakan. Itu sebabnya perilaku koruptif terus berlangsung, karena politisi memerlukan dana yang besar
Observasi dua komunitas
Saya pribadi juga sedang mencoba menangkap aspirasi politik generasi milenial berdasarkan observasi pada dua komunitas. Pertama, generasi milenial yang tergabung dalam Aksi Kamisan, yakni mereka yang rutin mengadakan aksi damai di depan Istana Merdeka setiap hari Kamis (sore).
Kedua, adalah komunitas Rumah Rode di Yogyakarta, yang beranggotakan sekumpulan mahasiswa dari berbagai kampus swasta, dengan motornya adalah mereka yang kuliah di UII (Universitas Islam Indonesia).
Tentu ada banyak komunitas dan kantong generasi milenial lain, dengan segala beragam ide-ide kreatifnya, dua komunitas di atas hanyalah sekadar contoh.
Setidaknya dua komunitas tersebut bisa dijadikan jendela dalam memahami aspirasi dan konfigurasi generasi milenial. Dari observasi lapangan, salah satu temuan menarik adalah, mereka tidak terlalu peduli dengan segala kebisingan menjelang Pilpres 2019.
Mereka bukannya tidak tertarik pada politik dan kekuasaan, namun mereka memiliki peta jalan sendiri untuk mengekspresikan aspirasi mereka.
Keterlibatan dalam aksi Kamisan, merupakan salah satu bentuk ekspresi mereka membela korban pelanggaran HAM. Ketika elite di Istana tidak pernah merespons aksi Kamisan, padahal aksi itu hanya sepelemparan batu jaraknya dari Istana, bisa kita tebak bagaimana pandangan generasi milenial terhadap kekuasaan.
Wajar bila mereka kemudian bersikap dingin terhadap kekuasaan. Mereka sudah bisa membaca, bahwa aksi Kamisan suatu saat akan menjadi salah satu media dalam kampanye capres, baik kubu petahana maupun penantang.
Namun ikhtiar tersebut percuma saja, politisasi aksi Kamisan adalah kesia-siaan.
Sementara komunitas Rode sangat menyesalkan ormas kemahasiswaan dan pemuda yang sekadar menjadi kepanjangan tangan dari para senior atau parpol yang menjadi afiliasinya.
Dalam pandangan Rode, suara generasi milenial adalah simbol kedaulatan, idealnya generasi milenial bisa menggunakan suaranya secara kritis, tidak sekadar mengikuti kemana angin bertiup. Meskipun angin itu digerakkan para senior.
Sekadar tambahan informasi, Komunitas Rode didirikan oleh sejumlah aktivis generasi 1980-an dari kampus UII. Sejak lahir komunitas ini memang kritis terhadap kekuasaan, bahkan pada dua level kekuasaan.
Pertama, kritis terhadap Orde Baru, sebagai alasan utama pendirian komunitas ini tahun 1988 dulu.
Kedua, kritis terhadap ormas kemahasiswaan, khususnya HMI, mengingat para pendahulu Rode adalah "sempalan” HMI, ketika HMI dianggap semakin dekat dengan kekuasaan (rezim Orde Baru). Sikap kritis dua level ini masih dipertahankan sampai hari ini.
Bonn Cup 2017: Galang Persatuan Lewat Olahraga
Beda warna kulit, suku, agama, pandangan? Tak jadi soal. Para perwakilan mahasiswa se-Jerman dan sekitarnya berkumpul di Bonn, Jerman untuk berkompetisi dan bersilaturahmi. Yuk simak kegiatannya di Bonn Cup 2017-
Foto: DW/A.Purwaningsih
Saya Indonesia
Perhimpunan Pelajar Indonesia di Bonn (PPI Bonn) menyelenggarakan Kejuaraan Bonn Cup 2017 di kota Bonn, Jerman, kota dimana Deutsche Welle juga berkantor. Bonn Cup 2017 digelar bertepatan dengan peringatan Sumpah Pemuda. Motto yang mereka usung : "Saya Indonesia": Meski jarak memisahkan dengan kampung halaman, kecintaan pada tanah air tak pudar begitu saja.
Foto: DW/A.Purwaningsih
Basket, voli, dan lain-lain
Beragam jenis pertandingan yang dikompetisikan dalam ajang Bonn Cup 2017, mulai dari basket, futsal, badminton, hingga catur. Lebih dari 20 kontingen perwakilan PPI berbagai kota di Jerman dan negara-negara sekitar ikut serta dalam Bonn Cup 2017. Ratusan orang tumpah ruah di sebuah aula olahraga dataran tinggi Bonn.
Foto: DW/A.Purwaningsih
Mengoptimalkan segala potensi
Tujuan utama dari Bonn Cup 2017 tidak lepas dari prinsip dasar PPI Bonn
sebagai wadah untuk saling meningkatkan kualitas diri dan mengoptimalkan
segala potensi. Dalam acara ini PPI Bonn memberikan fasilitas bagi masyarakat
Indonesia di Jerman untuk mengapresiasikan ketertarikan dalam bidang
olahraga dan budaya.
Foto: DW/A.Purwaningsih
Tanding, tukar ilmu, cari jodoh, dll
Menurut para penyelenggara acara dan peserta, kegiatan ini menjadi ajang temu setahun sekali ratusan mahasiswa di Jerman dan sekitarnya. Saling kenalan, tukar informasi, wawasan bahkan jadi ajang ketemu jodoh. Jadi urusan kalah-menang tak jadi soal. Yang terpenting adalah membangun kebersamaan dan persatuan.
Foto: DW/A.Purwaningsih
Berlin bawa maskot
Ceria dan gembira. Wajah-wajah tersebut yang kebanyakan bisa ditemui di arena ini. Setiap kontingen yang mewakili PPI berbagai kota di Jerman dan sekitarnya berusaha keras menyemangati para pemainnya. Termasuk para suporter dan pemain dari Berlin ini. Maskot, bendera, hingga lagu-lagu penyemangat mereka suarakan dari tribun. Heboh? Tentu saja. Kontingen lainpun tak mau ketinggalan.
Foto: DW/A.Purwaningsih
Cari ketenangan?
Ribut dan heboh. Namanya juga anak-anak muda yang kegirangan berkumpul. Jadi sangat sulit untuk temukan area yang tenang di aula Bonn Cup ini. Kecuali di ruang pertandingan catur yang butuh konsentrasi tinggi dalam mengatur langkah.
Foto: DW/A.Purwaningsih
Layanan bagi masyarakat
Ajang festival sport yang diadakan PPI Bonn ini boleh dibilang cukup heboh, karena bukan hanya memfasilitasi pertandingan, mereka juga menjembatani berbagai fasilitas lain, termasuk penyediaan layanan bagi masyarakat Indonesia yang butuh layanan konsuler seperti perpanjangan paspor dan lapor diri. Untuk urusan ini mereka didukung Konsulat Jenderal Republik Indonesia dari kota Frankfurt.
Foto: DW/A.Purwaningsih
Ada produk-produk dari Indonesia
Pernak-pernik Indonesia, kain tradisional, baju, dekorasi rumah dan berbagai produk Indonesia yang berasal dari pengrajin kecil di tanah air, dipamerkan di bagian luar arena. Para pengunjung Bonn Cup tak hanya dimanjakan dengan ragam pertandingan, layanan konsuler dan makanan enak, namun juga pemandangan produk-produk menarik asli Indonesia.
Foto: DW/A.Purwaningsih
Jangan sampai kelaparan
Olahraga butuh energi, tentunya. Karena membawa nama Indonesia, sajiannya pun menu-menu Indonesia, mulai dari mpek-mpek, bakso, sate ayam, ketoprak, nasi dan sate Padang, gado.gado, coto Makassar, sampai sate. Makanan kecilnya pun tidak ketinggalan mulai dari bakwan atau bala-bala, tempe mendoan, singkong goreng, arem-arem, nagasari, roti bakar, cilok dan seblak.Tinggal pilih sesuai selera!
Foto: DW/A.Purwaningsih
Jaga kebersihan!
Jerman terkenal dengan kedisiplinannya. Termasuk dalam menjaga kebersihan. Arena yang dipakai harus dikembalikan kembali seperti keadaan sebersih semula sebelum dipinjam. Tak heran jika di sana-sini dipenuhi peringatan soal menjaga kebersihan di arena gedung olah raga. Contohnya seperti di atas ini. Beda dengan peringatan yang biasa formal, pesan di area Bonn Cup sangat santai gaya anak muda.
Foto: DW/A.Purwaningsih
Pejamkan mata sejenak
Ratusan orang, puluhan kota. Penontonnya bukan hanya mahasiswa melainkan warga Indonesia dan Jerman yang tertarik hadir. Serasa di Indonesia, demikian gumam beberapa pengunjung. Seorang peserta acara tampak kelelahan dan tidur nyenyak di antara koper-koper rekan-rekannya. Maklum perjalanan panjang pagi buta harus mereka tempuh agar bisa tiba sedini mungkin.
Foto: DW/A.Purwaningsih
Hiburannya: dangdut-an
Dengar musik dangdut , siapa yang tahan tak bergoyang? Inilah hiburan di acara pembukaan pertandingan. Lagu-lagu dangdut yang didendangkan di tengah lapangan disambut dengan goyangan para pengunjung yang tampaknya 'kangen berat' dengan ke-Indonesiaan.
Foto: DW/A.Purwaningsih
Hadiahnya: sekardus mi instan
Selama acara dagdutan, para peserta yang turun melantai dan berani menampilkan jogetan terasyik, mendapatkan sekardus mi instan. "Malam ini kita pesta mi rebus!" teriak salah satu kontingen yang berhasil membawa pulang 3 dus mi instan sekaligus. Selain makanan, para pemenang Bonn Cup 2017 juga meraih hadiah berupa medali dan uang. [Ed: Purwaningsih/Siregar]
Foto: DW/T. Siregar
13 foto1 | 13
Melalui budaya pop
Ada banyak jalan dalam mendekati generasi ini, salah satunya melalui budaya pop. Sungguh gagasan cemerlang bila panitia pelaksana Asian Games 2018, mengundang salah grup pop terkemuka asal Korsel, yang langsung memperoleh respons positif. Namun ada kalanya tidak pas juga.
Seperti eksperimen yang dilakukan sebagian elite Istana, dengan mendirikan kelompok musik "Elek Yo Band”, jelas kurang mendapat sambutan.
Alih-alih mengundang simpati, kelompok itu justru hanya menjadi bahan parodi. Itu karena para personel memanfaatkan posisi mereka di kabinet, untuk ikut merambah panggung budaya pop, yang sebenarnya bukan domain mereka.
Tentu beda dengan kelompok atau personal yang membangun nama dari bawah, benar-benar berjuang untuk mencapai posisi terhormat dalam panggung musik pop, seperti diperagakan Via Vallen
Masih merujuk observasi lapangan, dari sekian lontaran gagasan yang pernah disampaikan generasi milenial, ada satu gagasan yang saya kira sangat cemerlang, dan genuine dari generasi ini. Mereka ingin agar lagu kebangsaan (Indonesia Raya), bisa dipadatkan. Yakni dibuat versi yang lebih ringkas, tanpa mengurangi esensinya.
Oleh karenanya ketika muncul wacana menyanyikan Indonesia Raya Stanza Tiga, yakni versi yang lebih panjang, gagasan ini seperti anomali. Versi ringkas ini lebih diperuntukan bagi kepentingan event internasional, agar tidak merepotkan panitia lokal, dan juga agar penonton (mancanegara) tidak terlalu lama menunggu.
Gagasan ini merupakan wujud kepedulian mereka terhadap masa depan bangsa, sebagai antisipasi bila atlet Indonesia mampu berjaya di tingkat internasional.
Dibandingkan dengan lagu kebangsaan negara lain, terutama negara maju, lagu kebangsaan kita memang terlihat terlampau panjang. Hingga lahir gagasan cerdas itu.Pesannya cukup jelas, bahwa durasi lagu kebangsaan bukanlah variabel dalam mengukur nasionalisme seseorang.
Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer (khususnya TNI AD). Kini bekerja sebagai editor paruh waktu.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
*Silakan menulis pendapat Anda di kolom komentar yang tersedia di bawah ini.
Mahakarya Patung Garuda Wisnu Kencana
Tak sekadar patung tertinggi ketiga di dunia, patung Garuda Wisnu Kencana karya I Nyoman Nuarta itu juga menjadi simbol mahakarya Indonesia di era modern.
Foto: Rusman - Biro Pers Setpres
Lahirnya mahakarya nusantara
28 tahun lamanya hingga patung Garuda Wisnu Kencana (GWK) tegak berdiri di bukit desa Ungasan, Badung, Bali. Permainan kembang api dan laser menyemarakkan peresmian GWK, Sabtu malam (22/09/2018).
Foto: Rusman - Biro Pers Setpres
Tertinggi ketiga
Patung GWK memiliki tinggi 121 meter atau 271 mdpl yang letaknya berada di atas lahan seluas 60 hektare. Setelah The Spring Temple Buddha di China berukuran 128 meter, dan The Laykyun Sekkya Buddha di Myanmar setinggi 130 meter dihitung dari dasarnya.
Foto: Rusman - Biro Pers Setpres
Bisa Bertahan 100 Tahun
"Patung GWK ini akan mampu bertahan selama kurang lebih 100 tahun dan saya yakin 100 tahun lagi patung GWK akan tetap menjadi karya peradaban yang dibicarakan, yang menjadi kebanggan bangsa dan menjadi warisan kebudayaan bangsa Indonesia," tutur Presiden Joko Widodo saat peresmian, Sabtu (22/09).
Foto: Rusman - Biro Pers Setpres
Mahakarya setelah Borobudur
Patung Garuda Wisnu Kencana dianggap sebagai mahakarya modern, setelah karya besar peradaban masa lalu seperti Candi Borobudur dan Candi Prambanan.
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
Seni berbalut teknologi
Patung GWK dibangun dengan mengolaborasikan seni dan teknologi. Proses pembuatannya harus melewati serangkaian tes, antara lain wind tunnel test atau tes ketahanan angin di Australia (Windtech) dan Kanada (RDWI), cavity test atau tes rongga secara berkala, dan soil test.
Foto: Rusman - Biro Pers Setpres
Ribuan pekerja dan seniman
Pembuatan patung tersebut total melibatkan 1.000 pekerja yang terbagi menjadi dua, yakni 400 pekerja di Bandung dan 600 pekerja di Bali. Pembuatan keping-keping GWK melibatkan sekitar 120 seniman. Maestro di balik GWK adalah I Nyoman Nuarta yang sudah memulai proyek raksasa ini sejak 1989.
Foto: Rusman - Biro Pers Setpres
Proses panjang dan rumit
Konstruksi patung dibuat dengan material tembaga dan kuningan, ditopang 21.000 batang baja dengan berat total 2.000 ton dan jumlah baut sebanyak 170.000 buah. Patung GWK terdiri dari sekitar 754 modul. Satu modulnya berukuran 4x3 meter dengan berat kurang lebih 1 ton.
Foto: Rusman - Biro Pers Setpres
Putri Ayu bersenandung
Penyanyi Putri Ayu turut meramaikan acara peresmian patung GWK dengan membawakan lagu Indonesia Pusaka.
Foto: Rusman - Biro Pers Setpres
Pesan penyelamatan lingkungan
Patung GWK merupakan wujud dari Dewa Wisnu yang mengendarai seekor Garuda. Dalam agama Hindu, Dewa Wisnu merupakan Dewa Pemelihara (Sthiti) yang menjaga alam semesta. Patung GWK menurut I Yoman Nuarta didedikasikan sebagai simbol dari misi penyelamatan lingkungan.
Foto: Rusman - Biro Pers Setpres
Miliaran Rupiah
Total anggaran untuk mendirikan patung ini disebut mencapai 450 miliar Rupiah.
Foto: Rusman - Biro Pers Setpres
Dari era ke era
Pembangunan patung GWK Kencana bermula dari gagasan Nyoman Nuarta bersama Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi Joop Ave, dan Gubernur Bali Ida Bagus Oka, serta Menteri Pertambangan dan Energi Ida Bagus Sudjana, sekitar 1989. Pada awal 1990, rencana itu dipresentasikan ke Presiden Soeharto, dan disetujui. Dan baru tahun 2018, di era Presiden Joko Widodo, GWK rampung.
Foto: Rusman - Biro Pers Setpres
Sirene peresmian
Mantan Presiden, Megawati Soekarnoputri dan Mantan Wakil Presiden, Try Sutrisno turut serta menekan sirene saat peresmian patung Garuda Wisnu Kencana.
Foto: Rusman - Biro Pers Setpres
Tak hanya ikon Bali
Patung GWK dianggap tak hanya menjadi simbol Pulau Dewata namun menjadi ikon Indonesia. "Saya melihat patung ini bukan hanya menjadi ikon budaya Bali atau ikon pariwisata Indonesia, tapi menjadi tapak sejarah. Bangsa kita akan mampu melahirkan karya-karya besar jika kita berani memulai dengan ide-ide besar," ujar Jokowi. Ed: ts/avz (dari berbagai sumber)