1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Sebagian Pengungsi Kokang Enggan Kembali ke Myanmar

1 September 2009

Konflik antara penguasa junta militer Myanmar dengan kelompok etnis Kokang, menyebabkan tingginya arus pengungsi kelompok minoritas itu. Meski kini ketegangan menurun, sebagian dari mereka masih menolak kembalí.

Pengungsi Kokang di YunanFoto: AP

Sekitar 30 ribu pengungsi etnis Kokang di Myanmar menyeberangi perbatasan ke Yunan, Cina. Tanggal 11 Agustus lalu, bahkan terjadi antrian sepanjang 9 kilometer untuk memasuki perbatasan itu. Mereka mengungsi karena bentrokan antara Junta Militer Myanmar dengan kelompok bersenjata Kokang. Kedua pihak sebenarnya sudah mengadakan gencatan senjata selama 20 tahun, namun tidak ada perjanjian perdamaian yang ditandatangani. Setelah penyisiran dilakukan di sebuah pabrik senjata di Kokang, Junta memperkuat militernya di wilayah otonomi itu. Kemudian meletuslah konflik bersenjata tersebut.

Junta militer berusaha untuk melucuti persenjataan pemberontak, sebelum berlangsungnya pemilu tahun 2010 depan. Atau paling tidak membuat mereka berada di bawah kendali pemerintah pusat, papar Jasmin Lorch dari Yayasan Ilmu Pengetahuan dan Politik di Berlin. "Kelompok minoritas, termasuk kelompok etnis Kokang, menolak hal itu. Mereka berkeras pada posisi untuk tidak menyerahkan senjata, agar dapat mempertahankan diri sedapat mungkin dalam melawan militer.“

Karena konflik makin meruncing, mulai bergelombanglah arus pengungsi. Hal ini menimbulkan kecemasan negara tetangga Cina. Kementrian Luar negeri Cina menyatakan bahwa Junta Militer Myanmar harus menjaga kestabilan keamanan di wilayah perbatasannya. Selain itu melindungi hak-hak warga Cina yang hidup di sana.

Sudah bertahun-tahun perdagangan tumbuh di kawasan perbatasan ini. Investasi swasta kedua pihak berjalan mulus. Tak hanya di kawasan ini, namun juga di sepanjang perbatasan Myanmar, tempat etnis minoritas lainnya bermukim, Cina punya kepentingan ekonomi, tambah Jasmin Lorch. "Contohnya pembangunan pembangkit listrik tenaga air dan bendungan. Juga akan dibangun pipa gas dan minyak, sepanjang Myanmar hingga Kunming, yang terletak di provinsi Yunan, Cina, dimana para pengungsi kini berdatangan. Itu artinya, konflik yang meletus sangat merintangi kepentingan ekonomi Cina di sini.”

Bagaimanapun juga, pemerintah Cina berada dalam posisi terjepit. Untuk mendorong kepentingan ekonomi mereka di wilayah minoritas ini, penting bagi Cina untuk menjaga hubungan dengan beragam etnis minoritas di Myanmar, dan juga dengan pemerintah junta militer.

Oleh sebab itu maka pemerintahan di Beijing menggunakan saluran diplomatik untuk menyalurkan keprihatinan mereka. Di balik itu, juga dilakukan negosiasi dengan kedua pihak tersebut.

Namun ini juga bergantung pada bagaimana kelompok pemberontak Kokang membangun aliansi mereka dengan kelompok minoritas lainnya di wilayah Shan. Karena kekuatan bersenjata Kokang sendiri relatif kecil, hanya dengan 1500 an milisi. Namun bila mendapat dukungan dari sekutu etnis minoritas Wa, dengan 20 ribuan milisinya, maka konflik bisa jadi meluas dan gelombang pengungsi akan lebih besar lagi. Bagi Cina, tentu ini akan menimbulkan masalah baru.

Tian Miao / Ayu Purwaningsih

Editor : Hendra Pasuhuk