1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Sebelum Meminta Gen Z Berpartisipasi dalam Pemilu

Blogger - Chris Wibisana
Chris Wibisana
22 Juli 2023

Sekitar setahun sebelum pemilihan umum 2024, ruang publik di Indonesia sudah terasa kumuh dan sesak dengan aroma pertarungan politik yang menyengat. Anak muda jadi incaran partai. Kolom Chris Wibisana.

Gambar ilustrasi: Pemilu di Indonesia Foto: Reuters/E. Su

Suksesi kepemimpinan memicu pembicaraan dalam berbagai gradasi—mulai dari yang dangkal hingga substansial—mengenai tanggung jawab presiden sesudah Joko Widodo, suksesor yang tepat, hingga partisipasi politik generasi Z sebagai pemilih pemula. 

Perhatian besar pada topik terakhir bahkan menjadi pendorong tokoh-tokoh politik mulai bersafari dan mengadakan acara di kampus-kampus yang menganjurkan "anak muda” mampu memberikan keteladanan politik, berpartisipasi aktif di pemilu, hingga memberi ruang leluasa jika partai politik mulai menggunakan kampus untuk kepentingannya, dalam kemasan terang-terangan maupun secara terselubung.

Seakan tak mau ketinggalan menangguk suara segmentasi pemilih generasi Z, politikus lintas partai semakin aktif memanfaatkan kanal-kanal media sosial untuk mengunggah konten "edukasi politik” yang, sejatinya, menjebak orang muda untuk terjerumus sikap partisan sempit dan personifikasi cita-cita politik pada figur tertentu. Hasilnya, kanal media sosial yang sudah jenuh itu, bertambah sumpek dan gemuruh.

Narasi seputar partisipasi politik generasi Z pun dipompa mengembang ke berbagai arah, mulai dari regenerasi politik hingga nasionalisme. Menusuk foto seorang figur dan logo sebuah partai di bilik suara diterjemahkan sebagai tindakan kepahlawanan menentukan arah bangsa.

Penulis: Chris Wibisana Foto: Privat

Hakikat partisipasi politik direduksi sedemikian rupa hingga terbatas tindakan memberi suara di pemilihan umum. Sengaja, karena sistem politik di Indonesia memang dibuat dengan menutup celah partisipasi selain memberi suara dan membuat kebisingan di media sosial. 

Generasi Z dituntut berpartisipasi dan tidak apolitis, apalagi apatis. Berbagai pendekatan dilakukan oleh politikus paruh baya untuk menunjukkan bahwa mereka tidak gagap teknologi, tidak ketinggalan tren di media sosial, mengerti aspirasi orang muda, dan sebagainya.

Dengan beragam jurus tersebut, generasi Z diharapkan tertarik dan dapat memakai hak pilih secara bijaksana—sebab memberi suara diyakini sebagai tindakan mulia. Pertanyaannya, "Cukupkah semua atraksi performatif nan dangkal itu meyakinkan generasi Z bahwa mereka sungguh-sungguh didengarkan?”

Banyak Persoalan, Sedikit Perhatian

Perbedaan karakteristik generasi Z dengan orang tua mereka yang mewakili generasi terdahulu terletak pada hal paling elementer: akses informasi. Berbeda dengan generasi orang tua mereka yang diperkenankan "menikmati kepastian” informasi tunggal melalui kantor pusat penerangan milik pemerintah, generasi Z sama sekali tidak mempunyai "kenikmatan” itu. Sejak usia amat dini,generasi Z menerjang tsunami informasi berjumlah raksasa yang diperbarui setiap detik.

Orang tua kami, yang tak sekalipun dibekali pengalaman mendidik anak-anaknya dalam menghadapi arus informasi dalam jumlah raksasa tersebut, memungkinkan interaksi generasi kami dengan informasi tumbuh secara organik. Mula-mula informasi itu terbatas lewat jejaring internet, sebelum menjadi-jadi dan kini mencapai puncak arus dengan kehadiran media sosial yang mengalami pertumbuhan cepat dan impresif dalam satu setengah dasawarsa terakhir.

Dampak pembiasaan itu memungkinkan generasi Z mempunyai terlalu banyak perhatian pada berbagai masalah yang, bagi generasi terdahulu, dianggap terlalu jauh hingga tak relevan bagi kehidupan sehari-hari. Spektrum perhatian yang besar ini terus mengalami ekstensi secara lateral—perhatian yang melebar dan meluas, tetapi tidak mendalam. 

Belum pernah Indonesia, sejak menyatakan kemerdekaan 78 tahun lalu, memiliki satu generasi yang dalam satu kali duduk bisa membicarakan perubahan iklim, kekerasan seksual, varian kopi favorit, gerai makanan viral, jumlah engagement InstaGram, karier di startup, krisis pangan, geopolitik dunia, hingga tren gaya hidup secara bergantian.

Tidak ada di antara semua masalah itu yang sempat didalami secara tekun dan mendalam, kecuali jika masalah itu berkaitan dengan bidang profesional atau kepentingan akademis. Hal itu bukan berarti generasi ini tidak tahu-menahu. Mereka tahu, tanpa merasa perlu untuk sangat tahu tentang sebuah masalah. Generasi ini punya banyak persoalan yang membuat diri mereka kewalahan (overwhelmed) dan terlalu banyak pikiran (overthink).

Tidak mengherankan, kalau perhatian yang sangat luas itu diikuti keengganan memberi perhatian terlalu dalam pada satu masalah. generasi Z meletakkan fokus pada sebuah masalah berdasarkan prioritas yang benar-benar berkenaan (relatable) dengan kehidupan mereka, atau memengaruhi masa depan mereka yang rentan dan tidak pasti di dunia kerja. Sayang, politik praktis tidak berhasil masuk dalam prioritas itu.

Generasi Pasca-Indonesia?

Eksklusi politik praktis dari prioritas generasi Z dapat terjadi karena beberapa faktor. Pertama, premis sugestif bahwa politik adalah dunia yang kotor, yang akan melumat mereka yang secara naluriah bukan politikus. Kedua, sistem politik yang menggilir kekuasaan elitis yang menutup ruang partisipasi lebih substansial, sehingga karakter kekuasaan menjadi jenuh. Ketiga,orang-orang tua berpolitik tanpa idealisme—harta generasi Z yang ingin mereka nikmati lebih lama.

Di antara ketiganya, faktor terakhir memiliki proporsi paling besar. Tanpa idealisme, sulit bagi generasi Z untuk membayangkan bahwa sosok yang mereka pilih di pemilu akan mampu mengartikulasikan kepentingan generasi mereka secara tegas dan tepat sasaran. Saya, misalnya, sulit membayangkan jika presiden ke-8 Republik Indonesia mampu berkomitmen mewujudkan ruang publik tanpa kekerasan seksual, kebebasan sipil yang menyeluruh, hak mengkritik tanpa intimidasi, serta jaminan perlindungan kelompok minoritas agama non-Abrahamik, kelompok nonheteroseksual, dan kawan-kawan difabel.

Di sisi lain, generasi Z diberkati sebagai generasi pertama sejak Indonesia merdeka yang di kemudian hari akan mengenang masa muda mereka sebagai sejarah pembebasan dari noda-noda indoktrinasi kebangsaan—sesuatu yang terakhir kali dimiliki Angkatan 1928. Hasilnya, Generasi Z, sampai batas tertentu, tidak lagi disibukkan dengan ide-ide esensialis yang mencari identitas "orang Indonesia asli” yang sarat obsesi lokalitas, romantisme adat-istiadat, dan gejala nasionalisme chauvinistik.

Secara organik, generasi Z akan menghadirkan wajah baru yang, meminjam istilah Y.B. Mangunwijaya, "Generasi Pasca-Indonesia”. Di latar belakang, mereka tetap orang Indonesia, tetapi jati diri, cara pandang, sikap, dan wawasan mereka adalah warga dunia yang kosmopolit, universal, dan melampaui batas-batas keindonesiaan yang sempit. Keindonesiaan mereka tidak lagi diberati dengan ekspektasi perilaku dan identitas. Sebaliknya, aspek keindonesiaan seakan hanya kebetulan. Mereka warga dunia, yang kebetulan lahir di Indonesia. 

Sebagai warga dunia, yang dipersatukan dalam jejaring media sosial, Generasi Z bukan dan memang bukan pewaris sah bagi Indonesia cap 1945. Mewarisi generasi Z dengan beban itu akan menjadikan Indonesia cap 1945 sebagai artefak yang dalam waktu singkat akan segera terbengkalai karena kotak-kotak masa lalu bukanlah hal yang relevan untuk kehidupan mereka.

Analisis latar belakang dan karakter generasi semacam ini seringkali tidak dilakukan, dan bahkan diabaikan, oleh para politikus yang beranggapan bahwa generasi Z sama dengan orang tua mereka yang mudah tergelincir dalam fanatisme karismatik seorang tokoh. Alih-alih ikut dalam mobilisasi untuk memilih the lesser evil seperti pemilu 2019 atau 2014, generasi Z harus memanfaatkan ruang dan ranah publik untuk memblokir gejala partisan dengan menuntut para calon presiden untuk memilih pemimpin masa depan.

Pemimpin bagi generasi Z adalah mereka yang tidak lagi mengurus soal doktrin ideologi dan kebesaran bangsa dengan retorika keagungan dan nasionalisme dangkal. Pemimpin adalah orang yang mempunyai komitmen lebih sungguh membuat jaring pengaman sosial yang lebih kuat dan baik bagi kelompok sosial-ekonomi rentan; orang yang mampu menjamin kebebasan individu dan inklusi sosial yang lebih luas; serta memiliki visi dunia masa depan yang konkret sehingga Indonesia siap menghadapi transformasi geopolitik, dampak perubahan iklim, dan krisis multidimensi yang akan melanda dunia dalam 10 hingga 15 tahun yang akan datang.

 

Chris Wibisana adalah penulis lepas di berberapa media di Indonesia.

Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

*Luangkan menulis pendapat Anda atas opini dan turut berdiskusi di laman Facebook DW IndonesiaTerima kasih.

 

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait