Seberapa Aman Afganistan di Bawah Taliban?
12 Juni 2025
Dalam pesan resmi menyambut Hari Raya Iduladha, pemimpin Taliban Mullah Mohammad Hassan Akhund, menyerukan agar seluruh warga Afghanistan di luar negeri agar kembali pulang. Dia menjanjikan amnesti umum dan kedamaian di tanah air. "Afganistan sudah aman, semua bisa kembali,” ujar Akhund.
Tidak sedikit pihak yang mempertanyakan janji tersebut. Nilofar Ibrahimi, mantan anggota parlemen Afganistan yang kini hidup di pengasingan, meragukan klaim Taliban. "Mereka yang dulu menciptakan kekerasan kini justru memegang kekuasaan. Tentu saja mereka menyatakan bahwa negara sudah aman,” ujarnya kepada DW.
Dia merujuk pada Sirajuddin Haqqani, Menteri Dalam Negeri pemerintahan Taliban saat ini. Haqqani dikenal luas sebagai tokoh kunci dalam jaringan militan Haqqani, dan dicari oleh FBI karena diduga terlibat dalam serangan lintas negara terhadap pasukan AS dan sekutunya di Afganistan. Meski berstatus buronan internasional, Haqqani kini bertanggung jawab atas keamanan nasional dan kepolisian.
Menurut Ibrahimi, keamanan yang diklaim Taliban hanya ilusi. "Mereka menekan setiap bentuk perlawanan dan meneror masyarakat,” katanya. Di provinsi Badakhshan, lanjutnya, para petani kini diintimidasi karena larangan menanam opium oleh Taliban, padahal komoditas itu selama ini menjadi sumber penghidupan utama mereka.
Sekitar 80 persen warga Afghanistan bekerja di sektor pertanian. Opium terbukti jauh lebih menguntungkan dibandingkan tanaman pangan lain, terutama di musim paceklik. Namun, sejak pemimpin tertinggi Taliban, Hibatullah Akhundzada, memerintahkan larangan total budidaya opium, banyak petani kehilangan penghasilan tanpa diberi alternatif yang jelas.
Krisis kemanusiaan dan nasib perempuan
Sejak Taliban berkuasa pada Agustus 2021, lebih dari separuh populasi Afghanistan hidup di bawah garis kemiskinan. Dari total sekitar 41,5 juta penduduk, hampir 43 persen adalah anak-anak di bawah usia 14 tahun, menurut data UNFPA.
Laporan UNICEF terbaru (Maret 2025) menyatakan bahwa satu dari dua anak di Afganistan memerlukan bantuan darurat. Jumlah anak-anak yang mengalami malnutrisi akut juga terus meningkat. Banyak keluarga menikahkan anak perempuan di bawah umur secara paksa demi mengurangi beban ekonomi.
Ayo berlangganan newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
"Anak-anak perempuan ini tak hanya kehilangan hak atas pendidikan dan masa kecil, mereka juga menghadapi risiko kehamilan dini, kekerasan rumah tangga, kemiskinan ekstrem, dan isolasi sosial,” tulis seorang aktivis dari jaringan perempuan Purple Saturday kepada DW.
Para aktivis ini berupaya mengedukasi perempuan secara diam-diam melalui jaringan bawah tanah, karena Taliban telah melarang perempuan berkuliah dan menutup sekolah menengah bagi anak perempuan setelah kelas lima.
"Sekarang, lebih dari sebelumnya, kami butuh solidaritas internasional yang nyata dan tanpa syarat. Jangan tinggalkan kami sendirian,” seru mereka.
Ketakutan akan deportasi
Diba, seorang ibu dari tiga anak dan mantan pegawai Kementerian Pendidikan Afganistan, kini hidup dalam pelarian di Pakistan. Dia adalah pendiri sebuah organisasi pemberdayaan perempuan yang kemudian ditutup oleh Taliban. "Saya menjual semua yang saya miliki dan melarikan diri,” katanya.
Namun di pengungsian, Diba hidup dalam ketakutan. Visanya di Pakistan telah habis, dan dia khawatir akan dideportasi kembali ke Afganistan. Pada April dan Mei saja, diperkirakan 200.000 pengungsi Afgan telah dipulangkan secara paksa oleh pemerintah di Islamabad.
"Saya lebih memilih bersembunyi di sini daripada kembali ke Afganistan,” tegas Diba. Sebagai perempuan, dia tak bisa bergerak bebas, tak dapat bekerja, dan tak bisa menjamin masa depan putri-putrinya. Dia berharap bisa menemukan jalan untuk membawa keluarganya ke negara ketiga yang aman.
Sementara itu, Iran juga berencana mendeportasi jutaan pengungsi Afganistan tahun ini. Pada bulan Mei saja, sekitar 15.000 orang sudah dikembalikan ke Afghanistan. Taliban, di sisi lain, menyambut kepulangan pengungsi dengan janji, "kami akan menerima mereka dengan tangan terbuka.”
Artikel ini pertama kali terbit dalam Bahasa Jerman
Diadaptasi oleh Rizki Nugraha
Editor: Agus Setiawan