1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Seberapa Lama Umur Asmara?

20 Juni 2020

Cinta abadi atau sekadar pengisi waktu? Sebenarnya sejak awal sudah bisa dilihat, pasangan mana yang akan awet, dan mana yang tidak.

Symbolbild - Küssende Figuren, Symbolfoto Liebe, Partnerschaft, Ehe
Foto: picture-alliance/imageBROKER/F. Vogel

Jika hubungan asmara baru berakhir, penyesalan kerap muncul, dan kadang orang berkata, "Kalau saja saya tahu dari dulu." Tapi apakah mungkin memperkirakan lamanya hubungan asmara? Sebuah studi jangka panjang yang diadakan ilmuwan dari universitas Jerman, Friedrich Schiller Universität Jena dan University of Alberta di Kanada menyelidiki hal itu, dan pada akhirnya menarik kesimpulan: ya, umur hubungan asmara bisa diperkirakan.

Variabel hubungan

Dalam tujuh tahun, sekitar 2.000 pasangan diwawancara secara teratur. 16% berpisah dalam kurun waktu itu. Dalam wawancara para peneliti secara terarah menanyakan sejumlah variabel yang digunakan dalam perhitungan.

Misalnya: sejauh mana mereka puas dengan hubungan, jumlah konflik, keinginan untuk terus berhubungan dalam waktu lama, kebutuhan untuk berkomunikasi dan apakah tiap orang independen.

"Kami menemukan, pasangan yang akan berpisah, sejak awal pun tidak puas dan menghadapi lebih banyak konflik. Dan konflik semakin lama semakin bertambah. Dan keinginan untuk tetap jadi pasangan menurun", demikian dikatakan Dr. Christine Finn dari Institut Psikologi pada Friedrich- Schiller-Universität Jena.

Model hubungan

Perkembangan hubungan sebuah pasangan bisa digambarkan lewat dua model. Teori pertama: di awal hubungan, semua pasangan mengalami perasaan seperti saat baru jatuh cinta, dan merasa puas dengan hubungan. Jika akhirnya berpisah, biasanya itu disebabkan masalah yang timbul selama berada dalam hubungan. Sebaliknya, pasangan yang tetap bersama setelah timbulnya masalah mampu mempertahankan perasaan "jatuh cinta" yang ada di awal hubungan.

Teori kedua: tingkat bahagia dari keduanya sejak awal sudah berada di tingkat berbeda. Awal yang kurang menguntungkan ini memperkuat risiko perpecahan, karena ketidakpuasan terus berkembang.

Akumulasi kesulitan

Menurut Eric Hegmann, terapis yang membantu pasangan membina hubungan, bulan-bulan pertama dalam hubungan sebuah psangan sudah menunjukkan tendensi bagi kelanjutan hubungan itu. Ia mengungkap, dalam enam bulan pertama, sebagian besar pasangan sudah menyadari apakah perbedaan di antara mereka lebih besar daripada rasa suka.

Para peneliti menemukan dari studi, hubungan yang akhirnya berakhir dengan perpisahan, merupakan campuran dari teori pertama dan ke dua. "Kami menyebutnya model akumulasi kesulitan, " kata Finn. Jika kedua orang dalam pasangan sejak awal sudah sering bertengkar dan tidak merasa senang, para peneliti sudah bisa menarik kesimpulan, pasangan itu tidak akan tahan lama. Karena semakin lama hubungan berlangsung, situasi tidak akan tambah baik.

Sekadar buang waktu?

"Keinginan untuk tahu sejak awal, apakah investasi di sebuah hubungan akan ada gunanya, bisa dimengerti," demikian dikatakan terapis Hegmann. Namun demikian, menurutnya tidak menguntungkan, jika sejak awal orang sudah tahu apakah hubungan menguntungkan, dengan kata lain melihat hubungan sebagai perhitungan antara biaya dan keuntungan.

Dr Christine Finn juga melihatnya dengan kritis. "Hanya karena sebuah hubungan mungkin tidak diawali dengan perasaan cinta yang menggebu-gebu dan sempurna, melainkan orang harus mengatasi masalah dan konflik, bukan berarti hubungan itu hanya sekadar buang-buang waktu."

Pasangan yang bertemu online bisa sukses

Finn mengatakan, suksesnya portal kencan menunjukkan besarnya keinginan orang untuk memiliki hubungan. Tapi hubungan yang berawal dari portal kencan kerap dianggap "dangkal". Misalnya pengguna online portal Tinder rata-rata menentukan dalam waktu hanya beberapa detik, hanya dari foto saja, apakah "cocok" atau tidak.

Namun demikian, pasangan-pasangan yang berawal dari hubungan online bisa membina ikatan emosional yang kuat. Menurut studi yang diadakan Parship tahun 2016. 96% pasangan online bersedia mempercayakan perasaan mereka yang terdalam. Sementara pasangan offline hanya 76%.

Selain itu, hanya 2% pasangan online menyatakan, bahwa mereka kerap bertengkar. Sementara pada pasangan offline jumlahnya 27%.

Belajar dari konflik

Hegmann mengungkap, banyak pasangan yang tidak menanggapi serius potensi untuk berkembang bersama dari konflik yang dihadapi. "Dengan dukungan profesional, banyak hubungan bisa diselamatkan."

Tapi ada juga situasi, di mana terapi pasangan tidak bisa membantu sama sekali. "Menurut saya, pasangan yang sudah tidak bisa dibantu lagi adalah pasangan, di mana salah satunya sudah memutuskan untuk mengakhiri hubungan, dan tidak bisa diajak berdiskusi lagi," demikian Hegmann.

Kedekatan dan ruang gerak

Studi jangka panjang itu juga berhasil mengungkap, hubungan mana yang bisa bertahan lama. Yaitu pasangan yang butuh kedekatan secara emosional, tapi juga kebutuhan untuk berkembang secara individual.

"Walaupun aspek komunikasi tidak kami telaah secara kongkret, hasil studi jelas menunjukkan bahwa bagi seseorang sangat penting untuk bisa mengatakan kepada pasangannya, apa yang jadi kebutuhan pribadinya, dan kemudian bekerja sama bagi hubungan itu.," demikian dikemukakan Dr Christine Finn. (ml/yp)