Seberapa Matang Program Nuklir Iran?
17 Juni 2025
Israel berdalih, serangan udara terhadap sejumlah target nuklir di Iran bertujuan melumpuhkan kemampuan Teheran, yang diyakini program nuklirnya semakin mendekati pengembangan bom atom.
Penguasaan bom atom oleh Republik Islam Iran, dipahami sebagai ancaman eksistensial bagi Israel, mengingat bagaimana Teheran berulang kali mendakwahkan kehancuran negeri Yahudi.
Teheran sendiri bersikeras bahwa program nuklirnya murni untuk tujuan sipil. Namun, negara-negara Barat mendeteksi besarnya minat Garda Revolusi Iran dalam program tersebut. Menteri Luar Negeri Prancis, Jean-Noel Barrot, pada Minggu menyebut program nuklir Teheran sebagai "ancaman eksistensial” bagi Israel dan Eropa, meski tetap mendorong diplomasi sebagai solusi.
Sementara itu, Menteri Luar Negeri Jerman, Johann Wadephul, pada Sabtu (14/6) malam mengabarkan, Berlin, Paris, dan London siap berdialog dengan Teheran guna meredakan ketegangan.
Sejauh apa perkembangan nuklir Iran?
Program nuklir sipil umumnya bertujuan membangun pembangkit tenaga nuklir untuk memproduksi listrik. Sedangkan program nuklir untuk keperluan militer diarahkan pada pengembangan hulu ledak nuklir — atau bom atom.
Rezim Mullah Iran berulang kali menegaskan, program nuklirnya semata-mata bersifat sipil. Mayoritas pakar dan badan intelijen Barat pun sepakat bahwa hingga kini, Iran memang belum membangun senjata nuklir.
Yang diperkarakan adalah kegiatan pengayaan uranium di Iran. Menurut Badan Energi Atom Internasional (IAEA), Iran kini telah mengumpulkan lebih dari 400 kilogram uranium yang diperkaya hingga 60 persen. Tingkat pengayaan ini jauh melampaui kebutuhan untuk energi sipil, dan sudah sangat mendekati level senjata atom. Jika diperkaya hingga 90 persen, cadangan uranium yang dimiliki Iran akan cukup untuk memproduksi sekitar sepuluh bom nuklir.
"Menurut IAEA, Iran telah mempercepat pengayaan uranium hingga 60 persen, di samping peningkatan uji coba rudal,” kata Hans Jakob Schindler, pakar keamanan dari Counter Extremism Project, dalam wawancara dengan Deutsche Welle.
"Sebagian berpendapat, ekspansi uranium adalah strategi Iran untuk memperkuat posisi dalam negosiasi dengan AS. Namun, bisa juga dilihat bahwa Teheran tengah bergerak cepat menuju pengembangan bom nuklir.”
Ayo berlangganan newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Saat ini, perundingan nuklir tak langsung antara Iran dan AS dihentikan akibat eskalasi konflik, dan kematian juru runding Iran dalam serangan Israel.
Sejauh ini belum ada bukti bahwa Iran telah memperkaya uranium hingga 90 persen. Namun, pakar memperingatkan, dengan cadangan dan kemampuan teknis yang dimiliki, Iran bisa mencapai ambang tersebut dalam waktu singkat.
Hanya beberapa hari sebelum serangan Israel, pemerintah di Teheran mengumumkan akan mengoperasikan fasilitas pengayaan uranium baru.
Seberapa besar dampak serangan Israel?
Dalam operasi militer terbarunya, Israel membidik fasilitas nuklir, petinggi militer, serta para ilmuwan yang terlibat dalam program nuklir Iran. Citra satelit menunjukkan tingkat kerusakan yang bervariasi pada dua fasilitas penting di Natanz dan Isfahan. IAEA telah mengonfirmasi adanya kerusakan di kedua fasilitas tersebut. Namun masih belum jelas, sejauh mana kerusakan yang terjadi dan seberapa lama waktu yang dibutuhkan Iran untuk menanggulanginya.
Walter Posch, pakar Iran dari Institut Austria untuk Perdamaian dan Manajemen Konflik, menilai dampak serangan Israel cukup serius bagi Iran. "Yang lebih penting dari para jenderal yang tewas, adalah para ilmuwan nuklir,” jelasnya kepada Deutsche Welle. "Mereka telah terlibat sejak awal program nuklir dan memiliki semua pengetahuan ilmiah serta kelembagaan. Peran mereka sangat krusial, sehingga kehilangan mereka merupakan pukulan besar di tingkat akademis dan praktis.”
Selain fasilitas nuklir serta elite militer dan ilmuwan, Israel juga menargetkan pangkalan rudal dan gudang bahan bakar Iran.
Kenapa Iran memiliki program nuklir?
Program nuklir Iran berawal sejak era 1950-an, saat pemerintah pro-Barat kala itu mengembangkan program sipil dengan bantuan AS. Namun setelah Revolusi Iran tahun 1979, kekhawatiran internasional meningkat bahwa rejim baru di Teheran akan mengalihkan program nuklirnya untuk kepentingan militer.
Kecurigaan menguat pada 2002, ketika inspektur IAEA menemukan uranium berkadar tinggi di fasilitas nuklir Natanz. Temuan tersebut kemudian memicu sanksi internasional.
Pada tahun 2015, Iran mencapai kesepakatan bersejarah dengan AS dan negara Barat, yang dikenal sebagai Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA). Kesepakatan ini membatasi program nuklir Iran dan menetapkan pengawasan ketat, sebagai imbalan atas pelonggaran sanksi.
Namun, pada 2018, Presiden AS Donald Trump menarik AS keluar dari kesepakatan tersebut, dengan alasan bahwa ketentuan dalam perjanjian bersifat sementara dan tidak mencakup program rudal balistik Iran. AS lalu kembali memberlakukan sanksi secara sepihak terhadap Iran.
Sebagai respons, Iran secara bertahap mengurangi kepatuhan terhadap kesepakatan dan meningkatkan pengayaan uranium jauh melampaui batas 3,67 persen yang disepakati dalam JCPOA.
Sejak masa jabatan kedua Trump, ada upaya baru untuk merundingkan kembali perjanjian antara Washington dan Teheran. Pertemuan terbaru antara kedua delegasi seharusnya berlangsung dalam waktu dekat di Oman, namun dibatalkan akibat situasi yang memanas.
Artikel ini pertama kali terbit dalam Bahasa Jerman
Diadaptasi oleh Rizki Nugraha
Editor: Agus Setiawan