Sebuah Drone Meledak di Kediaman Perdana Menteri Irak
8 November 2021
Kediaman Perdana Menteri Irak Mustafa al-Kadhimi diserang pesawat tak berawak alias drone pada hari Minggu (07/11). Pihak militer menggambarkan serangan itu sebagai upaya pembunuhan terhadap sang perdana menteri.
Iklan
Sebuah pesawat tak berawak alias drone menghantam dan meledak di kediaman Perdana Menteri Irak Mustafa al-Kadhimi, demikian kata otoritas Irak, Minggu (07/11).
Perdana menteri "dalam keadaan sehat" dan tidak terluka dalam serangan itu, kata pihak militer dan pemerintah, menggambarkan serangan drone tersebut sebagai upaya pembunuhan.
"Pasukan keamanan mengambil tindakan yang diperlukan sehubungan dengan upaya yang gagal ini," kata sebuah pernyataan yang dirilis oleh media pemerintah.
Al-Kadhimi sendiri kemudian muncul di televisi pemerintah untuk mengatakan dia tidak terluka dan mengutuk terjadinya serangan itu.
Belum ada yang menyatakan bertanggung jawab atas serangan ini. Namun, setelah memimpin rapat keamanan, Al-Kadhimi mengatakan pada Minggu (07/11) malam bahwa mereka yang berada di balik serangan itu sudah diketahui dan akan diungkap.
"Kami akan mengejar mereka yang melakukan kejahatan kemarin, kami mengenal mereka dengan baik dan kami akan mengekspos mereka," kata Al-Kadhimi, menurut pernyataan dari kantornya.
Kronologis serangan
Menurut pernyataan dari militer Irak, serangan itu dilakukan pada Minggu (07/11) dini hari oleh sebuah pesawat tak berawak bersenjata yang membawa bahan peledak. Pesawat tak berawak itu menargetkan kediaman perdana menteri, yang terletak di Zona Hijau di ibu kota Baghdad yang dijaga ketat. Setidaknya tujuh penjaga keamanan dilaporkan terluka dalam serangan itu.
Sementara dua pesawat tak berawak lainnya ditembak jatuh sebelum mencapai target mereka, menurut pernyataan Kementerian Dalam Negeri Irak.
Iklan
Tuai kecaman internasional
Jerman dan Amerika Serikat (AS) mengutuk serangan pesawat tak berawak tersebut. Washington menyebut serangan itu sebagai "tindakan terorisme yang nyata."
Dalam pernyataan tertulis, Presiden AS Joe Biden mengutuk serangan terhadap kediaman PM Al-Kadhimi dan memuji langkah al-Khadimi mengimbau pihak-pihak untuk "tenang, menahan diri, dan berdialog."
Seorang juru bicara Kementerian Luar Negeri Jerman mengatakan: "Proses demokratisasi Irak tidak boleh dirusak oleh kekerasan politik."
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Jerman juga menyerukan ketenangan dan mengatakan bahwa upaya untuk mengurangi eskalasi dan dialog harus dilakukan di antara semua pihak.
Mengenang 40 Tahun Perang Iran vs Irak
Perang Iran-Irak jadi salah satu konflik militer terkelam di Timur Tengah. Berlangsung delapan tahun menjadi saksi penggunaan senjata kimia, tewasnya ratusan ribu orang, serta mengubah wilayah dan situasi politik global.
Foto: picture-alliance/Bildarchiv
Konflik teritorial
Pada 22 September 1980, diktator Irak Saddam Hussein mengirim pasukannya ke negara tetangga Iran. Ini jadi awal mula perang mematikan selama delapan tahun yang menewaskan ratusan ribu orang. Konflik perbatasan wilayah berlarut-larut jadi pemicu perselisihan dua negara mayoritas Muslim Syiah ini.
Foto: defapress
Perjanjian Aljazair
Lima tahun sebelumnya, pada Maret 1975, Saddam Hussein, yang saat itu menjabat sebagai Wakil Presiden Irak, dan Raja Iran saat itu Shah Pahlevi menandatangani perjanjian di Aljazair, untuk menyelesaikan sengketa perbatasan. Baghdad menuduh Teheran merencanakan serangan dan memutuskan mengevakuasi tiga pulau strategis di Selat Hormuz, yang diklaim milik Iran dan UEA.
Foto: Gemeinfrei
Sumber air
Pada 17 September 1980, Baghdad menyatakan Perjanjian Aljazair batal demi hukum dan menuntut kendali atas semua wilayah perbatasan Shatt al-Arab, sungai sepanjang 200 kilometer pertemuan sungai Tigris dan Sungai Efrat yang bermuara di Teluk Persia.
Foto: picture-alliance/AP Photo/N. al-Jurani
Pemboman pelabuhan dan kota
Pasukan Irak meledakkan bandara Iran, termasuk yang ada di Teheran, serta fasilitas militer dan kilang minyak Iran. Pada pekan pertama pasukan Irak berhasil merebut kota Qasr-e Shirin dan Mehran, serta pelabuhan Khorramshahr di barat daya Iran, di mana posisi Sungai Shatt al-Arab bermuara.
Foto: picture-alliance/Bildarchiv
Musuh bersama
Banyak negara Teluk, termasuk Arab Saudi dan Kuwait, mendukung Baghdad dalam perang melawan Iran. Hal ini didasari kekhawatiran atas perlawanan Syiah di Timur Tengah yang dipelopori oleh Ayatollah Khomeini dalam Revolusi Iran. Negara-negara Barat juga mendukung Baghdad dan menjual senjata kepada Saddam Hussein.
Foto: Getty Images/Keystone
Dipukul mundur Iran
Serangan balik Iran mengejutkan Irak ketika Teheran berhasil menguasai kembali pelabuhan Khorramshahr. Baghdad mengumumkan gencatan senjata dan menarik kembali pasukannya, tetapi Teheran menolaknya dan terus membom kota-kota Irak. Sejak April 1984, kedua belah pihak terlibat dalam "perang kota", di mana sekitar 30 kota di kedua belah pihak dihujani serangan rudal.
Foto: picture-alliance/dpa/UPI
Penggunaan senjata kimia
Salah satu yang jadi sorotan dalamperang ini adalah penggunaan senjata kimia. Teheran pertama kali melontarkan tuduhan tahun 1984 - dikonfirmasi oleh PBB - dan juga pada tahun 1988. Juni 1987, pasukan Irak menjatuhkan gas beracun di kota Sardasht, Iran. Maret 1988, Iran mengklaim Baghdad menggunakan senjata kimia kepada penduduk sipilnya di kota Halabja di utara Irak yang dikuasai Iran.
Foto: Fred Ernst/AP/picture-alliance
Gencatan senjata
Pada 18 Juli 1988, Khomeini menerima resolusi Dewan Keamanan PBB untuk mengakhiri perang. Meskipun jumlah pasti dari mereka yang tewas dalam perang tidak diketahui, sedikitnya 650.000 orang tewas dalam perang tersebut. Gencatan senjata diumumkan pada 20 Agustus 1988.
Foto: Sassan Moayedi
Lembaran baru
Penggulingan rezim Saddam Hussein oleh AS pada tahun 2003 membuka era baru di Timur Tengah. Hubungan antara Irak dan Iran telah membaik sejak saat itu dan kedua negara meningkatkan kerjasamanya dalam bidang ekonomi, sosial, dan budaya. (Ed: rap/hp)
Foto: picture-alliance/AP Photo/K. Mohammed
9 foto1 | 9
Pejabat tinggi keamanan Iran, Ali Shamkhani, juga mengutuk upaya pembunuhan itu, dan menyalahkan campur tangan "asing" yang tidak disebutkan dalam urusan Irak atas "ketidakamanan, konflik, dan ketidakstabilan."
Negara tetangga Irak lainnya, Arab Saudi, juga menyebut serangan itu sebaga tindakan "pengecut", di mana Inggris dan Mesir juga mengeluarkan pernyataan serupa.
Ketegangan meningkat
Serangan yang disebut sebagai upaya pembunuhan terhadap PM Irak ini telah meningkatkan ketegangan menyusul hasil pemilu parlemen bulan lalu, di mana aliansi politik pro-Iran kalah dalam pemilu tersebut.
Tampak helikopter berpatroli di langit Baghdad sepanjang hari, sementara pasukan keamanan juga dikerahkan di sekitar zona hijau ibu kota.
Pendukung aliansi politik pro-Iran juga dilaporkan melakukan aksi protes di luar zona hijau menuntut diadakannya pemilu ulang.
Sebelumnya, pada Jumat (05/11)seorang seorang pengunjuk rasa tewas dalam bentrokan antara peserta aksi protes dan pasukan keamanan di sekitar Zona Hijau.
Al-Kadhimi telah memerintahkan penyelidikan atas penyebab kerusuhan tersebut. Pihak berwenang juga akan menentukan siapa yang melanggar perintah untuk tidak melepaskan tembakan.