Sekjen PBB: Perubahan Iklim Dekati "Point of No Return"
2 Desember 2019
Menyambut KTT Iklim COP25 di Madrid, Sekjen PBB menyerukan dunia mengerahkan segala daya untuk mengurangi emisi. Organisasi Oxfam menyatakan, Asia adalah benua yang paling terkena dampaknya.
Iklan
"Kita dihadapkan dengan krisis iklim global dan mendekati titik tidak bisa kembali lagi yang sudah di depan mata," kata Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menyambut KTT Iklim COP25 yang dimulai hari Senin (2/12) di Madrid, Spanyol. COP25 tadinya direncanakan di Chile, namun karena ada aksi protes yang diiringi kerusuhan dipindahkan ke Spayol.
"Perang kita melawan alam harus dihentikan, dan kita tahu itu mungkin," katanya dalam pernyataan yang dikeluarkan hari Minggu (1/12). Antonio Guterres menegaskan, dunia harus berhenti "menggali dan mengebor" dan mulai memanfaatkan "kemungkinan besar yang ditawarkan oleh energi terbarukan" dan solusi berbasis alam.
Di seluruh dunia, bencana cuaca yang makin sering terjadi - dari banjir, kebakaran hutan, kekeringan ekstrem dan badai salju lebat – telah mendatangkan malapetaka pada kehidupan manusia dan hewan. Para ilmuwan sejak lama memperingatkan bahwa dunia kehabisan waktu untuk membalikkan situasi guna mencegah dampak terburuk dari kerusakan iklim akibat ulah manusia.
Guterres mengingatkan pemerintahan dunia agar berpegang teguh pada Perjanjian Iklim Paris 2015, yang menyerukan pembatasan penggunaan bahan bakar fosil dalam upaya untuk meredam kenaikan suhu global.
Oxfam: Perubahan iklim paksa 20 juta orang mengungsi setiap tahun
Bencana terkait iklim seperti banjir dan kebakaran hutan mendorong jutaan orang mengungsi setiap tahun, kata organisasi bantuan Oxfam. Mereka mengingatkan, meskipun "tidak ada yang kebal" pada dampak perubahan miskin, namun orang-orang di negara-negara miskin yang paling berisiko.
Selama dekade terakhir, bencana yang berkaitan dengan peribahan iklim telah mendorong lebih 20 juta orang setiap tahun meninggalkan rumah mereka, kata laporan terbaru OXFAM yang dirilis hari Senin (2/12).
Laporan itu meneliti jumlah orang yang terpaksa harus mengungsi di negara mereka akibat bencana yang dipicu perubahan iklim antara 2008 dan 2018, berdasarkan data-data pemerintah, badan internasional dan laporan media.
Asia benua yang paling terpengaruh
"Saat ini, kemungkinan orang harus mengungsi karena bencana iklim seperti angin topan, banjir dan kebakaran hutan, tujuh kali lebih besar daripada karena gempa bumi dan letusan gunung berapi, dan tiga kali lebih besar daripada karena konflik," kata laporan itu.
Selanjutnya laporan itu menyebutkan: "Kemungkinan orang-orang di negara berpenghasilan rendah dan menengah seperti India, Nigeria, dan Bolivia tersingkir oleh bencana cuaca ekstrem empat kali lebih daripada orang-orang di negara-negara kaya seperti Amerika Serikat."
Asia adalah benua yang paling terkena dampak perubahan, kata Oxfam. Sekitar 80% orang yang mengungsi karena bencana iklim selama dekade terakhir tinggal di Asia.
"Pemerintahan kita (di negara maju) telah memicu krisis yang mendorong jutaan perempuan, lelaki dan anak-anak, dan orang-orang termiskin di negara-negara termiskin, membayar harga terberat," kata Chema Vera, Penjabat Direktur Eksekutif Oxfam International.
7 Dampak Perubahan Iklim yang Tidak Pernah Anda Bayangkan
Perubahan iklim menyebabkan beberapa hal aneh terjadi, seperti berubahnya jenis kelamin bayi binatang. DW menyajikan tujuh dampak perubahan iklim yang tidak pernah Anda duga yang akan berakibat pada kehidupan di bumi.
Foto: picture-alliance/dpa
Hati-hati ledakan populasi ubur-ubur!
Meskipun ada kombinasi faktor di balik banyaknya ubur-ubur yang sampai ke tempat wisata seperti pantai Mediterania, perubahan iklim termasuk salah satunya! Suhu laut yang lebih hangat membuka daerah baru bagi ubur-ubur bereproduksi dan meningkatkan ketersediaan makanan favorit mereka, yaitu plankton.
Foto: picture-alliance/dpa
Lenyapnya kayu berkualitas
Dihargai karena kualitas suara yang superior, alat musik dawai Stradivarius asli dapat dijual jutaan dolar. Namun, perubahan cuaca ekstrem seperti badai yang luar biasa hebatnya berakibat tumbangnya jutaan pohon di hutan Paneveggio, Italia utara. Menanam kembali pohon tidak akan banyak membantu dalam jangka pendek. Sebuah pohon cemara harus berusia setidaknya 150 tahun sebelum dapat menjadi biola.
Foto: Angelo van Schaik
Kesulitan tidur
Orang-orang di kota besar akan kesulitan tidur karena kepanasan. Tahun 2050, suhu di kota-kota besar Eropa akan lebih hangat 3,5 derajat celcius di musim panas. Ini tidak hanya mempengaruhi tidur, tetapi juga suasana hati, produktivitas, dan kesehatan mental. Cara satu-satunya mengatasi ini adalah pindah ke kota kecil yang banyak tanaman hijau dan sedikit bangunan, membuat malam jadi lebih dingin.
Foto: picture-alliance/AP Photo/R.K. Singh
Ancaman bagi penderita alergi
Musim semi datang lebih awal tahun ini dikarenakan suhu global yang lebih hangat. Namun fenomena ini jadi berita buruk bagi penderita alergi. Musim dingin yang sebentar membuat tanaman memiliki waktu lebih untuk tumbuh, berkembang, dan menghasilkan serbuk sari yang akan bebas berkeliaran jauh lebih awal, sehingga membuat penderita alergi menderita lebih lama.
Foto: picture-alliance/dpa/K.-J. Hildenbrand
Bakteri dan nyamuk
Tidak hanya berkeringat, panas juga dapat mempengaruhi kesehatan kita. Pada akhir abad ini, 3/4 populasi dunia diprediksi terkena gelombang panas yang berbahaya dan mematikan. Naiknya suhu berdampak pada peningkatan penyakit diare, karena bakteri lebih mudah berkembang biak dalam makanan dan air hangat. Jumlah nyamuk juga kemungkinan akan naik, seiring dengan penyebaran penyakit seperti malaria.
Foto: picture-alliance/dpa/T. Schulze
Rumah-rumah hancur
Tanah di sekitar Kutub Utara semakin mencair pada bulan-bulan di musim panas. Suhu yang lebih hangat menyebabkan tanah menjadi tidak stabil dan rumah-rumah serta jalan-jalan retak dan menyebabkan lebih banyak serangga. Selain itu, jika permafrost (tanah beku) meleleh, ia akan melepaskan gas CO2 dan metana yang selanjutnya dapat memperburuk pemanasan global.
Foto: Getty Images/AFP/M. Antonov
Jantan atau betina? Tanyakan kepada ahli
Suhu mempengaruhi jenis kelamin beberapa spesies. Untuk penyu, panasnya pasir tempat telur diinkubasi menentukan jenis kelamin bayi yang baru lahir. Temperatur rendah menguntungkan penyu jantan, sementara betina berkembang lebih baik di daerah yang lebih hangat. Peneliti membuktikan bahwa lebih dari 99% tukik penyu di Australia utara sudah betina, sehingga sulit bagi spesies untuk bertahan hidup.