Sekolah Mahal Bisa Jadi Jaminan Masa Depan Cemerlang?
Uly Siregar
23 Februari 2019
Seberapa mahal menyekolahkan anak di Jakarta, terutama di sekolah swasta? Apakah sekolah mahal itu jaminan anak jadi cerdas? Simak opini Uly Siregar berikut ini. Ada sependapat dengannya?
Iklan
"Hidup di Jakarta itu berat. Biar mereka yang punya duit saja, jangan kamu.” Mungkin begitu nasihat yang akan saya berikan pada mereka yang bercita-cita ingin bermukim di Jakarta.
Bagi mereka yang berkeluarga dan memiliki anak usia sekolah, persoalan di Jakarta tak hanya tentang mencari tempat tinggal yang kian hari kian tak masuk akal harganya, atau peliknya mengarungi jalan-jalan di Jakarta yang tak kunjung lepas dari kemacetan, tapi juga hal-hal dasar lainnya seperti pendidikan.
Salah satu tugas terberat bagi orangtua dalam membesarkan anak adalah memilihkan sekolah yang tepat untuk anak usia sekolah sesuai dengan kriteria yang diinginkan oleh orangtua.
Tak hanya soal biaya, orangtua juga harus mempertimbangkan beragam faktor dalam memilihkan sekolah bagi anak-anak. Bila memasukkan anak ke sekolah negeri yang gratis atau relatif murah biayanya, apakah sekolah tersebut bagus kualitas pendidikannya dan memiliki cukup sarana penunjang belajar.
Sementara, bila memutuskan mengirim anak ke sekolah swasta yang umumnya mahal, benarkah tak hanya karena gengsi, dan cukupkah informasi yang digali orangtua dalam memilih sekolah dengan kurikulum yang cocok untuk perkembangan anak.
Dikabarkan inflasi pada sektor pendidikan di Indonesia mencapai angka 20 persen setiap tahunnya. Angka ini mencapai dua kali lipat inflasi rata-rata yang hanya berkisar antara 10 persen per tahun.
Inflasi pada sektor pendidikan jelas melambungkan biaya pendidikan dari tahun ke tahun. Padahal biaya pendidikan tak melulu hanya uang sekolah dan biaya lainnya yang berkaitan dengan pendaftaran sekolah. Ada lagi biaya buku, seragam, makan siang, dan sebagainya. Kalau anak masuk ke jenjang kuliah di kota yang terpisah dari orangtuanya, maka ada pula biaya akomodasi dan sebagainya yang jumlahnya bisa mencapai 30 hingga 40 persen dari total biaya pendidikan.
Murid Sekolah Paling Bodoh di Dunia
Hasil penelitian PISA membuka aib pendidikan di Indonesia, Malaysia dan negara-negara Amerika Selatan. Murid sekolah di sebelas negara ini dinilai berprestasi paling rendah di bidang matematika, membaca dan sains
Foto: picture-alliance/dpa
#1. Peru
Dari 65 negara yang disurvey dalam Program Penilaian Pelajar Internasional 2012, Peru berada di urutan paling buncit. Untuk itu PISA menganalisa kemampuan murid sekolah berusia 15 tahun di tiga bidang, membaca, matematikan dan ilmu pengetahuan alam. Hasilnya Peru mendapat skor umum sebesar 375. Nilai tertinggi diraih murid Shanghai dengan nilai 587 dan rata-rata skor negara maju berkisar 497
Foto: Enrique Castro Mendívil/PRODAPP Program
#2. Katar
Sekitar 70% murid Katar dikategorikan "berprestasi rendah" di bidang matematika. Terlebih negeri kecil di Teluk Persia ini mencatat tingkat kehadiran siswa paling rendah. Lebih dari 29% tercatat pernah bolos selama beberapa jam atau berhari-hari, jauh lebih tinggi ketimbang rata-rata internasional yang sebesar 25%. Tidak heran jika Katar mendarat di posisi 64 dari 65 negara.
Foto: Getty Images/G.Shkullaku
#3. Indonesia
Bersama Peru dan Qatar, Indonesia yang cuma mendapat perolehan skor sebesar 384 menghuni posisi juru kunci dalam daftar PISA 2012. Indonesia termasuk memiliki jumlah tertinggi siswa yang dikategorikan "berprestasi rendah" di bidang matematika (76%) dan ilmu pengetahuan alam (67%).
Foto: picture alliance/Robert Harding
#4. Kolombia
Selain cuma mencatat nilai total sebesar 393, Kolombia juga tercatat sebagai negara peserta dengan ketimpangan terbesar antara murid perempuan dan laki-laki. Di negeri itu murid laki-laki rata-rata mampu mengungguli murid perempuan sebanyak 31 angka di tiga bidang yang diujikan.
Foto: Imago
#5. Albania
Murid Albania banyak memperbaiki skor PISA sejak pemerintah menggulirkan reformasi pendidikan tahun 2002. Namun begitu negeri pecahan Yugoslavia itu masih berada di urutan terbawah dengan nilai total 395.
Foto: DW/A. Ruci
#6. Tunisia
Angka siswa yang harus mengulang tahun pelajaran di Tunisia termasuk yang tertinggi di dunia, yakni sekitar 36%. Terlebih jumlah murid yang dikategorikan "berprestasi rendah" di bidang matematika mencapai 68%. Sebab itu Tunisia cuma mendapat skor umum 397 dan mendarat di posisi 59 dari 65 negara.
Foto: picture-alliance/dpa/H.Hanschke
#7. Argentina
Dua dari tiga murid sekolah di Argentina dikategorikan "berprestasi rendah." Sebab itu negara di Amerika Selatan ini menduduki posisi 59 dari 65 negara. Secara umum Argentina cuma mendapat skor 397 dalam daftar PISA 2012.
Foto: AP
#8. Yordania
Secara umum murid Yordania mencetak skor 398 dalam daftar PISA. Uniknya di sini murid perempuan mampu mengungguli murid laki-laki di semua bidang yang diujikan. Kendati memiliki perguruan tinggi berkualitas tinggi dibandingkan negara Arab lain, Yordania masih keteteran membenahi kualitas pendidikan dasar untuk murid sekolah menengah ke atas.
Foto: Save the Children
#9. Brazil
Lebih dari 65% murid Brazil gagal menjalani uji matematika. Sebab itu pula Brazil mendarat di posisi 57 dari 65 negara. Negeri raksasa di selatan Amerika ini sebenarnya sudah banyak melakukan perbaikan di bidang pendidikan sejak tahun 2000. Namun begitu statistik mencatat, 36% murid sekolah berusia 15 tahun pernah mengulang tahun pelajaran setidaknya satu kali.
Foto: picture-alliance/dpa
# 10. Uruguay
Seperti negara Amerika Selatan lain, Uruguay juga tercecer di posisi 55 dari 65 negara. Celakanya, prestasi murid di negeri bekas jajahan Portugal ini banyak menurun jika dibandingkan hasil survey tahun 2009. Menurut BBC, Uruguay adalah contoh dimana anggaran pendidikan yang besar saja tidak cukup buat memperbaiki kualitas pendidikan dan prestasi murid.
Foto: picture-alliance/dpa
#11. Malaysia
Dua hal yang menyeret posisi Malaysia ke peringkat 54 dalam daftar PISA 2012 adalah kemampuan membaca dan pemahaman di bidang ilmu pengetahuan alam. Untuk sains negeri jiran itu bahkan tertinggal 81 angka dari rata-rata negara industri maju.
Foto: Reuters/O. Harris
11 foto1 | 11
Seberapa mahal menyekolahkan anak di Jakarta, terutama di sekolah swasta?
Mahal tentu relatif. Tapi sebagai gambaran, seorang teman menyekolahkan anaknya di Highscope Jakarta Selatan. Uang yang ia keluarkan untuk mendaftarkan anaknya yang duduk di kelas 7 (setara kelas 1 SMP) Rp 65 juta, dengan uang sekolah Rp 6,5 juta per bulan (termasuk biaya kupon makan siang). Biaya ini belum termasuk uang ekstrakurikuler sebesar Rp 2,5 juta per semester.
Sekolah di Tangerang pun tak kalah mahal. Teman yang lain menyekolahkan anaknya yang baru kelas 2 SD dengan uang masuk Rp 40 juta, dan uang sekolah Rp 2,8 per bulan. Ini belum termasuk biaya ekstrakurikuler. Sang anak memilih les robotik yang dikenakan biaya Rp 250 ribu per bulan, dan les bola basket seharga Rp 200 ribu per bulan. Ditambah lagi les Mandarin Rp 350 ribu per bulan, dan les piano Rp 550 ribu per bulan.
Sekolah Pembangunan Jaya di Bintaro, Tangerang Selatan juga hampir sama mahal. Teman saya ini menghabiskan Rp 31 juta rupiah untuk mendaftarkan anaknya yang masuk kelas 7 untuk masuk sekolah tersebut. Harga yang dipatok telah termasuk iuran sekolah bulan pertama dan uang seragam.
Mengapa orangtua ngotot menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah mahal? Ada banyak alasan. Bagi Andrie Anne, selain kualitas guru yang baik, rasio antara guru dan murid, jarak yang dekat antara rumah dan sekolah menjadi alasan utama.
Plus, sekolah yang ia pilih untuk anaknya berlanjut hingga ke jenjang SMA. Ia juga memilih sekolah dengan kurikulum yang mengasah jiwa wirausaha dari usia belia, termasuk penekanan pada multi intelektualitas, menghargai perbedaan, interpersonal skill, teamwork, attitude, dan lain-lain.
Ranking Pendidikan Negara-negara ASEAN
Kualitas pendidikan Indonesia tertinggal bahkan jika dibandingkan dengan negara-negara yang lebih miskin. Tapi bagaimana sistem pendidikan kita ketimbang jiran lain di ASEAN?
Foto: picture alliance/AA/A. Rudianto
1. Singapura
Dengan skor 0,768, Singapura tidak hanya memiliki salah satu sistem pendidikan berkualitas terbaik di ASEAN, tapi juga dunia. Saat ini negeri kepulauan tersebut menempati posisi sembilan dalam Indeks Pendidikan UNESCO. Tahun 2013 silam tercatat hanya 1,3% murid sekolah yang gagal menuntaskan pendidikan.
Foto: picture-alliance/dpa
2. Brunei Darussalam
Dengan nilai Indeks Pendidikan alias EDI sebesar 0,692, Brunei Darussalam menempati posisi 30 di dunia dan nomer dua di Asia Tenggara. Tidak mengherankan, pasalnya pemerintah Brunei menanggung semua biaya pendidikan, termasuk ongkos penginapan, makanan, buku dan transportasi.
Foto: REUTERS/Ahim Rani
3. Malaysia
Dengan tingkat literasi penduduk dewasa yang mencapai 94%, tidak heran jika Malaysia mampu membukukan skor 0,671 di Indeks Pendidikan UNDP. Negeri jiran itu menempati posisi 62 dalam daftar pendidikan terbaik di dunia dan ketiga di ASEAN.
Foto: Roslan Rahman/AFP/Getty Images
4. Thailand
Thailand adalah salah satu negara ASEAN yang memiliki anggaran pendidikan tertinggi, yakni 7,6% dari Produk Domestik Brutto. Saat ini negeri gajah putih itu menempati posisi 89 di dunia dengan skor EDI sebesar 0.608.
Foto: Taylor Weidman/Getty Images
5. Indonesia
Saat ini Indonesia berada di posisi 108 di dunia dengan skor 0,603. Secara umum kualitas pendidikan di tanah air berada di bawah Palestina, Samoa dan Mongolia. Hanya sebanyak 44% penduduk menuntaskan pendidikan menengah. Sementara 11% murid gagal menuntaskan pendidikan alias keluar dari sekolah.
Foto: picture alliance/AA/A. Rudianto
6. Filipina
Tingkat kegagalan murid menuntaskan sekolah di FIlipina termasuk yang tertinggi di dunia, yakni 24,2%. Tidak heran jika Filipina saat ini menempati posisi 117 di dunia dengan skor 0,610. Namun begitu sebanyak 64% penduduk setidaknya menuntaskan pendidikan menengah.
Foto: picture-alliance/dpa/D. M. Sabagan
7. Vietnam
Vietnam yang berada di posisi 121 memiliki kualitas pendidikan yang lebih rendah ketimbang Irak dan Suriah. Saat ini Vietnam mencatat skor EDI 0,513 dan tingkat literasi penduduk dewasa sebesar 93,5%.
Foto: Hoang Dinh Nam/AFP/Getty Images
8. Kamboja
Meski banyak mencatat perbaikan dalam satu dekade terakhir, Kamboja tetap bertengger di peringkat 136 di dunia dengan skor 0,495. Wajah pendidikan negeri jrian itu termasuk yang paling muram, dengan tingkat kegagalan murid sebesar 35,8% dan hanya 15,5% penduduk yang mengenyam pendidikan tingkat menengah.
Foto: picture alliance/Robert Harding World Imagery
9. Laos
Tingkat literasi penduduk dewasa di Laos tergolong yang paling rendah, yakni 72,7%. Setidaknya 40% penduduk belum pernah mengecap pendidikan formal dan 139.
Foto: DW/E. Felden
10. Myanmar
Berpuluh tahun terkekang dalam cengkraman kekuasaan junta Militer, Myanmar sedang membangun kembali pendidikannya yang tertinggal. Saat ini Myanmar berada di urutan 150 di dunia dengan skor EDI 0.371. Tercatat hanya 19% penduduk Myanmar yang pernah mengecap pendidikan tingkat menengah.
Foto: DW/S. Hofmann
10 foto1 | 10
Satu lagi yang sering menjadi pertimbangan utama dalam memilih sekolah untuk anak: agama.
Banyak orang tua yang ngotot menyekolahkan anaknya di sekolah yang berlabel agama. Yang Islam ke sekolah berbasis agama Islam, yang Katolik ke sekolah yang ditangani para suster. Tapi banyak juga orangtua yang justru ingin sekolah bersifat plural, seperti Novita.
Sementara banyak yang memilih sekolah yang berdasarkan agama tertentu untuk anak mereka, sebagai seorang muslim, ia sengaja memilih sekolah yang tak berbasis agama. Alasannya agar anak-anak lebih menghargai perbedaan. Ia merasa khawatir dengan semakin menajamnya perbedaan antaragama yang sering memicu konflik, bahkan di tingkat perkawanan anak-anak. Sebuah alasan yang mulia, dan patut diacungi jempol.
Di sekolah yang pilih untuk kedua anaknya, keragaman latar belakang siswa setiap hari dirayakan, minimal dalam bentuk ornamen-ornamen cantik yang menghiasi sekolah: ketupat, pohon Natal, sesajen canang sari, angpao, dan sebagainya.
Tapi benarkah janji-janji tentang kualitas pendidikan yang diberikan sekolah swasta mahal pada orangtua murid sungguh-sungguh harus berongkos mahal? Ataukah itu hanya bagian dari komersialisasi pendidikan? Jangan-jangan pendidikan sesungguhnya hanya murni barang dagangan yang dibungkus dengan janji-janji mencerdaskan anak dan menyasar pada para orangtua yang tak percaya diri bila tak menyekolahkan anak mereka ke sekolah swasta mahal?
Masalah gengsi
Meskipun kedengaran sepele, soal gengsi ternyata sering jadi alasan untuk menyekolahkan anak. Apapun yang berlabel ‘Internasional' menjadi laku dijual di Indonesia.
Asalkan bahasa pengantar dalam proses belajar-mengajar berbahasa Inggris, langsung masuk kategori sekolah swasta mahal dan bagus. Sekolah dengan field trip ke luar negeri? Pasti sekolah keren. Bangunan sekolah megah, fasilitas pendukung mewah dan lengkap, guru-guru dengan status ekspatriat?
Pastilah sekolah idaman orangtua untuk anaknya. Belum lagi pilihan sekolah berdasarkan ‘peer pressure'. Kalau si A bisa menyekolahkan anaknya di sekolah X yang luar biasa mahalnya, kenapa saya tidak?
Menyekolahkan anak dengan biaya semahal apapun, jelas bukan hal yang kelewat buruk. Apalagi kalau cita-cita yang dituju luhur: mempersiapkan anak untuk memiliki pengetahuan, wawasan, dan kepribadian internasional setara dengan mereka yang berada di Singapura, Amerika Serikat, Finlandia, atau negara maju manapun di belahan dunia.
Warna Warni Sekolah Sampah di Kamboja
Sebuah sekolah kecil di Kamboja berambisi membangkitkan kesadaran lingkungan pada generasi muda. Untuk itu mereka diundang belajar di sebuah sekolah yang sebagian besar terbuat dari sampah.
Foto: Coconut School
Pengorbanan Manajer Hotel
Bukan kebetulan bahwa Sekolah Kelapa banyak menggunakan sampah sebagai material bangunan. Instansi pendidikan ini berasal dari gagasan Ouk Vanday, bekas manajer hotel yang meninggalkan pekerjaannya demi mendidik anak-anak.
Foto: Coconut School
Pendidikan Tambahan
Sekolah Kelapa dibuka pada awal 2013 untuk anak-anak yang hidup di pulau. Mereka biasanya harus menyebrang sungai Mekong untuk bersekolah di ibukota Phnom Penh. Namun Sekolah Kelapa bukan instansi pendidikan resmi, melainkan hanya ditawarkan sebagai pendidikan tambahan di luar sekolah.
Foto: Coconut School
Ekspansi ke Seluruh Negeri
Ia mengakui proyeknya itu terlalu kecil untuk membawa perubahan pada skala nasional. Namun Vanday berambisi melebarkan sayap. Dalam waktu dekat cabang Sekolah Kelapa akan dibangun di Taman Nasional Kirirom yang belum memiliki sekolah. Sekolah bertemakan serupa "Sekolah Pohon Palem" juga sudah dibuka di kota lain di Kamboja. (rzn/hp- cna,rtr)
Foto: Coconut School
3 foto1 | 3
Di sekolah-sekolah swasta mahal, metode pengajaran model lama yang sifatnya satu arah dan menekankan pada kemampuan menghapal pelajaran tak lagi diaplikasikan.
Yang pasti, dalam memilih sekolah, tetaplah berpatokan pada kepentingan anak, bukan ambisi orangtua semata. Sekolah dengan fasilitas lengkap dan modern, tentu menyenangkan, tapi bukan yang terpenting.
Yang sangat penting adalah situasi belajar yang terjadi antara murid dan guru, dan nilai-nilai yang diajarkan di sekolah selaras dengan nilai-nilai yang ingin ditanamkan orangtua pada anak-anak mereka. Bila ini terpenuhi, mudah-mudaha anak bisa mengembangkan potensi yang terbaik dalam dirinya hingga seoptimal mungkin.
Jadi, para orangtua yang hanya sanggup menyekolahkan anaknya di sekolah negeri terdekat, tak perlu langsung berkecil hati. Toh lulusan sekolah negeri pun banyak yang berkualitas dan melanjutkan ke universitas-universitas ternama, baik di dalam negeri maupun luar negeri.
Ketika lulus kuliah pun tak terbilang yang menempati pos-pos strategis dengan prospek yang cerah. Belum lagi bila menghitung berapa jumlah lulusan sekolah negeri yang kemudian setelah bekerja mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan S2 atau S3 di universitas-universitas terbaik di luar negeri.
Sebaik-baiknya sekolah, peran orangtua untuk turun tangan langsung dalam mendidik anak-anaknya sangatlah besar dalam membantu anak sukses mengembangkan potensi dalam dirinya.
Pendidikan terbaik sesungguhnya mengutamakan bakat dan minat anak, dengan ditunjang kemampuan finansial orangtua. Jangan sampai gara-gara ngotot ingin menyekolahkan anak ke sekolah mahal, sampai lupa untuk menyiapkan hal-hal lain yang dibutuhkan anak-anak di masa depan yang lagi-lagi membutuhkan dukungan finansial yang tak kecil.
Penulis:
@sheknowshoney
Uly Siregar bekerja sebagai wartawan media cetak dan televisi sebelum pindah ke Arizona, Amerika Serikat. Sampai sekarang ia masih aktif menulis, dan tulisan-tulisannya dipublikasikan di berbagai media massa Indonesia.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
Sampaikan komentar Anda mengenai opini di atas dalam kolom komentar yang tersedia di bawah ini.
Ketika Kaum Lansia Thailand Kembali ke Sekolah
Kaum lansia di Thailand berbondong-bondong kembali ke sekolah dan belajar bersama teman sebaya. Program unik ini digagas untuk mengusir rasa sepi lantaran banyak lansia yang hidup sendiri setelah ditinggal keluarga.
Foto: Reuters/A. Perawongmetha
Kembali ke Sekolah
Mengenakan seragam baru berwarna merah putih, sekelompok lansia berusia 60an tahun pergi ke sekolah menumpang minibus layaknya murid pada umumnya. Banyak kaum lansia di Thailand yang mengikuti program kembali ke sekolah untuk menghindari kesendirian menyusul pergeseran demografi yang mengubah struktur keluarga.
Foto: Reuters/A. Perawongmetha
Sendiri Tanpa Keluarga
Perubahan demografi di kawasan pinggiran Thailand menempatkan kaum lansia dalam posisi yang tak nyaman. Biasanya kaum lansia tinggal dan diurus oleh anak dan cucunya. Namun untuk mencari kerja banyak keluarga muda yang meninggalkan kampung halaman dan hijrah ke kota. Derasnya arus migrasi memaksa sebagian lansia hidup sendiri tanpa keluarga.
Foto: Reuters/A. Perawongmetha
Menua dalam Separuh Abad
Setelah Cina, negeri gajah itu mencatat laju penuaan demografi tercepat di kawasan. Saat ini Thailand memiliki 7,5 juta penduduk yang berusia di atas 65 tahun, sekitar 13% dari total populasi. Angka tersebut akan melonjak hingga 17 juta manusia pada 2040. Perkembangan ini memaksa pemerintah mengambil sejumlah kebijakan buat memperbaiki kondisi hidup para lansia.
Foto: Reuters/A. Perawongmetha
Industrialisasi Ubah Struktur Keluarga
Meski antara lain disebabkan membaiknya layanan kesehatan gratis dan meningkatnya tingkat harapan hidup, fenomena di Thailand juga punya sisi muram. Menyusutnya angka kelahiran juga bertanggungjawab atas pergeseran demografi. Jika pada 1960an rata-rata perempuan di Thailand memiliki enam anak, kini jumlahnya hanya 1,5.
Foto: Reuters/A. Perawongmetha
Bebas Stres di Sekolah
Agar tidak kesepian, para lansia ini mengunjungi kelas bahasa Inggris seminggu sekali selama 12 pekan. Selain itu mereka juga ikut berlatih senam kebugaran. Adapun seragam sekolah yang dikenakan menambah kesan nostalgia terhadap program unik tersebut. "Hidup sehari-hari saja sudah sangat stres," kata Coochart Supkerd yang berusia 63 tahun kepada Reuters.
Foto: Reuters/A. Perawongmetha
Teman Lawan Kesepian
"Kalau saya pergi sekolah, saya berdandan dan bertemu teman. Kami ngobrol dan tertawa bersama," kata Somjit Teeraroj, perempuan berusia 77 tahun yang ditinggal mati suaminya setelah 40 tahun usia pernikahan. Ia mengatakan aktivitas bersekolah membantunya berdamai dengan kehidupan baru seorang diri.
Foto: Reuters/A. Perawongmetha
"Bangga" pada Pengetahuan Baru
Sekolah di Ayutthaya, sekitar 80 km, dari Bangkok, adalah satu dari sekian banyak lembaga pendidikan yang ikut serta dalam program pendidikan kaum lansia yang digagas pemerintah Thailand. "Saya mungkin akan kembali merasa kesepian tapi saya juga bangga terhadap sekolah dan bahwa saya mendapat pengetahuan baru di kelas," kata Coochart Supkerd. (rzn/yf: Reuters)