Lian Gogali bermimpi mengembalikan kedamaian dan kedaulatan masyarakat Poso lewat tangan-tangan para perempuan.
Iklan
"Saya sangat tidak percaya konflik di Poso karena dilatarbelakangi agama.” Itulah yang diyakini Lian Gogali, pendiri Institut Mosintuwu di Poso, Sulawesi Tengah.
Saat konflik komunal merebak di Poso pada 1998-2001, ia memang tidak berada di sana. Ia tengah menyelesaikan kuliahnya di Yogyakarta. "Kami ini kawin-mawin, kalau mau telusuri dalam satu pohon keluarga, ada yang beragama Islam, Kristen, dan Hindu. Sehingga ikatan keluarga lintas iman itu sangat kuat di Poso,” kata perempuan 40 tahun ini yang ditemui di Poso beberapa waktu lalu.
Lian mulai kuliah di Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta pada 1997, setahun sebelum konflik berdarah meletus. Menurut dia, banjir informasi tapi minim informasi akurat menyebabkan berbagai isu terkait konflik berkembang liar saat itu.
"Memang imajinasi apa yang terjadi di sana jadi lebih liar karena keterbatasan informasi dan banyaknya isu yang simpang siur,” ujarnya. Saat pulang ke Poso pada 1999 karena ayahnya meninggal, Lian melihat dengan mata kepala sendiri, rumah-rumah dan sekolah habis dibakar, termasuk rumah kakaknya. "Barulah saya mulai menyadari ada yang tidak betul di situ.”
Masa Depan Agama di Dunia
Sebuah penelitian oleh Pew Research Centre 2015 silam mencatat Islam sebagai agama dengan tingkat pertumbuhan populasi tertinggi di dunia. Secara umum pemeluk agama Samawi masih mendominasi pada 2050.
Foto: picture alliance /Godong/Robert Harding
1. Kristen
Umat Kristen pun mengalami lonjakan populasi pada 2050, kendati tidak sebesar kaum Muslim. Pertumbuhan umat Kristen mencapai 35% menjadi 2,9 miliar manusia atau 31% dari total populasi dunia. Menurut hasil penelitian PEW, pada tahun 2050 populasi pemeluk dua agama terbesar di dunia itu akan berimbang, untuk pertamakalinya dalam sejarah.
Foto: Getty Images
2. Islam
Mengacu pada tingkat kesuburan perempuan Muslim yang saat ini mencapai 3,1 bayi per perempuan, jumlah populasi kaum Muslim di dunia pada 2050 akan meningkat sebanyak 70%, menjadi 2,8 miliar orang atau 30% dari penduduk Bumi. Jumlah tersebut sekaligus menyamai populasi umat Kristen di dunia. Selain itu kaum Muslim juga akan mewakili sebanyak 10% dari total populasi penduduk Eropa.
Foto: Getty Images/AFP
3. Hindu
Pertumbuhan populasi pemeluk Hindu terutama dimotori perkembangan demografi di India. Serupa Kristen, umat Hindu akan tumbuh sebanyak 34% pada 2050 menjadi 1,3 miliar manusia atau sekitar 15% dari total populasi dunia.
Foto: picture-alliance/AP Photo
4. Ateisme & Agnostisisme
Kendati bertambah dalam jumlah populasi, prosentase kelompok yang tidak memiliki agama terhadap jumlah penduduk Bumi berkurang dari 16% pada 2010 menjadi 13% pada 2050. Peningkatan terbesar tercatat di Amerika Utara dan Eropa. Pada 2050 sebanyak 26% penduduk AS diyakini tidak memiliki agama. Secara umum jumlah kaum non-agamis di dunia akan meningkat menjadi 1,2 miliar manusia.
Foto: Imago/imagebroker
5. Buddha
Semua pemeluk agama di dunia akan bertambah, kecuali umat Buddha. Populasi pemeluk Buddha di seluruh dunia tidak banyak berubah menyusul tingkat kesuburan yang rendah dan populasi yang menua di Cina, Thailand dan Jepang. Menurut studi PEW, populasi umat Buddha menurun sebanyak 0,3% dari 487 juta pada 2010 menjadi 486 juta pada 2050 atau 5,2% dari total populasi dunia.
Foto: Getty Images/AFP
6. Aliran Kepercayaan
Jumlah pemeluk kepercayaan tradisional saat ini banyak bergantung pada perkembangan demografi di Cina dan Afrika. Pertumbuhannya mencapai 11% dari 405 juta manusia pada 2010 menjadi 450 juta pada 2050 atau sekitar 4,8% dari penduduk Bumi.
Foto: Klaus Bardenhagen
7. Yahudi
Kelompok terkecil agama Samawi adalah Yahudi yang saat ini tercatat memiliki 14 juta pemeluk di seluruh dunia. Dengan tingkat kesuburan sebesar 2,3 bayi per perempuan, pemeluk Yahudi diyakini akan tumbuh sebanyak 14% pada 2050 menjadi 16 juta manusia. Namun prosentasenya hanya sebartas 0,2% dari total penduduk Bumi.
Foto: picture-alliance/ dpa
7 foto1 | 7
Pada 2002, ia memutuskan melanjutkan pendidikan pasca-sarjana di kampus yang sama. Saat hendak menyusun tesis, dia diberi buku karya Urvashi Butalia yang menceritakan tentang pemisahan India dari perspektif perempuan. "Buku ini jadi titik awal saya bertanya lebih dalam lagi tentang kisah perempuan dan anak dalam konflik di Poso,” kata dia.
Lian muak melihat pemberitaan di media yang selalu menyajikan cerita siapa membunuh siapa,dan hitung-hitungan korban terbanyak ada di kelompok mana. Tanpa ada satu pun yang menceritakan ke mana para perempuan dalam konflik tersebut. "Saya jadi semakin penasaran dengan posisi perempuan, apalagi di dalam konstruksi masyarakat Poso yang sangat patriarki, sangat feodal, tidak mendukung posisi perempuan.”
Akhirnya, ia memutuskan tesisnya akan menjawab soal itu. Ia melakukan riset selama satu setengah tahun, keliling berbagai tempat penampungan pengungsian untuk mengumpulkan serpihan ingatan para perempuan korban konflik. "Saya ingin mencari tahu bagaimana politisasi ingatan konflik Poso berjalan dari perspektif perempuan,” kata dia.
Dari riset tersebut, ia menemukan banyak cerita yang menguatkan bahwa konflik ini bukan konflik agama. Yang tidak diceritakan, menurut Lian, adalah bagaimana para perempuan saling membantu satu sama lain, antaragama, antarkomunitas. "Ini tidak pernah muncul di media, selalu yang diperlihatkan adalah permusuhan antara Islam dan Kristen.”
Menurut Lian, ingatan saling menolong ini disenyapkan dan ditekan. "Ingatan mereka direpresi oleh wacana umum bahwa konflik ini antara Islam dengan Kristen. Wacana yang terus-menerus diulang akhirnya diterima, membesar, dan jadilah kebencian itu,” ujarnya.
Hal lain yang ia temui adalah bahwa perempuan yang kerap mengalami kekerasan berlapis dalam konflik ini, merupakan penyintas yang paling tangguh.
Setelah riset, Lian terdorong untuk melakukan sesuatu. Ia terus "dihantui” pertanyaan ibu-ibu tentang apa yang akan dia lakukan setelah riset. Apalagi, saat sidang tesis, ia kembali diguncang pertanyaan serupa oleh penguji. "Lian, kalau kau tahu bahwa media melakukan kesalahan besar dengan tidak mengabarkan apa yang sebenarnya terjadi di Poso terhadap perempuan, lalu apa? Apa yang akan kau lakukan? Bagaimana kau sebagai orang Poso bertanggung jawab untuk sejarah kau sendiri?” Ia pun memutuskan kembali ke Poso setelah pendidikannya selesai.
Perjalanan Sekolah yang Mempertaruhkan Nyawa
Semangat anak-anak kecil ini sungguh luar biasa. Demi merengkuh ilmu, mereka mengambil risiko berbahaya ke sekolah. Menentang arus sungai, memanjat tebing, Bahkan ada yang lima jam berjalan kaki sampai sekolah.
Foto: picture-alliance/dpa/Imaginechina Tao ge
Tangga darurat
Dengan berhati.-hati, murid Desa Atule’er, Liangshan Yi , Sichuan, Cina memanjat kembali ke desa setelah lelah menuntut ilmu di sekolah. Mereka mencengkram tangga bambu/kayu dan tanaman rambat di tebing terjal agar tidak terjatuh. Penduduk desa menggunakan tangga yang sama untuk pergi ke pasar terdekat sekitar seminggu sekali, guna menjual paprika dan kenari atau membeli kebutuhan sehari-hari.
Foto: picture-alliance/dpa/C. Jie/VCG
Dua jam perjalanan
Murid dari Desa Atule’er terbiasa merambat sambil memanjat tebing saat pulang ke rumah selepas sekolah. Lebih dari 70 keluarga tinggal di desa Atule’er, yang berketinggian sekitar 800 meter di atas Sungai Meigu, Liangshan Yi, ini. Demi bisa bersekolah, belasan murid, yang berusia 6 sampai 15, disertai dengan 3 orang dewasa secara teratur menghabiskan 2 jam mendaki tebing.
Foto: picture-alliance/dpa/C. Jie/VCG
Memanjat hampir 1 km
Memanggul ransel, anak-anak sekolah ini mendaki tebing terjal sepanjang 800 meter di Zhaojue, daerah otonomi Liangshan Yi, Provinsi Sichuan, Cina. Mereka pulang sekolah dan dalam perjalanan ke rumah. Setelah nasib anak–anak ini mendapat perhatian masyarakat internasional, mereka dijanjikan akan mendapat tangga baja untuk menggantikan tangga bambu yang rapuh ini.
Foto: picture alliance/AP Images/Chinatopix
Lima jam ke sekolah
Menuju sekolah, murid-murid SD ini menyusuri kaki gunung di tebing gunung yang berbatasan dengan sungai Dadu di Desa Gulu, Wusihe, Hanyuan. Sekolah dasar yang dituju melekat ke tebing curam. Untuk sampai ke sekolah, siswa harus berjalan kaki di jalur-jalur curam selama lima jam. Bahaya mengintai, jika ada angin menerpa saat dalam perjalanan.
Foto: picture-alliance/dpa/Imaginechina Tao ge
Bawa perlengkapan di tengah intaian bahaya
Siswa mengangkut barang mereka untuk kembali ke sekolah di jalur lembah pegunungan terjal di Desa Nongyong, Dahua Yao, Guangxi Zhuang, Cina. Rumah anak-anak tersebar di antara pegunungan & jauh dari sekolah. Sebagian besar dari mereka mendapat akomodasi di sekolah selama semester berlangsung. Namun, ketika musim panas, mereka harus melakukan perjalanan berbahaya ini, antara rumah dan sekolah.
Foto: picture alliance/Photoshot/H. Xiaobang
Andalkan ban karet
Para pelajar SD di provinsi Rizal, Filipina ini menggunakan ban karet sebagai sarana melayari sungai untuk pulang pergi sekolah. Jarak dari rumah ke sekolah sekitar 2 km. Jika arus sungai meluap, ancaman bahaya semakin besar. Di Filipina, akses terhadap pendidikan, terutama di daerah pedesaan, masih menjadi masalah, tetapi tingkat pendaftaran tetap relatif tinggi, yakni mencapai 85 persen.
Foto: picture-alliance/dpa/D. M. Sabagan
Dengan rakit bambu darurat
Siswa SD Filipina menyeberangi sungai dengan rakit bambu darurat di hari pertama tahun ajaran baru di sebuah desa terpencil di provinsi Rizal, timur Manila, Filipina. meskipun hanya 62 persen menyelesaikan sekolah tinggi. Di Filipina, meski minat mendaftar sekolah tergolong tinggi, hanya 62 % yang lulus pendidikan tinggi
Foto: picture-alliance/dpa/D. M. Sabagan
Murid Indonesia juga pernah mengalami
Beberapa anak Indonesia di pelosokl juga pernah mengalami nasib serupa. Tampak anak-anak SD menyeberangi sungai menggunakan jembatan rusak parah di Lebak, Provinsi Banten. Sekian lamanya pemerintah meremehkan risiko bahaya bagi anak-anak yang setiap hari pergi ke sekolah. Mengerikan melihat anak-.anak kecil melalui bahaya di atas jembatan miring yang rusak itu.
Foto: Getty Images/AFP/Str
Sebenarnya bukan jembatan
Siswa SD pergi ke sekolah melalui jembatan gantung yang menghubungkan desa Suro dan desa Plempungan di Boyolali, Jawa Tengah. Rangkaian batang besi sepanjang 30 meter dan lebar 1,5 meter yang terletak 10 meter di atas sungai ini sebenarnya bukan jembatan, tetapi saluran irigasi yang mengalirkan air dari waduk Cengklik ke sawah sekitarnya.
Foto: picture alliance/AA/A. Rudianto
9 foto1 | 9
Setiba di Poso, Lian belum memiliki gambaran apa yang akan dia perbuat. Hingga datang tawaran dari Asian Muslim Action Network untuk membangun komunitas belajar perempuan. Ia lalu mengorganisir beberapa perempuan dan membangun Sekolah Perempuan yang menjadi cikal bakal berdirinya Institut Mosintuwu.
Ia sempat terbentur masalah. "Program-program yang dilakukan banyak lembaga donor untuk membangun Poso mengubah kultur masyarakat yang semula guyub dan terbiasa saling tolong menolong, menjadi semuanya diukur dengan uang, seperti uang transportasi, per diem.”
Karena itu, saat mendirikan Institut Mosintuwu yang fokus bergiat pada isu anak dan perempuan, ia ingin memasukkan identitas budaya Mosintuwu, yakni kehidupan bersama yang saling menghargai dan saling menghidupi. "Semangat dari insititut ini adalah keinginan untuk merebut kembali identitas masyarakat Poso,” kata dia.
Untuk menggerakan kegiatan ini, Lian menyambangi warga di berbagai desa untuk menawarkan program Sekolah Perempuan. Awalnya, peminatnya sedikit, hanya tujuh perempuan dari target 100 orang. Mereka berlatar belakang petani, ibu rumah tangga, dan buruh cuci.
Bahkan kemudian semakin banyak perempuan bergabung. Institut Mosintuwu kini menjelma menjadi lembaga yang disegani. Dari Sekolah Perempuan lahir pemimpin-pemimpin perempuan di banyak desa. Salah satunya Margareta Tandi yang kini Kepala Dusun Kameasi di Desa Kilo, Poso Pesisir Utara. "Berkat sekolah perempuan, saya memiliki keberanian untuk menjadi pemimpin,” kata dia.
Ada pula Martince yang menjadi tulang punggung setiap kegiatan di Desa Bukit Bambu. Sebelum ikut Sekolah Perempuan, Martince begitu benci umat Muslim. Pemantiknya, keponakannya yang masih sekolah yang dibunuh dengan sadis.
Namun kebencian itu luntur ketika dia mulai berinteraksi dengan perempuan Muslim yang juga penyintas konflik di Sekolah Perempuan. "Dari situ saya menyadari bukan agamanya yang salah, melainkan orang-orang yang salah memaknainya. Kebencian perlahan hilang.”
Martince saat ini justru jadi ujung tombak Institut Mosintuwu untuk menebarkan pesan-pesan perdamaian dan kedaulatan bagi perempuan.
UNESCO: “Pendidikan Untuk Semua“ Masih Utopia
UNESCO memperingatkan bahwa tujuan-tujuan penting pendidikan dunia tak akan bisa dicapai seperti yang ditargetkan. Ini mengakibatkan merugikan bagi anak-anak dan remaja.
Foto: picture alliance/Robert Harding World Imagery
Lima Jalan Keluar dari Krisis
“Pendidikan untuk semua“ adalah agenda UNESCO yang harus diwujudkan sampai tahun 2015. Melihat perkembangan sekarang, bisa diramalkan bahwa satupun dari lima tujuan tersebut tak akan bisa dicapai. Saat ini sedang terjadi “Krisis Pendidikan Global “ mulai dari pendidikan prasekolah sampai tingkat lanjutan. Dan yang paling memprihatinkan adalah krisis kemampuan baca tulis orang dewasa.
Foto: Kathrin Harms/MISEREOR
Tujuan Pertama: Perkembangan Anak Usia Dini
Di Jamaika anak-anak dengan perkembangan lambat dari keluarga prasejahtera secara teratur, melalui sebuah tes mendapat bantuan secara mental dari psikolog. Hasilnya 42 persen dari mereka bisa berpenghasilan lebih baik dari teman sebayanya saat berusia 20 tahun. Yaman, Somalia dan Burkina Faso adalah negara-negara di mana anak-anak kecil di negara tersebut harus dirawat sebelum memasuki sekolah.
Foto: picture-alliance/dpa
Kedua: Pendidikan Dasar Menyeluruh
Negara-negara di selatan Sahara harus mengejar ketertinggalan. Sekitar seperlima dari seluruh anak-anak usia sekolah dasar di negara-negara ini tak bersekolah. Diperkirakan, semua anak laki-laki akan bisa menikmati pendidikan sekolah dasar tahun 2021 sedangkan anak peremuan tahun 2086. Negara terbaik, di mana jumlah anak tak sekolahnya turun 85 persen adalah Laos, Ruanda dan Vietnam.
Foto: Hoang Dinh Nam/AFP/Getty Images
Ketiga: Pendidikan Lanjutan
Banyak remaja tidak mendapat ketrampilan dasar yang harusnya diperoleh di sekolah lanjutan. Defisit yang membahayakan. Contohnya kematian per tahun akibat malaria di Republik Demokrasi Kongo adalah sekitar seperlima dari kematian malaria yang terjadi di dunia. Menurut laporan PPB jumlah ini harusnya bisa berkurang sekitar 35 persen jika setiap kepala keluarga mendapat pendidikan yang sesuai.
Foto: Thomas Einberger/Brot für die Welt
Keempat: Perang Melawan Buta Huruf
Tujuan ke-4 UNESCO adalah menurunkan jumlah orang buta huruf di seluruh dunia. India menempati posisi teratas dengan sekitar 287 juta orang dewasa yang selain tak bisa menulis juga tak bisa membaca. Hal ini hampir tak mengalami perubahan selama bertahun-tahun. Padahal tingkat melek huruf yang tinggi menjadi syarat bagi kemajuan sosial dan ekonomi.
Foto: Sam Panthaky/AFP/Getty Images
Kelima: Kesetaraan Gender
Menurut UNESCO langkah terpenting ke-5 untuk menjamin pendidikan menyeluruh adalah mengusahakan persamaan kesempatan antara laki-laki dan perempuan. Makin miskin sebuah masyarakat serta makin tinggi tingkat pendidikan yang dicita-citakan biasanya makin meningkat pula ketidakberuntungan perempuan. Perubahan cepat di bidang persamaan kesempatan antara laki-laki dan perempuan terjadi di Turki.
Foto: picture-alliance/dpa
Menutup Biaya Sendiri?
UNESCO memperingatkan adanya kekurangan dana untuk pendidikan dasar anak-anak dunia, sekitar 19 juta Euro, serta makin sedikitnya jumlah dana bantuan yang diberikan kepada UNESCO. Sekarang masing-masing negara harus mengusahakan sendiri kekurangan uang ini. Sebagai contoh posistif adalah Benin, Ethiopia dan Afganistan yang tidak seperti negara lainnya tidak memotong anggaran pendidikan.
Foto: DW/R. Elham
Pendidikan Menyelamatkan Hidup
Di seluruh dunia, tercatat sekitar 57 juta anak-anak masih belum mempunyai akses terhadap pendidikan. Hal ini mempunyai dampak luas. Jika saja anak perempuan di seluruh dunia bisa menikmati pendidikan sekolah dasar, maka tingkat kematian ibu saat melahirkan bisa turun sekitar dua pertiga persen.
Foto: AP
Sekolah Saja Tak Cukup
Menurut UNESCO, sepertiga anak-anak usia sekolah dasar tak mendapat pengetahuan dasar yang penting di sekolah. Tuntutannya: diseluruh dunia jumlah guru harus ditambah sekitar 1,6 juta orang. Ini berarti, di Malawi setiap tahunyan pertumbuhan guru harus ditingkatkan 15 persen. Tak seperti yang direncanakan, yakni satu guru untuk 40 siswa, saat ini di Malawi, seorang guru mengajar 76 siswa.
Foto: picture-alliance/dpa
Kebaikan dan Darurat
Kekurangan guru terjadi dimana-mana, terutama di negara-negara berkembang. Akibatnya bisa jadi inovatif. Misalnya di Kamboja, karena kekurangan guru negara ini mendorong terlaksananya pembelajaran terpadu yang diperuntukkan bagi warga segala usia dan juga menugaskan guru dari kalangan etnik minoritas.
Foto: picture alliance/Robert Harding World Imagery
10 foto1 | 10
Sukses dengan Sekolah Perempuan Mosintuwu, Lian tak mau berhenti. Ia menambah berbagai kegiatan. Di antaranya, Sekolah Pembaharu Desa. Impiannya, sekolah ini akan membentuk komunitas pembaharu desa yang tidak hanya melibatkan perempuan.
Lian dan teman-teman juga merintis Sekolah Keberagaman untuk merawat perdamaian lintas iman. Pesertanya, para tokoh agama yang memiliki basis massa desa. Juga Sekolah Generasi Damai yang ditujukan untuk anak-anak muda di seluruh Poso. "Anak muda ini juga perlu ruang untuk mengalami, merasakan, dan mampu mempraktekkan nilai-nilai ini,” ucap Lian.
Masih ada lagi, Project Sophia dan Perpustakaan Sophia. Project Sophia adalah proyek perpustakaan keliling yang memberi ruang bagi anak-anak untuk menumbuhkan daya kritisnya sehingga kelak menjadi generasi yang mampu menjaga perdamaian dan keadilan di Poso. Sementara Perpustakaan Sophia di Institut Mosintuwu, selain menyediakan buku-buku, juga memfasilitasi anak-anak untuk belajar bahasa Inggris.
Ada pula Festival Mosintuwu yang menjadi perayaan bersama antar desa di Poso yang menandakan perdamaian sudah tercipta.
"Harapan saya, perempuan menjadi pembaharu desa untuk menciptakan masyarakat yang damai dan adil yang berakar pada kebudayaan,” kata Lian Gogali.
***
Tulisan ini bagian dari Proyek Perempuan Tempo untuk merayakan 90 tahun Konggres Perempuan Indonesia pertama 22 Desember 1928, dengan dukungan dari European Journalism Centre.