1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

080109 Hisbollah Hamas

9 Januari 2009

Kamis (08.01.) dari Libanon dilepaskan roket terhadap kawasan Israel. Namun pemerintah di Beirut menyatakan tidak melakukan serangan karena tetap berpegang pada perjanjian 2006 yang antara lain mengakhiri Perang Beirut.

Aksi demonstrasi untuk Hamas dan Hisbollah?Foto: AP

Jika mengamati pernyataan pemerintah Israel, muncul kesan, bahwa dibalik kebanyakan masalah, Iranlah yang sebetulnya menjadi sasaran politik Israel. Israel seakan-akan hendak menekan organisasi 'Hamas' dan 'Hisbollah' yang oleh mereka dianggap sebagai 'perwakilan' Iran di kawasan Jalur Gaza. Kenyataannya memang dukungan pemerintah Iran terhadap dua organisasi itu melampaui pernyataan solidaritas yang sering dilontarkan. Namun jika menyamakan Hamas dengan Hisbollah, hal itu sangatlah salah. Kelompok Hamas di Palestina berafiliasi pada Ikhwanul Muslimin di Mesir yang mengikuti ajaran Sunni. Sedangkan, kelompok Hisbollah adalah gerakan Syiah. Kelompok ini mengaku didukung oleh umat Syiah. Sebanyak 30 persen rakyat Libanon adalah pengikut Syiah dan merupakan kelompok Islam terbesar di Libanon. Sebelumnya cukup lama kelompok Syiah tidak memainkan peranan penting secara politis. Namun di akhir tahun 60an kaum Syiah mulai mengorganisir diri. Tahun 1974 Mufti Mussa al-Sadr yang diutus dari Iran, membentuk kelompok militan 'Amal', yang secara bertahap berubah menjadi partai politik. Namun di Libanon kaum Syiah tidak senang melihat perkembangan tersebut.

Kelompok 'Hisbollah' lahir sebagai reaksi penyerbuan Israel ke Libanon Juni 1982. Iran membantu kelahiran kelompok militan baru itu dengan mendirikan dan mendanai kamp pelatihan di Baalbek di dataran Beqa. Selain itu, dengan memasoknya dengan senjata. Setelah melakukan serangkaian serangan berdarah terhadap pasukan Amerika Serikat, Perancis dan terutama Israel di Libanon, Hisbollah menyebut dirinya sebagai gerakan pemberontak serius satu-satunya di Libanon. Hisbollah juga menyerukan 'pembebasan Yerusalem', atau Israel harus dihancurkan.

Hal ini yang menghubungkan Hisbollah dengan Hamas secara ideologis. Kontak langsung antar dua kelompok itu baru tercipta ketika Israel tahun 1992 mendeportasi lebih dari 400 aktifis Hamas dari Jalur Gaza ke Libanon. Diantaranya terdapat anggota yang nantinya membentuk kelompok inti garis keras pimpinan Hamas. Ketika berkemah di sebuah gunung di selatan Libanon, para aktifis Hamas yang dideportasi itu, didatangi utusan Hisbollah. Dari utusan itu, para anggota Hamas belajar, bagaimana menghadapi Israel secara lebih aktif lagi. 'Resep' itu dipakai oleh Hamas sekembali di Jalur Gaza.

'Persekutuan' antara Hisbollah dan Hamas tercetus pada masa itu. Namun guna mencapai target masing-masing. Selain itu, tidak ada yang menghubungkan mereka. Apalagi sebetulnya antara Hamas Islam Sunni dan Hisbollah yang Syiah cenderung antipati ketimbang simpati dan ikatan tali persaudaraan. Ikhwanul Muslimin misalnya pada dasarnya memandang kelompok Syiah sebagai pembangkang Islam murni dan karena itu sulit untuk menyciptakan persekutuan antar dua kelompok itu.

Alasan lain mengapa Hisbollah tidak bakal bersolidaritas jika Hamas hendak menyerang Israel adalah: setelah bertahun-tahun bertikai, Hisbollah berhasil masuk kembali ke pemerintahan koalisi dan kelompok itu merasa terikat pada perjanjian 2006 yang mengakhiri Perang Libanon. Yang antara lain memuat, tidak melancarkan serangan terhadap Israel. Karena itu, penegasan pemerintah Libanon, bahwa Hisbollah bukan pelaku serangan Kamis lalu (8/1) patut dipercayai. Namun masih ada kelompok lain, mungkin kelompok Palestina di Libanon, yang menganggap konfrontasi baru sebagai suatu kebetulan. (an)