1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Selamat Tinggal Booming Ekonomi China

2 September 2008

Tekanan internasional memaksa China membenahi sitem perekonomian mereka, dari menggantungkan sektor ekspor pada upah buruh murah ke sistem perekonomian pasar yang fungsional.

Shanghai World Financial Center
Shanghai World Financial CenterFoto: AP


Produsen mobil mewah kelak menghadapi kesulitan dalam memasarkan limousine mereka dengan kaca gelapnya di China. Dan juga para perempuan penghibur langganan para pebisnis di selatan China, yang terbiasa hidup enak, akan sulit menikmati gaya hidup serupa. Sudah ada pertanda jelas, bahwa masa-masa keemasan ekspor China akan segera berlalu. Tidak diragukan lagi bahwa China merupakan pemenang terbesar dalam globalisasi. Namun setelah bertahun-tahun dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata dua digit yang menyejukkan, kini pertumbuhan ekonomi mendingin, angka inflasi bergerak naik. Dan yang terburuk adalah: untuk sementara perbaikan tak nampak. Pandangan terhadap perekonomian Amerika Serikat telah menyebabkan para eksportir China mengerutkan kening mereka karena khawatir. Pemerintahan di Beijing pada akhirnya harus bertindak ofensif dan memanfaatkan situasi ini untuk segera menyehatkan kembali perekonomian mereka agar dapat booming kembali nantinya. Demikian analisa pengamat ekonomi Andy Xie:„Kini, dimana perekonomian dunia sedang oleng, China harus meningkatkan kemampuan persaingan pasar. Ini merupakan landasan bagi booming perekonomian nantinya. Jika China tidak segera mereformasi diri dan hanya mengandalkan paket rangsangan ekonomi untuk menstabilkan perekonomian, maka diperkirakan pertumbuhan ekonomi akan makin menurun. Saya memandang, bahwa China belum cukup kaya untuk menghadapi pertumbuhan ekonomi yang lambat. Pemerintah China harus menyadari hal ini.”


Angka pertumbuhan ekonomi turun 0,5 persen menjadi 10,1 persen di kuartal kedua tahun ini. Para pengamat menganalisa bahwa pertumbuhan ekspor di kuartal kedua tahun ini akan semakin melemah dan angka ekspor menurun hingga sekitar 10 persen. Ini merupakan alarm peringatan bagi Beijing, sebab sektor ekspor menyumbang 40 persen pendapatan kotor negara itu. Perekonomian domestik tak akan mampu mengatasi defisit ekonomi ini.


Tingginya angka bahan mentah dan kenaikan upah buruh dan perubahan persyaratan ekspor memaksa ribuan pabrik di China Selatan tutup. Kini diharapkan muncul generasi baru perusahaan. Demikian tambah pengamat ekonomi Andy Xie yang bekerja pada perusahaan keuangan global Morgan Stanley dan memimpin Bank Pembangunan Shenzhen:„China berada dalam fase menyesuaikan diri. Trend grafik penurunan ekonomi masih terjadi. Pendapatan kotor domestik setiap kuartalnya turun 0,5 persen. Saya tidak tahu bagaimana trend ini akan dapat dibalikkan kembali. Dalam waktu yang bersamaan inflasi juga cukup tinggi. Jelas ini merupakan situasi yang sulit. Satu-satunya jalan keluar adalah reformasi berorientasi pasar. Sebab China masih dalam pembangunan tahap awal. Hanya reformasi yang dapat meningkatkan efisiensi.“ (ap)