Seleksi Gender Pangkas Populasi Nyamuk Malaria
11 Juni 2014 Sekelompok pakar Biologi mengklaim berhasil mengembangkan metode ampuh dalam perang melawan nyamuk malaria. Caranya dengan menggandakan populasi nyamuk jantan lewat modifikasi genetika. Metode seleksi gender itu mampu memproduksi satu generasi nyamuk yang 95-persennya terdiri dari nyamuk jantan.
Karena jumlah nyamuk betina menurun drastis, populasi nyamuk perlahan menghilang dengan sendirinya. "Malaria tidak cuma melemahkan, tetapi juga bisa berakibat fatal. Jadi kami harus menemukan cara baru buat mengatasinya," kata Andrea Cristanti, seorang professor di Imperial College London.
"Kami kira pendekatan inovatif kami adalah sebuah terobosan. Untuk pertamakalinya kami bisa memanipulasi produksi jentik nyamuk betina di laboraturium. Dan temuan kami menghasilkan cara baru buat memusnahkan penyakit ini," katanya.
Murah dan Efektif
Ilmuwan menyuntikkan enzim DNA ke dalam kode genetik milik embrio nyamuk jantan. Modifikasi itu menghancurkan pembentukan kromosom X ketika nyamuk mulai memproduksi sperma. Hasilnya sperma nyamuk nyaris tidak mengandung kromosom X dan akhirnya memangkas jumlah nyamuk betina.
Sebaliknya sperma nyamuk banyak mengandung kromosom Y, yang memproduksi nyamuk jantan.
"Penelitian ini masih berada di tahap awal. Tapi saya berharap pendekatan baru ini bisa menghasilkan cara yang murah dan efektif untuk memusnahkan malaria dari satu kawasan," kata salah seorang anggota tim peneliti, Roberto Galizi.
Dulang Pujian
Temuan tim ilmuwan yang dipimpin Cristanti itu mendulang pujian dari pakar malaria di Universitas Oxford, Michael Bonsall. "Hasil kerjanya luar biasa," katanya. "Ini memiliki implikasi yang penting untuk membatasi penyebaran malaria," ujarnya kepada sebuah jurnal sains Inggris,
"Akan sangat menarik untuk melihat bagaimana teknologi yang sangat spesifik ini dimatangkan," imbuh Bonsall. Penelitian Cristanti fokus pada jenis nyamuk malaria, Anopheles gambiae mosquitoes. Jenis ini adalah pembawa parasit malaria yang paling berbahaya.
Malaria setiap tahun membunuh lebih dari 600.000 orang di seluruh dunia. Korban terbesar adalah anak-anak yang hidup di kawasan Afrika Sub Sahara, menurut data Badan Kesehatan PBB (WHO).
rzn/ab (afp,dpa)