Rozina Islam ditangkap atas tuduhan pencurian dan menyimpan foto dokumen rahasia negara. Jurnalis Bangladesh itu tengah menyelidiki dana jutaan dolar yang dihabiskan untuk pengadaan alat medis selama pandemi.
Iklan
Pihak berwenang pada Selasa (18/05) mengatakan bahwa reporter investigasi Rozina Islam ditangkap atas tuduhan melanggar Undang-Undang Rahasia Resmi Bangladesh yang memungkinkannya mendapat vonis hukuman mati.
Islam merupakan reporter surat kabar harian Prothom Alo yang sedang berupaya membuat laporan investigasi untuk mengungkap dugaan korupsi yang melibatkan Kementerian Kesehatan Bangladesh.
Dia dituduh menggunakan ponselnya tanpa izin untuk memotret dokumen terkait negosiasi pemerintah untuk membeli vaksin virus corona. Islam dilaporkan telah mengambil foto-foto tersebut saat sedang menunggu di kantor pejabat yang bersangkutan.
'UU produk era kolonial yang perlu direformasi'
Islam ditahan selama lebih dari lima jam pada Senin (17/05) malam di ruang asisten pribadi sekretaris Kementerian Kesehatan, kata saudara perempuannya Sabina Parvina.
Keluarga Islam mengatakan dia dilecehkan secara fisik dan mental saat ditahan, sebelum diserahkan ke polisi. "Islam ditahan oleh para pejabat selama berjam-jam dan diganggu oleh mereka, yang sepenuhnya ilegal ... para pejabat harus dihukum atas pelecehan semacam itu," kata Miti Sanjana, pengacara yang berpraktik di Mahkamah Agung Bangladesh, kepada DW.
Sanjana mengatakan hukuman maksimum pelanggaran Undang-Undang Rahasia Resmi berkisar dari 14 tahun penjara hingga hukuman mati, jika terbukti bersalah. "Undang-undang ini adalah produk hukum era kolonial yang memberikan hukuman sangat keras dan perlu direformasi," katanya.
Jaminan Islam ditolak dan dimasukkan ke penjara usai sidang di pengadilan Dhaka pada Selasa (18/05), kata pengacara Ehsanul Haque Shomaji. Dia dijadwalkan menjalani sidang berikutnya pada Kamis (20/05).
Beberapa laporan Islam belum lama ini telah menarik perhatian internasional terkait dana jutaan dolar yang dihabiskan untuk pengadaan alat-alat medis selama pandemi virus corona.
"Sektor kesehatan Bangladesh menjadi sorotan sejak pandemi COVID-19 melanda negara itu tahun lalu. Rozina Islam telah menulis beberapa laporan tentang dugaan korupsi," kata Sharif kepada DW.
"Kami pikir laporannya telah mempermalukan beberapa orang yang berkuasa, dan dia menjadi korban kemarahan mereka," ucap Sharif.
Wartawan dan Kebebasan Pers
Sebuah studi mengungkap, situasi yang dihadapi wartawan masih buruk. Berikut negara-negara yang dianggap berbahaya buat awak pers.
Foto: AFP/Getty Images/P. Baz
"Setengah Bebas" di Indonesia
Di Asia Tenggara, cuma Filipina dan Indonesia saja yang mencatat perkembangan positif dan mendapat status "setengah bebas" dalam kebebasan pers. Namun begitu Indonesia tetap mendapat sorotan lantaran besarnya pengaruh politik terhadap media, serangan dan ancaman terhadap aktivis dan jurnalis di daerah, serta persekusi terhadap minoritas yang dilakukan oleh awak media sendiri.
Foto: picture-alliance/ dpa
Kebebasan Semu di Turki dan Ukraina
Pemberitaan berimbang, keamanan buat wartawan dan minimnya pengaruh negara atas media: Menurut Freedom House, tahun 2013 silam cuma satu dari enam manusia di dunia yang dapat hidup dalam situasi semacam itu. Angka tersebut adalah yang terendah sejak 1986. Di antara negara yang dianggap "tidak bebas" antara lain Turki dan Ukraina.
Foto: picture-alliance/AP Photo
Serangan Terhadap Kuli Tinta
Turki mencatat serangkain serangan terhadap wartawan. Gökhan Biçici (Gambar) misalnya ditangkap saat protes di lapangan Gezi. Menurut Komiter Perlindungan Jurnalis (CPJ), awal Desember lalu Turki memenjarakan 40 wartawan - jumlah tertinggi di seluruh dunia. Ancaman terbesar buat kebebasan pers adalah pengambil-alihan media-media nasional oleh perusahaan swasta yang dekat dengan pemerintah.
Foto: AFP/Getty Images
Celaka Mengintai buat Suara Kritis
Serangan terhadap jurnalis juga terjadi di Ukraina, terutama selama aksi protes di lapangan Maidan dan okupasi militan pro Rusia di Krimea. Salah satu korban adalah Tetiana Chornovol. Jurnalis perempuan yang kerap memberitakan gaya hidup mewah bekas Presiden Viktor Yanukovich itu dipukuli ketika sedang berkendara di jalan raya. Ia meyakini, Yanukovich adalah dalang di balik serangan tersebut.
Foto: Genya Savilov/AFP/Getty Images
"Berhentilah Berbohong!"
Situasi kritis juga dijumpai di Cina dan Rusia. Kedua pemerintah berupaya mempengaruhi pemberitaan media dan meracik undang-undang buat memberangus suara kritis di dunia maya. Rusia misalnya membredel kantor berita RIA Novosti dan menjadikannya media pemerintah. Sebagian kecil penduduk Rusia pun turun ke jalan, mengusung spanduk bertuliskan, "Berhentilah Berbohong!"
Foto: picture-alliance/dpa
Mata-mata dari Washington
Buat Amerika Serikat, mereka adalah negara dengan kebebasan pers. Namun kebijakan informasi Washington belakangan mulai menuai kecaman. Selain merahasiakan informasi resmi dengan alasan keamanan nasional, pemerintah AS juga kerap memaksa jurnalis membeberkan nara sumber, tulis sebuah studi. Selain itu dinas rahasia dalam negeri AS juga kedapatan menguping pembicaraan telepon seorang jurnalis.
Foto: picture-alliance/AP Photo
Terseret Kembali ke Era Mubarak
Setelah kejatuhan Presiden Mursi yang dianggap sebagai musuh kebebasan pers, situasi di Mesir pasca kudeta militer 2013 lalu terus memanas. Belasan jurnalis ditangkap, lima meninggal dunia "di tangan militer," tulis Freedom House. Media-media yang kebanyakan tunduk pada rejim militer Kairo membuat pemberitaan berimbang menjadi barang langka di Mesir.
Foto: AFP/Getty Images
Situasi di Mali Membaik
Mali mencatat perkembangan positif. Setelah pemilu kepresidenan dan operasi militer yang sukses menghalau pemberontak Islamis dari sebagian besar wilayah negara, banyak media yang tadinya dibredel kembali beroperasi. Kendati begitu perkembangan baru ini diwarnai oleh pembunuhan dua jurnalis asal Perancis, November 2913 silam.
Foto: AFP/Getty Images
Tren Positif di Kirgistan dan Nepal
Beberapa negara lain yang mengalami perbaikan dalam kebebasan pers adalah Kirgistan, di mana 2013 lalu tercatat lebih sedikit serangan terhadap jurnalis. Nepal yang juga berhasil mengurangi pengaruh politik terhadap media, tetap mencatat serangan dan ancaman terhadap awak pers. Loncatan terbesar dialami oleh Israel yang kini mendapat predikat "bebas" oleh Freedom House.
Foto: AFP/Getty Images
Terburuk di Asia Tengah
Freedom House menggelar studi di 197 negara. Setelah melalui proses penilaian, lembaga bentukan bekas ibu negara AS Eleanor Roosevelt itu memberikan status "bebas", "setengah bebas" dan "tidak bebas" buat masing-masing negara. Peringkat paling bawah didiami oleh Turkmenistan, Uzbekistan dan Belarusia. Sementara peringkat terbaik dimiliki oleh Belanda, Norwegia dan Swedia.
Foto: picture-alliance/dpa
10 foto1 | 10
Apa yang dimaksud dengan Undang-Undang Rahasia Resmi?
Undang-Undang Rahasia Resmi Bangladesh melarang pengambilan foto dokumen penting negara tanpa izin sebelumnya. Maidul Islam Prodhan, juru bicara Kementerian Kesehatan, mengatakan Islam mengambil foto dari dokumen "penting."
"Dia juga mengambil beberapa dokumen,'' katanya.
Pengacara yang berbasis di Dhaka, Ishrat Hasan, mengatakan Islam tidak boleh dihukum karena menjalankan tugasnya sebagai jurnalis dan bahwa tindakan yang dituduhkannya tidak menimbulkan ancaman nasional.
"Dokumen non-disclosure yang tampak digambarkan masih berupa draft dan belum ditandatangani. Selain itu, tidak ada klaim komunikasi dengan musuh atau agen asing, dan dokumen tidak secara langsung atau tidak langsung berguna bagi musuh mana pun," katanya kepada DW.
Aktivis dan jurnalis serukan kebebasan Islam
Ratusan jurnalis lokal menuntut pembebasan segera jurnalis tersebut. Komite Internasional untuk Perlindungan Jurnalis juga menyerukan pembebasannya. "Rozina Islam telah bekerja sebagai reporter investigasi selama bertahun-tahun. Saya pikir dia dijebak oleh orang-orang yang ingin menghentikannya agar tidak melapor secara independen," kata Farida Yasmin, Presiden Klub Pers Bangladesh, kepada DW.
"Kami menuntut pembebasannya segera dari penjara, dan mereka yang melecehkannya harus diadili," katanya. Kelompok hak asasi manusia mengatakan tindakan keras pemerintah terhadap media telah meningkat selama krisis virus corona di Bangladesh. (ha/pkp)