Konferensi Asia Afrika 1955 dukung hak bagi setiap bangsa untuk merdeka, anti-kekerasan dan musyawarah dalam mencapai kesepakatan. Apakah hal ini sudah kita rasakan kini? Opini Nadya Karima Melati.
Iklan
Jika saja pasukan merah dari USSR tidak menghabisi fasisme di Jerman, maka tidak ada lagi yang mampu menyelamatkan sosial-demokrasi dari Jerman dan seluruh daratan Eropa. Sejak berakhirnya perang dunia kedua dan kalahnya fasisme Hitler di Jerman, politik dunia menjadi lebih semarak. Ide tentang nasionalisme dan anti-kolonialisme menyebar seperti cendawan di musim hujan.
Istilah negara dunia pertama, kedua dan ketiga yang sering diadopsi oleh banyak orang pada hari ini bersumber pada kejadian-kejadian pasca perang dunia kedua dan selama perang dingin berlangsung.
Polarisasi kekuatan terbentuk dari dunia pertama, kubu Amerika pemenang perang dunia kedua dan sekutunya yang dicirikan oleh ideologi "kapitalisme Barat” dan dunia kedua yang berhasil menyebarkan ide ke seluruh dunia tentang gerakan massa dan keadilan ekonomi-sosial dilandasi ideologi "komunisme-sosialisme” oleh Uni Soviet Rusia yang juga berhasil menghancurkan fasisme Hitler.
Dunia ketiga adalah kekuatan politik baru yang sedang mencari bentuk akibat dari meletusnya gelombang revolusi anti-kolonialisme di berbagai wilayah berbasis teritorial. Sebut saja Indonesia, India, Mesir, Myanmar, Sri Lanka dan kawan-kawan yang nanti akan bergabung untuk menunjukan dirinya hadir dalam konstetasi politik global melalui konferensi Asia-Afrika pada April 1955.
Bandung di Jantung Politik Dunia
Konferensi Asia Afrika 1955 menempatkan Bandung sebagai episentrum kekuatan politik negara berkembang. Pertemuan itu juga digunakan berbagai negara untuk mengusung agenda pribadi, termasuk untuk menolak negara Malaysia.
Foto: National Archives of the Republic of Indonesia
Episentrum Politik Dunia
Sebanyak 29 negara yang baru atau belum merdeka mencoba membebaskan diri dari himpitan neokolonialisme dengan berkumpul di Bandung. Setidaknya pada tanggal 18 April 1955, kota tersebut menjadi pusat episentrum kekuatan politik negara-negara berkembang yang muak dengan tekanan Perang Dingin.
Netralitas di Tengah Perang Dingin
Konfrensi Asia Afrika di Bandung diikuti oleh 23 negara Asia dan enam negara Afrika yang mewakili separuh penduduk Bumi. Saat itu Perang Dingin antara Uni Sovyet dan Amerika Serikat sedang memuncak. Konferensi di Bandung nantinya menjadi batu loncatan bagi terbentuknya kelompok negara-negara Non Blok.
Foto: National Archives of the Republic of Indonesia
Kepiawaian Nasser
Konferensi yang disiapkan oleh Ruslan Abdulgani itu antara lain dihadiri oleh Presiden Mesir, Gamal Abdul Nasser (3 dr. Ki.) dan pangeran Faisal Ibn Abdul Azis yang kemudian menjadi raja Arab Saudi (2 dr. Ki.) Terutama Nasser menjadi figur utama dalam konfrensi di Bandung. Ia antara lain berhasil membujuk negara lain mendukung kemerdekaan Tunisa, Aljazair dan Maroko dari penjajahan Perancis.
Foto: National Archives of the Republic of Indonesia
Misi Zhou
Perdana Menteri Cina, Zhou En Lai adalah nama mentereng lain yang hadir di Bandung. Zhou sempat selamat dari percobaan pembunuhan sesaat sebelum bertolak ke Indonesia. Di konfrensi Asia-Afrika pemimpin Cina itu memiliki misi besar, yakni memperkuat posisi Cina di dunia internasional dan mengisolasi Taiwan.
Foto: National Archives of the Republic of Indonesia
Loyalitas Tionghoa
PM Cina Zhou, tampak berbicara dengan Mufti Palestina Amin al Husaini, juga menandatangani deklarasi yang menyerukan kepada warga Tionghoa di luar negeri agar menyatakan loyalitas terhadap negara tempat tinggal dan bukan kepada Cina. Point tersebut adalah isu sensitif buat Indonesia dan beberapa negara lain yang hadir dalam konferensi.
Foto: National Archives of the Republic of Indonesia
Papua di Tangan Sukarno
Serupa kepala negara lain, Sukarno memanfaatkan Konferensi Asia Afrika buat mendorong agenda sendiri. Ia misalnya sukses memasukkan butir penolakan terhadap pembentukan negara Malaysia oleh Inggris dan membetoni klaim Indonesia atas Papua Barat.
Foto: Getty Images
Lima Menentang Adidaya
Kendati kemudian menghilang, Konferensi Asia-Afrika membuka jalan bagi terbentuknya Gerakan Non Blok yang digalang oleh Sukarno, Gamal Abdul Nasser, PM India Jawaharlal Nehru, Presiden Ghana Kwame Nkrumah dan Presiden Yugoslavia, Josip Broz Tito. Kelima negarawan sepakat menerapkan konsep "netralitas positif" untuk menghindari himpitan dua adidaya, Uni Sovyet dan Amerika Serikat.
Foto: National Archives of the Republic of Indonesia
7 foto1 | 7
Kondisi Dalam Negeri sebelum Konferensi
Sebuah konferensi tidak berlangsung satu-dua hari lalu selesai tandatangan seperti ketika Soekarno-Hatta menyatakan kemerdekaan Indonesia melalui proklamasi lalu tiba-tiba seluruh bagian dari Indonesia merdeka.
Dalam setiap perjuangan baik deklarasi kesepakatan atau penandatanganan ada proses yang berlangsung secara terus menerus. Kemerdekaan Indonesia setelah proklamasi 1945 baru diakui oleh Belanda pada tahun 1949 setelah melalui rangkaian diplomasi dan perjuangan terus menerus. Indonesia yang saat itu baru saja lepas dari bentuk Republik Indonesia Serikat (RIS) menghadapi beberapa masalah internal yang membutuhkan keputusan bijak. Di mana keputusan bijak untuk menyelesaikan masalah internal tersebut sangat dipengaruhi oleh kekuatan luar dari negara ‘seumur jagung ini'.
Permasalahan-permasalahan internal pertama adalah isu kedaulatan teritorial seperti Irian Barat, negara-negara bagian yang belum menyatakan bergabung dengan RI. Kedua, ekonomi morat-marit yang terjadi akibat pemberlakuan mata uang baru yang menyebabkan gesekan antara pusat dan daerah yang menuntut desentralisasi atau menentang pemerintahan pusat sama sekali, isu nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda yang diwarisi oleh orang Cina (kala itu orang Cina masih dwikewarganegaraan) memantik kesenjangan ekonomi yang memicu isu rasisme. Ketiga upaya profesionalisasi Tentara Nasional Indonesia yang berupa pengurangan jumlah anggota dan upaya untuk terlibat dalam politik nasional.
Sedangkan dalam tingkat global, pengakuan Republik Indonesia sebagai wilayah baru yang berdaulat secara teritorial dan ekonomi dipertaruhkan. Perang dingin yang menjadi latar global memicu kekuatan alternatif untuk berdaya. Amerika sempat mengundang perdana menteri Amir Syariffudin dalam pertemuan di Kolombo bersama-sama dengan Myanmar, Pakistan, Sri Langka dan India untuk menjadi bagian aliansi militer Amerika Serikat bersama dengan Thailand dan Filipina. Ide tersebut ditolak oleh perwakilan negara-negara. Di sisi lain, Uni Soviet Rusia yang telah menyatakan dukungan dan pengakuan terhadap Indonesia baik di PBB dan secara langsung. Walau begitu Republik Indonesia berada dalam ketetapannya untuk tidak memihak negara-negara adikuasa.
Setidaknya ada 25 negara-negara baru di Asia-Afrika yang diundang dengan semangat awal yang sama: menentang kolonialisme, imperialisme dan rasaisme. yakni Afghanistan, Kamboja, Arab Saudi, Republik Rakyat Tiongkok, Irak, Iran, Laos, Lebanon, Yordania, Liberia, Mesir, Vietnam Selatan, Vietnam Utara, Suriah, Turki, Thailand, Yordania, Sudan Nepal dan Jepang. Negara-negara tersebut banyak berhaluan sosialis dan nasionalis dan yag menjadi janggal adalah keberadaan Jepang yang jelas-jelas tergabung dalam kekuatan negara dunia pertama. Jepang berdalih, keberadaannya merupakan representasi dari semangat Asia Pasifik.
Perang Diplomasi demi Kemerdekaan Indonesia
Tanpa diplomasi Sjahrir dan tekanan internasional, Belanda masih akan bercokol di Indonesia, kendati proklamasi 45. Inilah empat tahun bersejarah yang dipenuhi intrik politik, pengkhianatan dan agresi milliter Belanda
Foto: picture-alliance/ANP
Kapitulasi Jepang, September 1945
12 Agustus 45, tiga hari setelah bom atom menghancurkan Nagasaki, Panglima Militer Jepang, Jendral Terauchi Hisaichi mengundang Soekarno dan Radjiman Wedyodiningrat ke Da Lat, Vietnam. Kepada keduanya Hisaichi mengindikasikan Jepang akan menyerah kepada sekutu dan membiarkan proklamasi kemerdekaan RI. Baru pada 2 September Jepang secara resmi menyatakan kapitulasi di atas kapal USS Missouri.
Foto: picture-alliance/dpa/United States Library Of Congres
Proklamasi, Agustus 1945
Setibanya di Jakarta, Soekarno diculik oleh pemuda PETA ke Rengasdengklok. Di sana ia dipaksa mengumumkan kemerdekaan tanpa Jepang. Malam harinya Soekarno menyambangi Mayjen Nishimura Otoshi. Kendati tidak mendukung, Nishimura menawarkan rumahnya untuk dipakai merumuskan naskah proklamasi. Keesokan hari Soekarno dan Hatta mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia di Jl. Pegangsaan Timur No. 56
Foto: picture alliance/CPA Media
Kabinet Sjahrir I, November 1945
Soekarno dan Hatta diangkat sebagai presiden dan wakil presiden Indonesia. Keduanya memerintahkan Sutan Sjahrir, diplomat ulung yang kemudian menjadi perdana menteri pertama, buat mencari pengakuan internasional. Tugas Sjahrir adalah mempersiapkan Indonesia menghadapi pertemuan Linggarjati. Pidatonya yang legendaris di sidang umum PBB 1947 hingga kini masih tercatat sebagai momen paling menentukan
Foto: picture alliance/United Archives/WHA
Perundingan Linggarjati, November 1946
Dalam pertemuan yang dimediasi Inggris, Belanda mengakui kedaulatan Indonesia di Jawa, Madura dan Sumatera. Tapi Belanda nyaris bangkrut dan berniat mengamankan akses ke sumber daya alam Indonesia. Sjahrir yang ingin menghindari perang sempat menyetujui pemerintahan transisi di bawah kepemimpinan Belanda. Idenya ditolak Sukarno, dan Sjahrir harus mundur sebulan setelah penadatanganan perjanjian.
Foto: Public Domain
Agresi Militer I, Juli 1947
Akibatnya Belanda menyerbu Sumatera dan Jawa demi merebut sumber daya alam dan lahan pertanian. Apa yang oleh Indonesia disebut sebagai Agresi Militer, dinamakan Belanda "misi kepolisian" untuk menghindari campur tangan internasional. Parlemen Belanda awalnya menginginkan perluasan agresi buat merebut ibukota Yogyakarta, tapi ancaman sanksi PBB membuat Den Haag menarik pasukannya dari Indonesia.
Foto: picture alliance/Everett Collection
Perjanjian Renville, Desember 1947
Di atas kapal USS Renville, Indonesia berhasil memaksakan gencatan senjata, tapi kehilangan sebagian wilayahnya. Belanda cuma mengakui kedaulatan RI di Jawa tengah, Yogyakarta, dan Sumatera, serta meminta TNI menarik pasukannya dari wilayah pendudukan. Belanda kala itu sedang menunggu pemilu legislatif. Pemerintahan yang baru kemudian mengambil kebijakan yang lebih keras terhadap Indonesia.
Foto: Publilc Domain
Agresi Militer II, Desember 1948
Belanda memanfaatkan masa liburan natal PBB buat menggelar Agresi Militer II. 80.000 pasukan diterjunkan. Soekarno, Hatta dan Sjahrir ditangkap. Akibatnya Sjafruddin Prawiranegara diperintahkan membentuk pemerintahan darurat. Uniknya operasi militer di Indonesia didukung 60% penduduk Belanda. Sembilan hari setelah dimulainya agresi, PBB menelurkan dua resolusi yang menentang serangan Belanda
Foto: Getty Images/Keystone
Konferensi Meja Bundar, Agustus 1949
Setelah menjalin kesepakatan dalam perjanjian Roem Roijen, Indonesia dan Belanda sepakat bertemu di Den Haag atas desakan internasional. Belanda bersedia menarik mundur pasukan dan mengakui kedaulatan RI di semua kepulauan, kecuali Papua barat. Sebagai gantinya Indonesia harus membayar sebagian utang pemerintahan kolonial, termasuk yang dipakai untuk agresi militer selama perang kemerdekaan.
Foto: Getty Images/Keystone
Penyerahan Kedaulatan, Desember 1949
Ratu Juliana menandatangani akta penyerahan kedaulatan kepada RI di Amsterdam pada 27. Dezember 1949. Setelah kemerdekaan, Indonesia tenggelam dalam revolusi buat mengamankan kesatuan republik. Sementara Belanda menghadapi tekanan internasional. Sikap Den Haag soal Indonesia dan Papua bahkan nyaris membatalkan keanggotaan Belanda di NATO, yang kala itu mendukung kemerdekaan Indonesia.
Konferensi Asia-Afrika April 1955 ini sering kali disebut juga konferensi Bandung adalah puncak dari pertemuan sebelumnya yang dilaksanakan di Bogor pada Desember 1954. Pada konferensi di Bogor, diputuskan rekomendasi yakni diselenggarakannya konfrensi bulan April 1954 di Bandung, menetapkan kelima negara insiator: Indonesia, Myanmar, India, Pakistan dan Sri Lanka sebagai negara sponsor, menentukan 25 negara yang akan diundang, dan menentukan empat tujuan pokok dalam konfrensi.
Nasionalisme berciri anti-imperialisme dan penjajahan menjadi tema utama dalam konferensi. Keberpihakan kepada negara-negara yang ingin merdeka dan pengakuan kepada negara-negara baru merdeka. Para negara sponsor, Indonesia baru mendapatkan pengakuan kemerdekaannya tahun 1949, India yang menyatakan lepas dari Inggris tahun 1947 dan Sri Lanka merdeka tahun 1948 dan konferensi ini menandakan wibawa dan kecakapan pemerintahan negara baru dalam berelasi dan bersolidaritas dengan sesama.
Akar dari nasionalisme adalah kebangkitan kesadaran massa yang lebih mirip dengan gerakan massa untuk menghapuskan ekspoitasi tenaga kerja dari pada buruh pabrik dan tani. Bebeda dengan sosialisme atau komunisme yang jelas menghapus kesenjangan dengan elite tanpa terikat ras dan teritorial, nasionalisme adalah sebuah konsep yang menyertakan kedua unsur tersebut.
Republik di Ujung Bedil Kolonialisme
Negara ini lahir dari perjuangan dan pengorbanan. Menjelang akhir perang pun Indonesia bahkan masih menghadapi serbuan sekutu. Simak perjalanan panjang nusantara hingga merengkuh kedaulatannya.
Foto: public domain
Dari Portugis ke VOC
Awal abad ke 16 Portugis memasuki nusantara, berdagang dan mencoba menguasainya. Rakyat di beberapa wilayah melakukan perlawanan. Awal abad ke-17 giliran perusahaan Belanda, VOC yang mencari peruntungan di nusantara. Nusantarapun jatuh ke tangan Belanda, sempat direbutkan Perancis dan Inggris, lalu kembali dalam genggaman negeri kincir angin itu.
Foto: public domain
Pecah belah dan jajahlah
Untuk menguasai nusantara, Belanda memanfaatkan persaingan di antara kerajaan-kerajaan kecil. Berbagai pertempuran terjadi di bumi nusantara. Di Jawa, Perang Diponegoro (1825-1830) menjadi salah satu pertempuran terbesar yang pernah dialami Belanda selama pendudukannya di bumi Nusantara. Jendral de Kock memanfaatkan suku-suku lain berusaha menaklukan Jawa di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro.
Foto: public domain
Pengorbanan darah dan nyawa
Wilayah-wilayah di luar Jawa pun tak ketinggalan mengalami berbagai pertempuran sengit. Salah satunya pertempuran di Bali tahun 1846 yang tergambar dalam lukisan ini, dimana Belanda mengerahkan batalyonnya dalam upaya menaklukan pulau Dewata tersebut.
Foto: public domain
Bersatu melawan penjajahan
Perhimpoenan Peladjar-Peladjar Indonesia didirikan September 1926 oleh para mahasiswa. Organisasi ini bermaksud untuk menyatukan organisasi –organisasi pemuda yang tadinya terpecah-pecah dan dari berbagai perguruan tinggi seperti Stovia dan THS dan RHS. Perhimbunan besar ini memiliki pemikiran bahwa persatuan Indonesia merupakan senjata paling ampuh dalam melawan penjajahan.
Foto: public domain
Dijajah saudara tua
Dalam perang dunia ke-2, Jepang memerangi Tiongkok dan mulai menaklukan Asia Tenggara, termasuk Indonesia tahun 1941. Peperangan juga terjadi di berbagai belahan dunia. Ketika Jepang kalah dalam PD II, tokoh nasional merencanakan kemerdekaan Indonesia.
Foto: Imago
Teks bersejarah bagi bangsa Indonesia
Teks Proklamasi dipersiapkan. Dirumuskan oleh Tadashi Maeda, Mohammad Hatta, Soekarno, dan Achmad Soebardjo, dll. Teks tersebut digubah oleh Mohammad Hatta dan RM. Achmad Soebardjo Djodjodisoerjo dan ditulis tangan oleh Soekarno. Teks Proklamasi yang telah mengalami perubahan, yang dikenal dengan sebutan naskah "Proklamasi Otentik", diketik Sayuti Melik.
Foto: public domain
Proklamasi di Pegangsaan
Dengan didampingi Drs. Mohammad Hatta, Ir. Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945. Pembacaan naskah proklamasi dilakukan di Jalan Pegangsaan Timur no 56. Jakarta, pada pukul 10.00 pagi.
Foto: public domain
Sang Saka Merah Putih berkibar
Sesaat setelah teks proklamasi diumumkan, bendera Sang Saka Merah Putih pun di kibarkan di halaman Pegangsaan Timur 56. Bendera bersejarah ini dijahit oleh istri Bung Karno, Fatmawati Soekarno. Kini tiap tanggal 17 Agustus, bendera Merah Putih berkibar dan menjadi bagian dari peringatan detik-detik kemerdekaanj Indonesia.
Foto: public domain
Dari Sabang sampai Merauke
Perang terus berkobar. 10 November 1945 di Surabaya, rakyat melawan sekutu. Di penghujung tahun yang sama, sekutu menyerbu Medan. Hampir semua wilayah Sumatera, berperang melawan Jepang, sekutu dan Belanda. Mulai dari Sulawesi, Jawa, Kalimantan, Nusa Tenggara, hingga Papua, para pejuang mengorbankan nyawa demi mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamirkan.
Foto: picture alliance/Everett Collection
Perjanjian Renville
Peperangan terus berkobar di berbagai wilayah di tanah air. berbagai diplomasi digelar. Perjanjian Renville disepakati Januari 1948, di atas kapal Amerika, USS Renville yang berlabuh di Tanjung Priok. Indonesia diwakili PM. Amir Syarifuddin. Saat itu, dissetujui garis demarkasi yang memisahkan wilayah Indonesia dengan wilayah pendudukan Belanda.
Foto: en.wikipedia.org/Indonesia/Public Domain
Penyerahan kedaulatan
Tak semua mematuhi perjanjian Renville. Perlawanan terhadap Belanda terus berlanjut. Politik Indonesia terus bergejolak. usaha Belanda meredam kemerdekaan Indonesia dikecam masyarakat internasional. Akhirnya penyerahan kedaulatan Indonesia dtandatangani di Belanda, tanggal 27 Desember 1949. Tampak pada gambar, Ratu Belanda, Juliana tengah menandatangani dokumen tersebut.
Foto: public domain
Peta Hindia Belanda dan sekitarnya
Peta Pinkerton untuk Hindia Timur: Mencakup dari Burma selatan ke Jawa, dari Andaman ke Filipina & New Guinea. Peta ini mencatat kota-kota, rawa-rawa, pegunungan, dan sistem sungai. Digambar oleh L. Herbert dan digravir oleh Samuel Neele di bawah arahan John Pinkerton. Sumber gambar: Pinkerton’s Modern Atlas, yang diterbitkan oleh Thomas Dobson & Co di Philadelphia pada tahun 1818.
Foto: public domain
Mencari makna kemerdekaan
Kini lebih dari 70 tahun merdeka, Indonesia memasuki tantangan baru: Memerdekaan diri dari berbagai belenggu penjajahan atas hak asasi manusia,pola pikir dan berekspresi serta memperjuangkan demokrasi.
Foto: picture-alliance/dpa/D. Husni
13 foto1 | 13
Seperti dikutip dalam Politik Luar-Negeri Indonesia (1983) oleh Michael Leifer bahwa Muhammad Hatta dalam jurnal Foreign Affairs pada tahun 1953 menyanggah pendapat tidak adanya posisi alternatif dalam perang dingin. Situasi geopolitik Indonesia tidak mengandung suatu keharusan untuk membuat pilihan di antara blok besar. Kebijaksanaan ini disebut "bebas” dan untuk menandainya dikeluarkan istilah "aktif”. Kata aktif yang dibubuhkan setelahnya berada dalam konteks perang dingin dan semangat membuat poros alternatif yang anti-kolonialisme dan menghapuskan ketegangan dunia menghadapi perang dingin yang dipenuhi ancaman perang nuklir.
Pihak negara Barat tentu menyangsikan konferensi tersebut sedangkan negara-negara sosialis menyambutnya dengan tanggapan yang positif. Karena nasionalisme dan kemerdekaan berbasis dari ide sosialisme, gerakan massa yang berupaya untuk menghapuskan kelas penindas dan tertindas yang berdasarkan teritorial dan ras. Dukungan kepada negara-negara untuk lepas dari penjajahan dalam konferensi ini (harusnya) menjadi semangat politik Indonesia sampai hari ini.
Buah dari konferensi yang berlangsung selama 18-22 April 1955 tertuang dalam Dasasila Bandung yang mendukung penghapusan kolonialisme dan hak bagi setiap bangsa untuk merdeka, anti-kekerasan dan musyawarah dalam mencapai kesepakatan. Dasasila Bandung diadaptasi oleh negara-negara baru merdeka sebagai haluan politik luar negeri mereka guna mendapatkan pengakuan dari wilayah tetangga.
Konferensi tersebut juga membuka kerjasama ekonomi dengan negara-negara lain. Khususnya dengan Republik Rakyat Tiongkok, konferensi ini membuka kesepakatan kebijakan rasial yang juga sedang memanas di wilayah Republik Indonesia, yakni tentang pengakuan orang-orang Tionghoa sebagai bagian dari Indonesia dengan penghapusan dwikenegaraaan.
Hal yang sama terulang di Indonesia
Kini ideologi dunia didominasi oleh Kapitalisme Barat dan Islam Teroris, runtuhnya Uni Soviet Rusia membuat dua kubu ini saling berbenturan dan tidak ada kekuatan ketiga sebagai penyeimbang. Hal yang sama terulang di Indonesia, gerakan kiri yang habis pelan-pelan dimulai dari pemerintahan Orde Lama yang membubarkan Partai Sosialis Indonesia dan kemudian pelarangan Partai Komunis Indonesia di masa Orde Baru. Kini, parta-partai di Indonesia cuma tersedia dua ideologi Islami dan Nasionalisme yang berpihak pada kapitalisme global. Atau lebih parah, campuran keduanya.
Kehancuran gerakan kiri juga membuat terbuka seluas-luasnya kapitalisme Barat yang diwakili oleh pasar bebas. Kerjasama antar regional sering dititik beratkan kepada kerjasama ekonomi, bukan pada penyelesaian konflik dan keadilan bagi penduduk.
Peringatan konferensi Asia-Afrika yang menyumbangkan nama Indonesia ke sejarah dunia selebrasi dan ajang ujuk muka untuk mengundang investor datang. Penduduk, diukur dari kemampuannya berkonsumsi dan tidak dilihat sebagai warga negara yang mempunyai hak-hak untuk dipenuhi seperti hak-hak untuk merdeka, bebas dari prasangka rasis dan keadilan sosial.
Penulis: Nadya Karima (ap/vlz)
Essais dan pengamat masalah sosial.
@Nadyazura
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis
70 Tahun Kemerdekaan Indonesia di Berlin
Indonesia tonjolkan diri sebagai negara berpopulasi mayoritas Muslim demokratis terbesar sedunia, dimana Islam dan demokrasi bisa bergandengan tangan. Dubes Fauzi Bowo juga tegaskan arti strategis Indonesia bagi Jerman.
Foto: DW/A. Setiawan
Disambut Generasi Muda
Perwakilan diplomatik di Berlin menghadiri resepsi diplomatik menyambut 70 tahun kemerdekaan Indonesia di Hotel Adlon Kempinski di sebelah Gerbang Brandenburg yang legendaris. Sebagai simbol harapan dan perspektif masa depan, para tamu undangan disambut generasi muda Indonesia di Jerman yang tergabung dalam Paskibra.
Foto: DW/A. Setiawan
Dalam Tradisi
Di sisi lain, gamelan sebagai musik tradisi Indonesia juga menyambut tamu internasional. Sebagai simbol kekayaan seni dan budaya yang sudah berakar berabad-abad di bumi Indonesia.
Foto: DW/A. Setiawan
Nasi Tumpeng
Juga tidak pernah ketinggalan dalam setiap acara resmi: Nasi tumpeng juga hadir dalam acara 70 tahun kemerdekaan Indonesia di Berlin. Sebuah simbol dari tradisi dan harapan kemakmuran kecukupan pangan bagi semua.
Foto: DW/A. Setiawan
Perwakilan Diplomatik
Indonesia tunjukkan diri sebagai negara yang dipandang penting dalam percaturan politik dunia, tercermin dari kehadiran ratusan diplomat dalam acara perayaan 70 tahun kemerdekaan. Jerman diwakili oleh Prof.Dr. Maria Böhmer, Menteri Negara di kementrian luar negeri yang jabatannya tertinggi kedua setelah menlu.
Foto: DW/A. Setiawan
Dubes Dorong Kerjasama Bilateral
Duta besar Indonesia untuk Jerman, Dr.-Ing.Fauzi Bowo dalam pidatonya mengajak Jerman untuk terus meningkatkan kerjasama bilateral sesuai Deklarasi Jakarta 2012. Sektor kerjasama meliputi politik, ekonomi, teknologi, energi, bahan pangan dan pertahanan. Jerman dan Indonesia punya posisi yang mirip sebagai negara paling berpengaruh di kawasan
Foto: DW/A. Setiawan
Lambang Kooperasi
Musikus pemain biola Iskandar Widjaja melambangkan kooperasi kedua negara, bukan hanya lewat darah Jerman-Indonesia yang mengalir dalam tubuhnya, tapi juga lewat perpaduan budaya, teknologi serta edukasi. Selain memainkan karya J.S Bach, Chaconne from Partita no.2 in D Minor, Iskandar juga memainkan Medley Indonesia Pusaka dan Tanah Airku lewat biolanya.
Foto: DW/A. Setiawan
Potong Tumpeng Simbol Kerjasama
Sebagai simbol tradisi, dilakukan acara memotong nasi tumpeng yang diserahkan kepada tamu terpenting, Prof.Dr. Maria Böhmer, menteri negara di kementrian luar negeri yang merupakan pejabat tertinggi setelah menlu. Acara ini juga melambangkan harapan kerjasama bilateral yang makin erat di antara kedua negara.