1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Semangat Merdeka dalam Konferensi Asia-Afrika

17 April 2018

Konferensi Asia Afrika 1955 dukung hak bagi setiap bangsa untuk merdeka, anti-kekerasan dan musyawarah dalam mencapai kesepakatan. Apakah hal ini sudah kita rasakan kini? Opini Nadya Karima Melati.

Indonesien Bandung Asien-Afrika Konferenz 1955

Jika saja pasukan merah dari USSR tidak menghabisi fasisme di Jerman, maka tidak ada lagi yang mampu menyelamatkan sosial-demokrasi dari Jerman dan seluruh daratan Eropa. Sejak berakhirnya perang dunia kedua dan kalahnya fasisme Hitler di Jerman, politik dunia menjadi lebih semarak. Ide tentang nasionalisme dan anti-kolonialisme menyebar seperti cendawan di musim hujan.

Istilah negara dunia pertama, kedua dan ketiga yang sering diadopsi oleh banyak orang pada hari ini bersumber pada kejadian-kejadian pasca perang dunia kedua dan selama perang dingin berlangsung. 

Penulis: Nadya Karima Melati Foto: N. K. Melati

Polarisasi kekuatan terbentuk dari dunia pertama, kubu Amerika pemenang perang dunia kedua dan sekutunya yang dicirikan oleh ideologi "kapitalisme Barat” dan dunia kedua yang berhasil menyebarkan ide ke seluruh dunia tentang gerakan massa dan keadilan ekonomi-sosial dilandasi ideologi "komunisme-sosialisme” oleh Uni Soviet Rusia yang juga berhasil menghancurkan fasisme Hitler.

Dunia ketiga adalah kekuatan politik baru yang sedang mencari bentuk akibat dari meletusnya gelombang revolusi anti-kolonialisme di berbagai wilayah berbasis teritorial. Sebut saja Indonesia, India, Mesir, Myanmar, Sri Lanka dan kawan-kawan yang nanti akan bergabung untuk menunjukan dirinya hadir dalam konstetasi politik global melalui konferensi Asia-Afrika pada April 1955.

Kondisi Dalam Negeri sebelum Konferensi

Sebuah konferensi tidak berlangsung satu-dua hari lalu selesai tandatangan seperti ketika Soekarno-Hatta menyatakan kemerdekaan Indonesia melalui proklamasi lalu tiba-tiba seluruh bagian dari Indonesia merdeka.

Dalam setiap perjuangan baik deklarasi kesepakatan atau penandatanganan ada proses yang berlangsung secara terus menerus. Kemerdekaan Indonesia setelah proklamasi 1945 baru diakui oleh Belanda pada tahun 1949 setelah melalui rangkaian diplomasi dan perjuangan terus menerus. Indonesia yang saat itu baru saja lepas dari bentuk Republik Indonesia Serikat (RIS) menghadapi beberapa masalah internal yang membutuhkan keputusan bijak. Di mana keputusan bijak untuk menyelesaikan masalah internal tersebut sangat dipengaruhi oleh kekuatan luar dari negara ‘seumur jagung ini'.

Permasalahan-permasalahan internal pertama adalah isu kedaulatan teritorial seperti Irian Barat, negara-negara bagian yang belum menyatakan bergabung dengan RI. Kedua, ekonomi morat-marit yang terjadi akibat pemberlakuan mata uang baru yang menyebabkan gesekan antara pusat dan daerah yang menuntut desentralisasi atau menentang pemerintahan pusat sama sekali, isu nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda yang diwarisi oleh orang Cina (kala itu orang Cina masih dwikewarganegaraan) memantik kesenjangan ekonomi yang memicu isu rasisme. Ketiga upaya profesionalisasi Tentara Nasional Indonesia yang berupa pengurangan jumlah anggota dan upaya untuk terlibat dalam politik nasional.

Sedangkan dalam tingkat global, pengakuan Republik Indonesia sebagai wilayah baru yang berdaulat secara teritorial dan ekonomi dipertaruhkan. Perang dingin yang menjadi latar global memicu kekuatan alternatif untuk berdaya. Amerika sempat mengundang perdana menteri Amir Syariffudin dalam pertemuan di Kolombo bersama-sama dengan Myanmar, Pakistan, Sri Langka dan India untuk menjadi bagian aliansi militer Amerika Serikat bersama dengan Thailand dan Filipina. Ide tersebut ditolak oleh perwakilan negara-negara. Di sisi lain, Uni Soviet Rusia yang telah menyatakan dukungan dan pengakuan terhadap Indonesia baik di PBB dan secara langsung. Walau begitu Republik Indonesia berada dalam ketetapannya untuk tidak memihak negara-negara adikuasa.

Setidaknya ada 25 negara-negara baru di Asia-Afrika yang diundang dengan semangat awal yang sama: menentang kolonialisme, imperialisme dan rasaisme. yakni Afghanistan, Kamboja, Arab Saudi, Republik Rakyat Tiongkok, Irak, Iran, Laos, Lebanon, Yordania, Liberia, Mesir, Vietnam Selatan, Vietnam Utara, Suriah, Turki, Thailand, Yordania, Sudan Nepal dan Jepang. Negara-negara tersebut banyak berhaluan sosialis dan nasionalis dan yag menjadi janggal adalah keberadaan Jepang yang jelas-jelas tergabung dalam kekuatan negara dunia pertama. Jepang berdalih, keberadaannya merupakan representasi dari semangat Asia Pasifik.

Baca juga:

Pidato Kritik PBB, Presiden Jokowi Dapat Tepuk Tangan di KAA

Presiden Jokowi Ingatkan Semangat Solidaritas Asia Afrika

Bebas-Aktif bukan Netral

Konferensi Asia-Afrika April 1955 ini sering kali disebut juga konferensi Bandung adalah puncak dari pertemuan sebelumnya yang dilaksanakan di Bogor pada Desember 1954. Pada konferensi di Bogor, diputuskan rekomendasi yakni diselenggarakannya konfrensi bulan April 1954 di Bandung, menetapkan kelima negara insiator: Indonesia, Myanmar, India, Pakistan dan Sri Lanka sebagai negara sponsor, menentukan 25 negara yang akan diundang, dan menentukan empat tujuan pokok dalam konfrensi.

Nasionalisme berciri anti-imperialisme dan penjajahan menjadi tema utama dalam konferensi. Keberpihakan kepada negara-negara yang ingin merdeka dan pengakuan kepada negara-negara baru merdeka. Para negara sponsor, Indonesia baru mendapatkan pengakuan kemerdekaannya tahun 1949, India yang menyatakan lepas dari Inggris tahun 1947 dan Sri Lanka merdeka tahun 1948 dan konferensi ini menandakan wibawa dan  kecakapan pemerintahan negara baru dalam berelasi dan bersolidaritas dengan sesama.

Akar dari nasionalisme adalah kebangkitan kesadaran massa yang lebih mirip dengan gerakan massa untuk menghapuskan ekspoitasi tenaga kerja dari pada buruh pabrik dan tani. Bebeda dengan sosialisme atau komunisme yang jelas menghapus kesenjangan dengan elite tanpa terikat ras dan teritorial, nasionalisme adalah sebuah konsep yang menyertakan kedua unsur tersebut. 

Seperti dikutip dalam Politik Luar-Negeri Indonesia (1983) oleh Michael Leifer bahwa Muhammad Hatta dalam jurnal Foreign Affairs pada tahun 1953 menyanggah pendapat tidak adanya posisi alternatif dalam perang dingin. Situasi geopolitik Indonesia tidak mengandung suatu keharusan untuk membuat pilihan di antara blok besar. Kebijaksanaan ini disebut "bebas” dan untuk menandainya dikeluarkan istilah "aktif”. Kata aktif yang dibubuhkan setelahnya berada dalam konteks perang dingin dan semangat membuat poros alternatif yang anti-kolonialisme dan menghapuskan ketegangan dunia menghadapi perang dingin yang dipenuhi ancaman perang nuklir.

Pihak negara Barat tentu menyangsikan konferensi tersebut sedangkan negara-negara sosialis menyambutnya dengan tanggapan yang positif. Karena nasionalisme dan kemerdekaan berbasis dari ide sosialisme, gerakan massa yang berupaya untuk menghapuskan kelas penindas dan tertindas yang berdasarkan teritorial dan ras. Dukungan kepada negara-negara untuk lepas dari penjajahan dalam konferensi ini (harusnya) menjadi semangat politik Indonesia sampai hari ini.

Buah dari konferensi yang berlangsung selama 18-22 April 1955 tertuang dalam Dasasila Bandung yang mendukung penghapusan kolonialisme dan hak bagi setiap bangsa untuk merdeka, anti-kekerasan dan musyawarah dalam mencapai kesepakatan. Dasasila Bandung diadaptasi oleh negara-negara baru merdeka sebagai haluan politik luar negeri mereka guna mendapatkan pengakuan dari wilayah tetangga.

Konferensi tersebut juga membuka kerjasama ekonomi dengan negara-negara lain. Khususnya dengan Republik Rakyat Tiongkok, konferensi ini membuka kesepakatan kebijakan rasial yang juga sedang memanas di wilayah Republik Indonesia, yakni tentang pengakuan orang-orang Tionghoa sebagai bagian dari Indonesia dengan penghapusan dwikenegaraaan.

Hal yang sama terulang di Indonesia

Kini ideologi dunia didominasi oleh Kapitalisme Barat dan Islam Teroris, runtuhnya Uni Soviet Rusia membuat dua kubu ini saling berbenturan dan tidak ada kekuatan ketiga sebagai penyeimbang. Hal yang sama terulang di Indonesia, gerakan kiri  yang habis pelan-pelan dimulai dari  pemerintahan Orde Lama yang membubarkan Partai Sosialis Indonesia dan kemudian pelarangan Partai Komunis Indonesia di masa Orde Baru. Kini, parta-partai di Indonesia cuma tersedia dua ideologi Islami dan Nasionalisme yang berpihak pada kapitalisme global. Atau lebih parah, campuran keduanya.

Kehancuran gerakan kiri juga membuat terbuka seluas-luasnya kapitalisme Barat yang diwakili oleh pasar bebas. Kerjasama antar regional sering dititik beratkan kepada kerjasama ekonomi, bukan pada penyelesaian konflik dan keadilan bagi penduduk.

Peringatan konferensi Asia-Afrika yang menyumbangkan nama Indonesia ke sejarah dunia selebrasi dan ajang ujuk muka untuk mengundang investor datang. Penduduk, diukur dari kemampuannya berkonsumsi dan tidak dilihat sebagai warga negara yang mempunyai hak-hak untuk dipenuhi seperti hak-hak untuk merdeka, bebas dari prasangka rasis dan keadilan sosial.

Penulis: Nadya Karima (ap/vlz)

Essais dan pengamat masalah sosial.

@Nadyazura

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis