1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Semangat Perdamaian KAA di Tengah Rumitnya Geopolitik Global

18 April 2023

Konferensi Asia Afrika (KAA) kala itu jadi kekuatan alternatif guna imbangi kekuatan adidaya. Namun, di tengah kerumitan global sekarang, kekuatan ini dinilai tidak cukup 'berbunyi'.

Proyek kereta cepat salah satu cara Cina tanamkan pengaruh di negara-negara Asia Afrika
Proyek kereta cepat salah satu cara Cina tanamkan pengaruh di negara-negara Asia AfrikaFoto: Li Ziheng/Xinhua News Agency/picture alliance

Konferensi Asia Afrika (KAA) yang diadakan di Bandung pada 18 April hingga 24 April 1955 kini sudah memasuki usia 68 tahun. Lima negara penggagas, salah satunya Indonesia, dan 24 negara undangan di KAA merumuskan Dasasila Bandung atau 10 prinsip pokok perdamaian.

Isinya antara lain yaitu menghormati hak-hak dasar manusia, menghormati kedaulatan dan integritas teritorial semua bangsa, tidak mengintervensi urusan dalam negeri negara lain, dan menyelesaikan segala perselisihan internasional dengan jalan damai.

Konferensi yang digelar 10 tahun setelah kemerdekaan Indonesia ini juga menghasilkan keputusan untuk meningkatkan kerja sama antarnegara di benua Asia dan Afrika. Misalnya, di bidang politik, sosial, ekonomi, dan budaya.

Namun, di tengah perkembangan situasi geopolitik, ekonomi, dan teknologi dunia saat ini, semangat dari 10 prinsip pokok perdamaian tersebut berangsur ditinggalkan demi kepentingan nasional masing-masing negara. Ditambah lagi, negara-negara besar berusaha memperkuat pengaruhnya di kancah internasional lewat ekspansi penanaman modal besar-besaran.

KAA sebagai kekuatan alternatif guna imbangi negara adidaya

Produk KAA yakni Dasasila Bandung memang saat itu sangat idealis karena beberapa negara-negara penggagas dan peserta baru saja merdeka dan merasa senasib, kata Evi Fitriani, Guru Besar ilmu hubungan internasional Universitas Indonesia.

Pada masa itu, para pemimpin negara-negara di KAA memiliki komitmen yang sama untuk memperkuat kedudukannya dalam menjaga perdamaian dunia, kata Evi.

Kendati demikian, kekuatan ekonomi beberapa negara-negara peserta KAA saat ini tidak cukup signifikan dalam memberi pengaruh kepada negara besar, ujarnya. Sebaliknya, ada kecenderungan negara-negara kecil dan negara berkembang dalam menggantungkan ekonominya kepada negara besar.

"Yang terjadi sekarang malah persaingan antarnegara di Asia, Afrika, (bahkan) Amerika Latin berlomba-lomba untuk mendapatkan investasi dari negara besar," papar Evi kepada DW Indonesia. 

Sebetulnya memang diperlukan kekuatan ketiga atau alternatif di ranah hubungan internasional untuk mengimbangi negara-negara besar seperti Cina atau Amerika Serikat, kata Evi. Tapi pada faktanya, negara-negara kecil tersebut tidak cukup kuat menjadi kekuatan ketiga yang mandiri.

"Sulit diciptakan karena tidak memiliki kemampuan ekonomi dan teknologi untuk mengimbangi Cina dan Amerika," kata Evi kepada DW Indonesia.

Sementara itu, Renaldo Benarrivo, dosen hubungan internasional Universitas Jenderal Achmad Yani, Bandung, menuturkan bahwa Dasasila Bandung bersifat filosofis dan tidak mengatur hal-hal teknis.

Namun menurutnya, secara praktik, filosofi Dasasila Bandung masih relevan dengan situasi saat ini. Negara-negara peserta KAA saat ini berada di posisi tawar-menawar dengan negara-negara besar antara mengedepankan kepentingan nasional atau kepentingan multilateral, ujar dosen yang akrab disapa Rivo ini.

"Hal ini yang kemudian menimbulkan kesan bahwa spirit KAA mulai ditinggalkan," tutur Rivo kepada DW Indonesia.

KAA dinilai tinggal romantisme

Lima negara penggagas KAA meliputi Indonesia, Sri Lanka, Pakistan, India, dan Burma (kini Myanmar) dulu bisa dikatakan memiliki rasa kesamaan nasib. Namun saat ini, kelima negara tersebut sudah tidak berada di situasi ekonomi dan politik yang serupa seperti enam dekade silam. Apalagi ditambah dengan konflik antara India dan Pakistan beberapa tahun belakangan.

Menurut Andina Ayu, yang mengajar ilmu hubungan internasional di Universitas Satya Negara Indonesia, Jakarta, sulit rasanya kelima negara penggagas tersebut untuk duduk bersama dan menyerukan kembali nilai-nilai Dasasila Bandung kepada dunia.

"Romantisme belaka. India dan Pakistan sedang memanas. Myanmar juga punya masalah internal yang cukup besar," kata dosen yang kerap disapa Ayu tersebut.

Contoh lain, kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi di Myanmar, misalnya. Menurut Ayu, Indonesia bisa menjadi bagian dari solusi melalui proses-proses diplomasi ke pemerintah Myanmar. Pemerintah Indonesia hanya sebatas memberikan dorongan atau teguran keras kepada pemerintah Myanmar. Tidak bisa lebih.

Hal senada juga diutarakan oleh Evi Fitriani bahwa sulit sekali untuk menggalang kekuatan ketiga seperti KAA. Selain sibuk dengan urusan domestik negara masing-masing, Indonesia sebagai penggagas KAA, juga jarang menggaungkan nilai-nilai Dasasila Bandung di kancah multilateral.

"Dasasila Bandung itu sweet memory. Sekarang sulit sekali terjadi karena hanya kekuatan moral saja, (tapi) source-nya tidak ada," kata Evi. Dia menambahkan bahwa dunia saat ini sangat materialistik di mana kekuatan moral juga kecil karena negara-negara kecil bergantung pada negara besar dalam hal investasi, ekonomi, dan teknologi.

"Cina belajar menjadi raksasa dunia"

Pada tahun 2013, President Cina Xi Jinping meluncurkan kebijakan luar negeri melalui diplomasi ekonomi yang bernama Belt and Road Initiative (BRI). Pemerintah negeri tirai bambu ini berusaha melakukan kerja sama perdagangan terutama dalam bidang pembangunan infrastruktur.

Seperti dikutip dari kantor berita Nikkei, ada sekitar 140 negara yang menandatangani perjanjian kerja sama dengan Cina melalui BRI. Bahkan, sejak November 2022, kesepuluh negara anggota ASEAN telah menyetujui kesepakatan investasi Cina di bidang infrastruktur, menurut laporan Global Times.

Menurut Lina Alexandra, kepala departemen Hubungan Internasional di Centre of Strategic and International Studies (CSIS), apa yang dilakukan negara-negara besar pemberi utang pada dasarnya sama saja. Misalnya, Cina menawarkan pinjaman pada proyek pembangunan Kereta Cepat Jakarta Bandung dengan APBN Indonesia sebagai jaminan. 

"Cina, Eropa, Amerika perilakunya more or less hampir sama. Jepang dengan ODA, Official Development Assistance," kata Lina saat berbincang dengan DW Indonesia.

Lina melanjutkan bahwa pemerintah Cina tidak menutup mata saat pinjaman mereka kepada, contohnya, Uganda dan Sri Lanka, mendapat kritikan dari dunia internasional. Kedua negara tersebut terjebak dalam skema pinjaman Cina dan tidak mampu mengembalikan.

Pemerintah Cina kemudian meluncurkan Global Development Initiative (GDI) pada tahun 2021 pada Sidang Umum PBB ke-76. Di program tersebut, Cina akan membantu negara-negara untuk mencapai Sustainable Development Goals, seperti dikutip dari Xinhua.

Menurut Lina, GDI adalah bentuk respon Cina terhadap BRI yang dikritik banyak pihak. Selain itu, Cina juga mendengarkan masukan dari analis-analis untuk mulai beralih dari pinjaman menjadi hibah.

"Cina belajar menjadi raksasa dunia," kata Lina kepada DW Indonesia.

Sementara itu, Rivo mengatakan bahwa ada kekuatan politik dan ekonomi yang baru untuk saling menguatkan hegemoninya di kancah pergaulan internasional. Rusia saat ini berusaha menggunakan instrumen militernya untuk memenangkan persaingan memperebutkan pengaruh, ujar Rivo.

"Cina menggunakan instrument ekonomi untuk memenangkan persaing itu," Rivo menambahkan.

Rivo menjelaskan bahwa Indonesia, Sri Lanka, Pakistan, India, Myanmar saat ini menjadi tempat di mana pertarungan ekonomi antara Cina dengan Amerika Serikat. Apalagi Indonesia dengan politik luar negeri bebas aktif menjadi tidak mudah untuk mengambil jalan tengah di antara kekuatan dua negara besar tersebut, kata Rivo.

Walaupun di tengah kepentingan-kepentingan nasional negara besar, Rivo menekankan upaya-upaya untuk mengingatkan kembali nilai-nilai menjaga perdamaian dunia.

"Tidak hanya dilakukan pada KAA tapi juga forum-forum lain yang memang di dalamnya membicarakan isu hubungan internasional secara kolektif dan kolegial yang tidak hanya didominasi suara negara-negara maju, tetapi juga memberikan ruang untuk negara-negara berkembang menyampaikan gagasannya," pungkas Rivo. (ae)

Leo Galuh Jurnalis berbasis di Indonesia, kontributor untuk Deutsche Welle Indonesia (DW Indonesia).
Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait