1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialIndonesia

Semangat Sumpah Pemuda 2022 di Tengah Lesunya Ekonomi Global

Leo Galuh (Bandung)
28 Oktober 2022

Bagi sebagian pemuda, mimpi mereka akan perubahan tidak terlalu muluk, tapi penting. Salah satunya mengajari generasi sebelum mereka cara memakai teknologi dengan benar!

Ilustrasi pemuda pekerja di Jakarta
Ilustrasi pemuda pekerja di JakartaFoto: picture alliance/ZUMA Wire

"Saya belum bekerja lagi. Baru tiga bulan kontrak selesai," tutur Ikang Maulana, 26, pemuda Bandung yang sebelumnya bekerja di aplikasi rintisan distributor barang-barang toko kelontong.

Sementara Nina Santika, karyawati berusia 28 tahun di Bandung, juga mengaku tidak bisa menyembunyikan kegelisahan saat banyak influencer di media sosial berbicara dengan nada mengkhawatirkan tentang dampak resesi ekonomi.

Belum lagi, aksi-aksi massa menentang kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) beberapa waktu lalu yang menurutnya seolah tidak didengar pemerintah.

"Di tongkrongan sudah ga bahas itu lagi. Urusan negara awang-awang habisin energi!" curhat Nina kepada DW Indonesia. Sehari-hari ia bekerja sebagai backend developer di perusahaan konsultan informasi dan teknologi (IT).

Antara skeptis dan berharap

Hari ini 94 tahun lalu, pemuda-pemudi dari berbagai organisasi kedaerahan seperti Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Celebes, dan Jong Ambon mendeklarasikan ikrar mempersatukan bangsa yang kemudian dikenal dengan Sumpah Pemuda.

Salah satu tokoh yang membidani Sumpah Pemuda yakni Muhammad Yamin pernah mengatakan ada lima hal yang memperkokoh persatuan: sejarah, bahasa, hukum, pendidikan, dan kemauan.

Ikang Maulana dari BandungFoto: privat

Gegap gempita rasa persatuan ini terus diperingati, meski tahun ini harus dirayakan di tengah impitan ekonomi akibat ancaman resesi global.

Nina Santika pun tidak dapat menolak perasaan skeptisnya. Dia menambahkan bahwa anak muda sekarang lebih baik berjuang mencari uang untuk menghidupi diri masing-masing

Sementara Ikang berharap semangat persatuan Indonesia bukan hanya ada dalam slogan. Dia berharap hubungan timbal balik antara pemerintah dengan rakyat.

"Pemerintah memberikan fasilitas yang layak dan bagaimana kita sebagai rakyat mengapresiasinya," kata Ikang kepada DW Indonesia.

Bahasa Indonesia jadi perekat kuat

Meski merasa apatis dengan kondisi kehidupan keseharian, ajang tahunan seperti Sumpah Pemuda sesekali membuat Nina merasa agak bersemangat.

Ia utamanya bersyukur dengan penggunaan bahasa Indonesia sebagai pemersatu dalam kehidupan sehari-hari. Di lingkup informal, kalangan muda Bandung memang kerap bertutur dalam bahasa Sunda, namun di kantor, mereka menggunakan bahasa Indonesia untuk memudahkan komunikasi.

"Dengan bahasa Indonesia, kita paham satu sama lain tanpa ada curiga dibandingkan pakai bahasa (suku) masing-masing," ujar Nina.

Maria Regina dari Bandung mengatakan anak muda sekarang berjuang melalui inovasi di kehidupan bermasyarakat.Foto: privat

Ikang juga mengutarakan hal sama. Kalangan muda-mudi di Bandung sekarang memiliki minat lebih dalam menuturkan bahasa Indonesia walaupun masih mencampurkan dengan bahasa Sunda.

Hal senada juga diungkapkan Maria Regina Widiastuti, 24 tahun, apoteker yang baru saja lulus dan bekerja di sebuah rumah sakit di Bandung.

"Mahasiswa dari berbagai macam wilayah dan latar belakang berbeda, namun menggunakan bahasa Indonesia," ujarnya dengan DW Indonesia. 

Semangat itu masih tetap ada

Di hari peringatan Sumpah Pemuda, baik media massa maupun media sosial akan dipenuhi beragam tokoh orang muda yang dinilai inovatif, kreatif dan penuh inisiatif. Tidak jarang para pemuda ini berasal dari keluarga yang dianggap memiliki privilese.

Namun ini tidak masalah. Maria dan Nina sepakat bahwa secara umum, peran pemuda sangatlah penting untuk membawa perubahan, minimal di lingkungan sekitar.

Misalnya Maria, dia berpikir bahwa pemuda punya peran penting utamanya di lingkungan kerja. Di sana, orang-orang muda bisa menawarkan kreativitas dan inovasi agar roda organisasi bisa bergerak lebih efisien dan efektif.

"Di lingkungan birokrat, anak muda harus punya keberanian, tidak ikut arus di sistem yang asal bapak senang," tegas Maria. Dia menyadari bahwa memang sulit mengubah budaya di suatu instansi, tapi ini bukan berarti tidak mungkin. 

"Anak muda dulu berjuang mendapatkan kemerdekaan, sekarang berjuang melalui inovasi di kehidupan bermasyarakat," kata Maria.

Menurut Nina yang kerap dibuat geram dengan gapteknya sejumlah generasi boomer dalam menggunakan teknologi, pemuda sangat bisa membantu. Minimal membantu generasi kelahiran tahun 1946 sampai 1964 ini dalam menyebarkan informasi penggunaan teknologi. Terlebih, banyak dari mereka yang saat ini menjabat di pemerintahan.

"Ga harus muluk-muluk. Gimana caranya pakai internet, gimana search informasi yang tepat, dan cara menggunakan aplikasi," tutur Nina dengan nada bersemangat kepada DW Indonesia.

Sedangkan Ikang lebih santai lagi. Ikang merasa sudah berkontribusi kepada negara ketika masih kuliah. Saat itu dia aktif sebagai anggota organisasi mahasiswa di kampus. Di situ dia membantu menanamkan prinsip hidup yang jelas dan integritas kepada anggota-anggota juniornya.

Ketika DW Indonesia menanyakan apa yang bisa dia sumbangkan ke negara akhir-akhir ini, jawaban Ikang pun tidak muluk. "Karena pekerja, ya bayar pajak," kata Ikang.

Tapi ya itu nanti, kalau Ikang sudah punya pekerjaan. Sampai sekarang pun dia masih mencari kerja. (ae)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait