Anda lelah dengan banyaknya hoaks yang beredar akhir-akhir ini? Bahkan bukan hanya lelah, tapi juga bingung? Apa artinya perasaan itu? Ananda Sukarlan mengupasnya dan bahkan lewat eksperimen musik.
Iklan
Itu artinya tujuan sang penyebar telah tercapai, karena penyebaran hoaks itu tujuannya bukan untuk dipercaya, tapi untuk membingungkan masyarakat percaya mana yang benar, mana yang hoaks. Bahkan kini mereka yang tidak bisa berbahasa Inggris pun sudah tahu apa arti "hoax", istilah yang hampir sepopuler "Google", "email" dan ... "which is", yaitu "berita bohong", yang lebih singkatnya bisa juga disebut fitnah.
Penyebaran fitnah dalam kampanye Donald Trump dan Jair Bolsonaro di Brazil terbukti ampuh memenangkan mereka. Strateginya adalah dengan "Firehose of Falsehood" (FoF) atau terjemahan Budiman Sudjatmiko yaitu "Semburan Dusta", dengan mengambil prinsip dasar strategi propaganda Goebbels: "Jika anda mengulang kebohongan terus menerus, orang-orang akan percaya, dan bahkan anda juga akan mempercayainya". Strategi ini digabung dengan 2 metode lain, yaitu "playing victim" (meminta kasihan karena menempatkan diri menjadi korban) dan "menyebar ketakutan".
Hoaks paling populer
FoF telah mengembangkan prinsip Goebbels jauh lebih canggih. Kini hoaks harus dilancarkan secara agresif dan dengan frekuensi yang tinggi, dengan tema yang berbeda-beda untuk bisa efektif. Saat ini di Indonesia sudah banyak tema fitnah, tapi yang paling populer antara lain adalah bahwa Jokowi adalah anggota PKI, keturunan Cina, bukan Islam, menjual aset negara dsb. Kenyataannya PKI bubar tahun 1965 sewaktu Jokowi berusia 4 tahun, keluarga Jokowi Islam, Jokowi selalu sholat dan bisa mengaji bahkan menerima tantangan Ikatan Dai Aceh (sudah tradisi bahwa pemimpin di Aceh harus bisa mengaji dengan fasih), Jokowi mengembalikan 51% saham Freeport ke Indonesia.
Tapi, di antara fitnah dan kenyataan ini manakah yang benar, manakah yang mau dipercaya oleh kebanyakan orang yang tidak dapat (atau malas) mengecek kebenarannya?
Mungkin mereka yang percaya fitnah kita anggap bodoh, tapi justru itu letak kekuatan penyebaran fitnah. Kebodohan adalah kekuatan yang lebih tangguh, apalagi dalam jumlah yang besar. Anda mungkin sering menang dalam berdebat dengan orang pintar, tapi coba saja berdebat dengan orang bodoh. Anda pasti kalah.
6 Kabar Hoax yang Menyulut Perang
Ia bisa memicu konflik, menggulingkan pemerintahan dan memecah belah satu bangsa: kabar bohong alias Hoax sejak lama ikut menggerakkan sejarah peradaban manusia. Inilah kisahnya:
Foto: Fotolia
Fenomena Beracun
Kabar bohong kembali mengalami kebangkitan di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Pada hakikatnya, berita palsu yang marak di media-media sosial saat ini tidak berbeda dengan propaganda hitam yang disebar buat memicu perang dan kebencian pada abad silam. Fenomena itu mengandalkan jumlah massa untuk membumikan sebuah kebohongan. Karena semakin banyak yang percaya, semakin nyata juga sebuah berita
Foto: Fotolia/svort
Oplah Berganda buat Hearst
Pada 1889 pengusaha AS William Hearst ingin agar AS mengobarkan perang terhadap Spanyol di Amerika Selatan. Untuk itu ia memanfaatkan surat kabarnya, Morning Journal, buat menyebar kabar bohong dan menyeret opini publik, antara lain tentang serdadu Spanyol yang menelanjangi perempuan AS. Hearst mengintip peluang bisnis. Karena sejak perang berkecamuk, oplah Morning Journal berlipat ganda
Kebohongan Memicu Perang Dunia
Awal September 1939, Adolf Hitler mengabarkan kepada parlemen Jerman bahwa militer Polandia telah "menembaki tentara Jerman pada pukul 05:45." Ia lalu bersumpah akan membalas dendam. Kebohongan yang memicu Perang Dunia II itu terungkap setelah ketahuan tentara Jerman sendiri yang membunuh pasukan perbatasan Polandia. Karena sejak 1938 Jerman sudah mempersiapkan pendudukan terhadap jirannya itu.
Foto: Getty Images/H.Hoffmann
Kampanye Hitam McNamara
Kementerian Pertahanan AS mengabarkan bahwa kapal perang USS Maddox ditembaki kapal Vietnam Utara pada 2 dan 4 Agustus 1964. Insiden di Teluk Tonkin itu mendorong Kongres AS menerbitkan resolusi yang menjadi landasan hukum buat Presiden Lyndon B. Johnson untuk menyerang Vietnam. Tapi tahun 1995 bekas menhan AS, Robert McNamara, mengakui insiden tersebut adalah berita palsu.
Foto: NATIONAL ARCHIVES/AFP/Getty Images
Kesaksian Palsu Nariyah
Seorang remaja putri Kuwait, Nariyah, bersaksi di depan kongres AS pada 19.10.1990 tentang kebiadaban prajurit Irak yang membunuh puluhan balita. Kesaksian tersebut ikut menyulut Perang Teluk. Belakangan ketahuan Nariyah adalah putri duta besar Kuwait dan kesaksiannya merupakan bagian dari kampanye perusahaan iklan, Hill & Knowlton atas permintaan pemerintah Kuwait.
Foto: picture alliance/CPA Media
Operasi Tapal Besi
April 2000 pemerintah Bulgaria meneruskan laporan dinas rahasia Jerman tentang rencana pembersihan etnis ala Holocaust oleh Serbia terhadap etnis Albania dan Kosovo. Buktinya adalah citra udara dari lokasi kamp konsentrasi. Laporan tersebut menggerakkan NATO untuk melancarkan serangan udara terhadap Serbia. Rencana yang diberi kode "Operasi Tapal Besi" itu tidak pernah terbukti hingga kini.
Foto: Yugoslav Army/RL
Bukti Kosong Powell
Pada 5 Februari 2003 Menteri Luar Negeri AS, Colin Powell, mengklaim memiliki bukti kepemilikan senjata pemusnah massal oleh Irak pada sebuah sidang Dewan Keamanan PBB. Meski tak mendapat mandat PBB, Presiden AS George W. Bush, akhirnya tetap menginvasi Irak buat meruntuhkan rejim Saddam Hussein. Hingga kini senjata biologi dan kimia yang diklaim dimiliki Irak tidak pernah ditemukan.
Foto: AFP/Getty Images
7 foto1 | 7
Ow, ow …kamu ketahuan
Strategi ini kelihatannya sangat "kuno", karena saat ini sudah ada internet dimana setiap orang bisa mengecek kebenaran suatu berita. Tapi, apakah semua orang memang mau mengeceknya?
Belum tentu. Apalagi akan sangat sulit mengecek kebenaran berita yang simpang siur, dengan berbagai versi.
Tapi apa yang harus dilakukan sang pembohong saat kebohongannya ketahuan? Kita mengambil contoh metode Trump. Ia akan mengakuinya, tapi di saat itu juga itu Trump menuduh lawan bahwa lawan juga pembohong. Ini terjadi misalnya saat kampanye awal di konvensi partai Republikan.
Trump justru memanggil lawan tangguhnya, Ted Cruz, sebagai "Lyin' Ted". Ia juga berkali-kali menjuluki "Crooked Hillary" (Hillary yang bengkok/tidak jujur). Tujuannya adalah menunjukkan ke publik bahwa semua orang juga berbohong. Trump juga akhirnya mengakui bahwa Obama lahir di Amerika Serikat, setelah sebelumnya ia terus melakukan fitnah bahwa Obama lahir di Kenya. Ini menunjukkan bahwa Trump dan kubunya meminta maaf jika memang ketahuan, tapi kubu lawan tidak pernah meminta maaf.
Masalahnya, kubu lawan itu tidak menyebarkan fitnah, jadi mau maaf untuk apa? Tapi dengan strategi ini Trump kelihatan "manusiawi" dibandingkan kubu lawannya yang selalu memegang teguh pendapatnya (yang memang adalah fakta), dan itu akan menyentuh hati banyak orang.
Data dan fakta terbukti tidak sepenting opini, dan kalau rakyat sudah bisa diambil hatinya, mereka akan secara buta mengikuti opini orang yang mereka jadikan panutan, lepas dari benar atau salahnya opini tersebut.
Apakah pemimpin pengguna FoF ini yang akan kita pilih? Atau pemimpin yang kerja nyata sekuat tenaga, meskipun difitnah sedemikian rupa? Bagaimanapun, jika sang pembohong nantinya menang dengan strategi FoF, ia akan memerintah sebuah negara yang rakyatnya terpecah-belah dan bingung.
Barack Obama mengatakan "Kalau anda mendapatkan kekuasaan dengan cara memecah-belah, anda akan kesulitan nantinya untuk menyatukan mereka". Tapi tentu saja kalau seseorang mendapatkan kekuasaan dengan cara begini, mereka tidak akan peduli lagidengan rakyat dan bangsa. Justru semakin bingung rakyat tersebut, semakin mudah untuk dieksploitasi, diperdaya dan diarahkan untuk melakukan tindakan apapun, termasuk anarki dan pemberontakan.
Eksperimen lewat musik
Sebetulnya sulit buat saya menerangkan soal hoaks dan dampaknya lewat kata-kata. Itu sebabnya saya mencobanya lewat musik. Karya saya ini saya tulis tahun 2018, bagian ke-2 dari Concerto Marzukiana no. 2 untuk biola solo & orkes, menggunakan melodi "Halo-halo Bandung" untuk motifnya, tapi, terinspirasi oleh FoF, saya pelintir puluhan kali, sehingga sewaktu melodi asalnya akhirnya saya tampilkan secara telanjang, pendengar sudah tidak mengenalinya lagi.
Sedangkan bagi pendengar yang belum pernah mendengar lagu aslinya, ia akan sulit mendeteksi lagu tersebut sebetulnya bagaimana bunyinya. Semoga dengan mendengarkannya, Anda bisa merasakan dampak hoaks ke otak kita.
Simak Ananda Sukarlan :
@anandasukarlan
Selain sebagai komponis & pianis, A.Sukarlan juga aktif sebagai blogger di Andy Skyblogger's Log , dan membuat vlog di Youtube channelnya Ananda Sukarlan. Twitter & Instagramnya @anandasukarlan bukan hanya mengulas tentang musik, tapi masalah sosial, budaya dan politik pada umumnya. Ia membagi waktunya antara Spanyol (di rumahnya di perbukitan di Cantabria) dan Indonesia (di apartemennya di Jakarta).
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
*Tulis pendapat anda di kolom komentar di bawah ini.
Peringkat Kebebasan Pers Negara Muslim
Benarkah radikalisme agama ikut mengancam kebebasan pers? Berikut peringkat negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim terbesar dalam Indeks Kebebasan Pers Internasional versi Reporters Sans Frontières.
Foto: picture-alliance/dpa
Kekuasaan Musuh Kebebasan
Kekhawatiran bahwa gerakan radikal Islam membatasi kebebasan pers hampir sulit dibuktikan. Kebanyakan penindasan yang terjadi terhadap awak media di negara-negara berpenduduk mayoritas muslim dilakukan oleh pemerintah, bukan ormas atau masyarakat, kecuali di kawasan konflik seperti Irak, Suriah atau Libya. Berikut peringkat kebebasan pers sejumlah negara muslim terbesar.
Foto: picture-alliance/ZB/J. Büttner
#120 Afghanistan
Wartawan di Afghanistan memiliki banyak musuh, selain Taliban yang gemar membidik awak media sebagai sasaran serangan, pemerintah daerah dan aparat keamanan juga sering dilaporkan menggunakan tindak kekerasan terhadap jurnalis, tulis RSF. Namun begitu posisi Afghanistan tetap lebih baik ketimbang banyak negara berpenduduk mayoritas muslim lain.
Foto: Getty Images/AFP/M. Hossaini
#124 Indonesia
Intimidasi dan tindak kekerasan terhadap wartawan dilaporkan terjadi selama masa kampanye Pilkada DKI Jakarta. Terutama kelompok radikal seperti FPI dan GNPF-MUI tercatat terlibat dalam aksi pemukulan atau penangkapan terhadap awak media. Namun begitu kaum radikal bukan dianggap ancaman terbesar kebebasan pers di Indonesia, melainkan militer dan polisi yang aktif mengawasi pemberitaan di Papua.
Foto: Getty Images/AFP/W. Kurniawan
#139 Pakistan
Wartawan di Pakistan termasuk yang paling bebas di Asia, tapi kerap menjadi sasaran serangan kelompok radikal, organisasi Islam dan dinas intelijen, tulis Reporters sans frontières. Sejak 1990 sudah sebanyak 2,297 awak media yang tewas. April silam, Mashal Khan, seorang wartawan mahasiswa tewas dianiaya rekan sekampus lantaran dianggap menistakan agama.
Foto: Getty Images/AFP/F. Naeem
#144 Malaysia
Undang-undang Percetakan dan Penerbitan Malaysia memaksa media mengajukan perpanjangan izin terbit setiap tahun kepada pemerintah. Regulasi tersebut digunakan oleh pemerintahan Najib Razak untuk membungkam media yang kritis terhadap pemerintah dan aktif melaporkan kasus dugaan korupsi yang menjerat dirinya. Selain itu UU Anti Penghasutan juga dianggap ancaman karena sering disalahgunakan.
Foto: Getty Images/R. Roslan
#155 Turki
Perang melawan media independen yang dilancarkan Presiden Recep Tayyip Erdogan pasca kudeta yang gagal 2016 silam menempatkan 231 wartawan di balik jeruji besi. Sejak itu sebanyak 16 stasiun televisi, 23 stasiun radio, 45 koran, 15 majalah dan 29 penerbit dipaksa tutup.
Foto: picture-alliance/dpa/U. Baumgarten
#161 Mesir
Enam tahun setelah Revolusi Januari, situasi kebebasan pers di Mesir memasuki masa-masa paling gelap. Setidaknya sepuluh jurnalis terbunuh sejak 2011 tanpa penyelidikan profesional oleh kepolisian. Saat ini paling sedikit 26 wartawan dan awak media ditahan di penjara. Jendral Sisi terutama memburu wartawan yang dicurigai mendukung atau bersimpati terhadap kelompok Ikhwanul Muslimin.
Foto: Reuters/A.A.Dalsh
#165 Iran
Adalah hal ironis bahwa kebebasan pers menjadi salah satu tuntutan revolusi yang menanggalkan kekuasaan Shah Iran pada 1979. Namun janji itu hingga kini tidak ditepati. Iran masih menjadi kuburan dan penjara terbesar bagi awak media, tulis Reporters Sans Frontières. Saat ini tercatat 29 wartawan dipenjara dan belasan media independen diberangus oleh pemerintah.
Foto: MEHR
#168 Arab Saudi
Berada di peringkat 168 dari 180 negara, Arab Saudi nyaris tidak mengenal pers bebas. Internet adalah satu-satunya ranah media yang masih menikmati sejumput kebebasan. Namun ancaman pidana tetap mengintai blogger yang nekat menyuarakan kritiknya, seperti kasus yang menimpa Raif Badawi. Ia dihukum 10 tahun penjara dan 10.000 pecutan lantaran dianggap melecehkan Islam. (rzn/yf - sumber: RSF)