Sengketa Ikan Bisa Picu Krisis di Laut Cina Selatan
8 April 2016
Rivalitas di Laut Cina Selatan mulai bergeser dari klaim teritorial, menuju sengketa berebut sumber daya alam. Uniknya bukan minyak dan gas yang menjadi pangkal perkara, melainkan ikan dan hasil laut lainnya.
Iklan
Bukan minyak dan gas yang bakal memicu krisis di Laut Cina Selatan, tetapi ulah para nelayan. "Mereka berpotensi besar menyebabkan eskalasi yang tidak diinginkan oleh siapapun," ujar Gregory Poling, pakar maritim di Center for Strategic and International Studies kepada jurnal Foreign Policy.
Uc apan Poling bukan sekedar ramalan. Tapi realita. Baru-baru ini kantor berita Associated Press menurunkan kisah seorang nelayan Filipina bernama Renato Etac yang pernah ditodong senjata oleh aparat penjaga pantai Cina.
"Mereka bilang, keluar, keluar dari Scarborough!" tuturnya merujuk pada karang Scarborough di kepulauan Spratly yang diklaim Cina dan Filipina. Etac lalu berteriak balik, "Dimana dokumen yang membuktikan Scarborough adalah milik Cina?"
Saling damprat dan jari tengah
Indonesia Tetap Tegas Perangi Illegal Fishing
00:52
Etac yang selalu menangkap ikan di sekitar karang tersebut mengaku sering bermain kucing-kucingan dengan pasukan penjaga pantai Cina. "Ini seperti sebuah permainan," katanya. "Saling damprat. Mengacungkan jari tengah, sebagai hinaan, semuanya ada."
Kisah Etac bukan satu-satunya. Baru-baru ini media pelat merah Vietnam melaporkan pasukan penjaga pantai negara ini mengusir lebih dari 100 kapal nelayan Cina dalam dua kurun waktu minggu. Vietnam juga menangkap sebuah kapal Cina yang membawa 100.000 ton minyak diesel untuk dijual kepada kapal nelayan yang mencari ikan di Laut Cina Selatan.
Bahkan Indonesia pun ikut mengecap sengketa, ketika kapal pengawas perikanan berusaha menangkap kapal nelayan Cina di perairan Natuna, namun upaya tersebut kandas lantaran kehadiran kapal penjaga pantai Cina. Ini membuat menteri kelautan dan perikanan Susi Pudjiastuti berang dan melontarkan tekad Indonesia perangi illegal fishing.
Nelayan Cina Terorganisir
Beberapa pakar meyakini Cina sedang menggunakan armada kapal nelayannya yang besar dan kian agresif sebagai senjata geopolitis buat mengintimidasi negara lain di kawasan.
Tahun 2013 silam Presiden Xi Jinping yang baru dilantik mengadakan kunjungan dadakan ke pelabuhan nelayan Cina di Tanmen yang berbatasan dengan Laut Cina Selatan. Di sana ia mendorong para nelayan untuk mempertahankan wilayah leluhurnya di sekitar kepualaun Spratly.
Belum lama ini harian Singapura, the Straits Times, melaporkan pemilik kapal nelayan Cina mendapat bonus sebesar 30.000 Dollar AS dari pemerintah setiap kali mereka berlabuh di wilayah sengketa.
Nelayan Cina kini menikmati dukungan penuh negara untuk menjelajah Laut Cina Selatan. "Mereka dikawal kapal pasukan penjaga pantai Cina, kata Poling, pakar maritim di CSIS. "Mereka mengorganisir armada ikan yang besar dan berlayar bersama selama beberapa pekan. Penangkapan ikan semacam itu semakin terorganisir dan semakin sering. Skalanya sudah berubah."
Saling Tikam Berebut Laut Cina Selatan
Konflik Laut Cina Selatan menjadi ujian terbesar Cina buat menjadi negara adidaya. Meski bersifat regional, konflik itu mendunia dan mengundang campur tangan pemain besar, termasuk Amerika Serikat dan Indonesia.
Foto: Getty Images/R. Pudyanto
Bersekutu dengan Rusia
Cina sendirian dalam konflik seputar Kepulauan Spratly dan Paracel di Laut Cina Selatan. Kecuali Rusia yang rutin menggelar latihan militer bersama (Gambar), negeri tirai bambu itu tidak banyak mendulang dukungan atas klaim teritorialnya. Terutama karena klaim Beijing bertentangan dengan hukum laut internasional.
Foto: picture-alliance/AP Images/Color China Photo/Z. Lei
David Versus Goliath
Secara umum Cina berhadapan dengan enam negara dalam konflik di Laut Cina Selatan, Taiwan, Vietnam, Malaysia, Brunai dan Filipina yang didukung Amerika Serikat. Dengan lihai Beijing menjauhkan aktor besar lain dari konflik, semisal India atau Indonesia. Laut Cina Selatan tergolong strategis karena merupakan salah satu jalur dagang paling gemuk di dunia dan ditengarai kaya akan sumber daya alam.
Foto: DW
Diplomasi Beton
Ketika jalur diplomasi buntu, satu-satunya cara untuk mengokohkan klaim wilayah adalah dengan membangun sesuatu. Cara yang sama ditempuh Malaysia dalam konflik pulau Sipadan dan Ligitan dengan Indonesia. Berbeda dengan Malaysia, Cina lebih banyak memperkuat infrastruktur militer di pulau-pulau yang diklaimnya.
Foto: CSIS, IHS Jane's
Reaksi Filipina
Langkah serupa diterapkan Filipina. Negara kepulauan itu belakangan mulai rajin membangun di pulau-pulau yang diklaimnya, antara lain San Cay Reef (gambar). Beberapa pulau digunakan Manila untuk menempatkan kekuatan militer, kendati tidak semewah Cina yang sudah membangun bandar udara di kepulauan Spratly.
Foto: CSIS Asia Maritime Transparency Initiative/DigitalGlobe
Di Bawah Naungan Paman Sam
Filipina boleh jadi adalah kekuatan militer terbesar selain Cina dalam konflik di perairan tersebut. Jika Beijing menggandeng Rusia, Filipina sejak dulu erat bertalian dengan Amerika Serikat. Secara rutin kedua negara menggelar latihan militer bersama. Terakhir kedua negara melakukan manuver terbesar dengan melibatkan lebih dari 1000 serdadu AS.
Foto: Reuters/E. De Castro
Indonesia Memantau
Indonesia pada dasarnya menolak klaim Cina, karena ikut melibas wilayah laut di sekitar kepulauan Natuna. Kendati tidak terlibat, TNI diperintahkan untuk sigap menghadapi konflik yang diyakini akan menjadi sumber malapetaka terbesar di Asia itu. Tahun lalu TNI mengerahkan semua kekuatan tempur milik Armada Barat untuk melakukan manuver perang di sekitar Natuna.
Foto: AFP/Getty Images/J. Kriswanto
Bersiap Menghadapi Perang
TNI juga membentuk Komando Operasi Khusus Gabungan untuk menangkal ancaman dari utara. Komando tersebut melibatkan lusinan kapal perang, tank tempur amfibi dan pesawat tempur jenis Sukhoi.
Foto: Getty Images/R. Pudyanto
Indonesia Tolak Klaim Cina
Cina berupaya menjauhkan Indonesia dari konflik dengan mengakui kedaulatan RI di kepualuan Natuna dan meminta kesediaan Jakarta sebagai mediator. Walaupun begitu kapal perang Cina berulangkali dideteksi memasuki wilayah perairan Natuna tanpa koordinasi. Secara umum sikap kedua negara saling diwarnai kecurigaan, terutama setelah Presiden Jokowi mengatakan klaim Cina tidak memiliki dasar hukum
Foto: Getty Images/R. Pudyanto
AS Tidak Tinggal Diam
Pertengahan Mei 2015 Kementrian Pertahanan AS mengumumkan pihaknya tengah menguji opsi mengirimkan kapal perang ke Laut Cina Selatan. Beberapa pengamat meyakini, Washington akan menggeser kekuatan lautnya ke Armada ketujuh di Pasifik demi menangkal ancaman dari Cina.