Sengketa Mata Uang Amerika Serikat dan Cina Makin Sengit
17 Maret 2010Tekanan dunia internasional agar Cina menaikkan nilai tukar mata uang Yuan terus meningkat. Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia mendesak pemerintah di Beijing untuk mengubah kebijakan dalam politik keuangannya dan menaikkan nilai tukar mata uang Yuan di pasar devisa.
Sementara itu Senat AS sedang menggodok rancangan undang-undang yang akan mengancam Cina dengan sanksi, jika Cina tetap menekan nilai tukar mata uangnya. Menekan nilai Yuan hingga lebih rendah 40 persen adalah hal keterlaluan, yang dengan curang menguntungkan ekspor Cina dalam persaingan internasional demikian alasan senat AS. Namun tema ini merupakan masalah politik tingkat tinggi, karena nilai tukar mata uang Yuan ditentukan oleh pemerintah pusat di Beijing.
Tentu saja hal itu menjadi salah satu pertanyaan terhadap Perdana Menteri Cina Wen Jiabao dalam jumpa pers tahunannya hari Minggu lalu (14/03).
"Nilai Yuan tidak ditekan. Contohnya, impor produk Jerman tahun 2009 mencapai 76 miliar Euro. Itu merupakan rekor bersejarah. Ekspor seluruh produk Amerika menurun hingga 17 persen, tapi ekspor mereka ke Cina turun hanya dua persen. Kami sangat mengupayakan nilai Yuan yang stabil. Upaya ini juga ikut membantu pemulihan perekonomian dunia," kata Wen.
Sejak pertengahan tahun 2005, pemerintah Cina menaikkan nilai mata uang Yuan hingga 21 persen. Pada permulaan krisis keuangan, Cina kembali mengaitkan mata uangnya ke mata uang dollar AS. Ahli strategi mata uang dari Beijing dengan itu berharap dapat mencegah keruntuhan total perekonomiannya yang sangat bergantung pada ekspor. Lalu muncullah hitung-hitungannya. Para anggota Kongres AS kemudian menganggap hal itu adalah manipulasi, yang membebani lapangan kerja di Amerika Serikat.
Guna mencegah Cina terus-menerus menekan nilai tukar mata uangnya terhadap dollar, sejumlah senator Amerika Serikat mengajukan rancangan undang-undang di Kongres, hari Selasa lalu (16/03). Rancangan undang-undang tersebut tidak menyebut Cina secara eksplisit, tapi senator yang terlibat tidak tedeng aling-aling mengakui bahwa RUU itu memang diarahkan pada Cina.
Seperti biasa Cina menanggapi dingin RUU yang digodok Kongres Amerika Serikat dengan ancaman sanksi bea cukai untuk memaksa dinaikkannya nilai mata uang Yuan. Ekonom dewan rakyat Cina Xia Bin menegaskan, Cina bukanlah penyebab defisit perdagangan Amerika Serikat. Xia Bin menambahkan, bukan Yuan penyebabnya, tapi struktur perekonomian Amerika Serikat yang buruk.
Pakar ilmu sosial David Zweig dari Universitas Hongkong memandang adanya masalah yang rumit di dalam pingpong perdebatan, juga di pihak Cina.
"Mereka sangat khawatir, Amerika Serikat ingin meredam pertumbuhan ekonomi negara itu. Mereka curiga terhadap AS, terdapat kecurigaan besar di antara penduduk. Kedua pihak ingin sekali membicarakan perbaikan hubungan, tapi mereka tidak saling percaya. Saya rasa, mereka dapat lebih menemukan jalan menuju kerja sama dalam hal sengketa perdagangan. Amerika Serikat dan Cina saling bergantung satu sama lain. Dalam sektor perdagangan dan juga sektor keuangan. Cina merupakan negara yang memberikan utang terbesar pada Amerika Serikat, dan AS tidak dapat dengan mudah terbebas darinya," kata Zweig.
LS/AS/afp/zpr