1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Sengketa Uni Laut Tengah dalam Uni Eropa

18 Maret 2008

Usulan dari Jerman dan Prancis untuk membentuk Uni Laut Tengah mendapat keberatan dari kepala negara dan pemerintahan anggota UE lainnya. Sementara, dalam tema perlindungan iklim muncul sengketa baru dengan Jerman.

KTT Uni Eropa di Brussel (13/03-14/03) diwarnai sengketa Uni Laut TengahFoto: AP

Kerjasama Uni Eropa dengan negara-negara Laut Tengah dan perlindungan iklim adalah dua tema utama pertemuan puncak yang berlangsung di Brussel pekan lalu antara kepala negara dan pemerintahan Uni Eropa.

“Tidak boleh ada hadiah ekstra untuk kelompok kecil di dalam Uni Eropa”.

Demikian komentar Kanselir Austria Alfred Gusenbauer tentang usulan Presiden Prancis Nicolas Sarkozy untuk membentuk perhimpunan istimewa Uni Laut Tengah.

Ditentang Banyak Anggota

Juga Luxemburg, Finlandia dan Polandia, yang semuanya secara geografis terletak jauh dari Laut Tengah, keberatan terhadap rencana semua negara anggota Uni Eropa di kawasan Selatan, yang berbatasan serta terhubung dengan Laut Tengah dengan negara-negara di Afrika Utara dan Timur Tengah, untuk membentuk sebuah perhimpunan baru.

Simbol Uni Eropa-Laut TengahFoto: AP GraphicsBank/DW

Sementara Kanselir Jerman Angela Merkel sebelum pertemuan puncak mengatakan, ia mengandalkan dukungan mitra Uni Eropa untuk suatu gagasan baru. Proses Barcelona dengan negara-negara yang terletak di selatan dan timur Laut Tengah mengalami kelumpuhan dan harus dihidupkan kembali.

Semua Miliki Bobot Suara Yang Sama

Pejabat Urusan Luar Negeri Uni Eropa Javier Solana mencoba menenangkan suara kritis yang khawatir negara-negara Uni Eropa yang terletak di utara akan kurang memiliki bobot suara dalam perhimpunan tersebut dibanding negara anggota yang terletak di dekat Laut Tengah

“Saya pikir, apa yang dapat kita lakukan untuk mencapai hubungan mendalam antara Uni Eropa dengan negara-negara Laut Tengah harus dijalankan. Saat ini sudah jelas bahwa semua anggota Uni Eropa memainkan peran yang sama, berdasarkan dasar-dasar yang sama. Itulah yang saya yakini memunculkan salah satu ide baru, yang sekarang menjadi bahan pembicaraan.”

Ambisi Yang Kurang Persiapan

Sebelumnya, pencetus usulan tersebut, Nicolas Sarkozy, menimbulkan kehebohan, ketika dalam wawancara dengan sebuah surat kabar, Presiden Prancis itu mengatakan, hanya negara Uni Eropa yang berbatasan dengan Laut Tengah dapat menjadi ketua klub tersebut.

Kanselir Jerman Merkel bersama Presiden Prancis SarkozyFoto: AP

Sejumlah kepala pemerintahan mengkritik bahwa proyek Laut Tengah yang luas kurang persiapan dan hanya disetujui oleh dua negara, yakni Prancis dan Jerman. Presiden Prancis Nicolas Sarkozy yang ambisius menyebutnya sebagai perhimpunan yang luar biasa dan akan meresmikan proyek luar negeri favoritnya itu pada pertemuan puncak istimewa di Paris tanggal 13 Juli mendatang.

Sementara delegasi Austria mengkritik bahwa proses Barcelona yang lama itu hanya akan mendapat nama baru. Perdana Menteri Polandia Doland Tusk, mengancam, ia hanya akan menyambut gagasan Uni Laut Tengah jika Uni Eropa membuka perspektif nyata bagi Ukraina dan tetangganya di Timur Polandia.

Kelanjutan Proses Barcelona

Namun pada akhir pertemuan hari pertama, Ketua Dewan Eropa dari Slovenia, Janez Janza, berhasil mengumumkan kesepakatan bersama. Seluruh 27 negara anggota Uni Eropa akan ambil bagian dalam Uni Laut Tengah, yang merupakan kelanjutan kerja sama yang telah dibentuk 13 tahun lalu di Barcelona, Spanyol.

“Sekarang kami telah mencapai kesepakatan, bahwa proses Barcelona harus ditingkatkan. Tapi pada Dewan Eropa kami tidak akan menentukan bagaimana pelaksanaan hal tersebut.”

Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca

Dalam tema perlindungan iklim yang juga menjadi perdebatan, ke-27 kepala negara dan pemerintahan Uni Eropa tetap memegang kesepakatan tahun 2007, yakni pelepasan emisi gas rumah kaca hingga tahun 2020 diturunkan sampai 20 persen. Tapi bagaimana cara mencapai sasaran tersebut masih dipermasalahkan.

Perlindungan Iklim perlu biayaFoto: Picture-Alliance /dpa/DW

Komisi Eropa ingin menetapkan batas kadar produksi CO 2 untuk mobil lebih rendah daripada yang diinginkan Jerman. Kanselir Angela Merkel dalam konflik terbuka dengan Presiden Komisi Eropa José Manuel Barosso mengacu pada kepentingan industri otomotif Jerman yang sangat banyak memproduksi mobil-mobil dengan tenaga PS besar.

“Tidak boleh sampai terjadi bahwa negara-negara yang memiliki industri mobil besar yang juga memberikan sumbangan bagi kesejahteraan Eropa dirugikan oleh negara-negara yang memproduksi mobil lebih kecil.”

Masih Banyak Yang Harus Didiskusikan

Sebaliknya, negara-negara seperti Prancis atau Italia, dengan tingkat produksi mobil kecil yang tinggi juga, tidak setuju dengan batas penentuan tersebut. Barosso juga menolak usulan Jerman dan Prancis, yang sekarang sudah mengharapkan penetapan pengecualian bagi perdagangan emisi gas rumah kaca yang wajib dibayar. Jerman ingin agar pengecualian tersebut sudah dilaksanakan sekarang, sedangkan Komisi Eropa baru merencanakan tahun 2012 sesaat menjelang protokol perlindungan iklim Kyoto berakhir.

Mulai tahun 2020 akan dikenakan wajib pembayaran bagi semua industri yang memproduksi emisi gas rumah kaca. Kanselir Jerman Merkel dan kepala negara dan pemerintahan lainnya khawatir akan terjadi pemindahan pabrik-pabrik produksi ke negara lain yang kurang atau bahkan sama sekali tidak menetapkan standar lingkungan.

Juga untuk bahan bakar bio yang akan dicampur dengan bahan bakar diesel biasa masih membutuhkan pembahasan lebih lanjut. Meningkatnya penanaman gandum dan tebu yang penting sebagai penghasil bahan bakar bio, berdampak berkurangnya persediaan bahan pangan dan memicu melonjaknya harga. Demikian kritik yang dilontarkan pakar ekonomi pangan dan organisasi lingkungan hidup.(dk)