Anggapan bahwa kebudayaan Cina-Indonesia adalah entitas terpisah dari kebangsaan kita adalah suatu hal yang keliru dan tidak berdasar. Simak opini Rahadian Rundjan.
Iklan
Saya masih ingat ketika dulu seorang dosen sejarah di kampus mengatakan bahwa Nusantara masa kerajaan begitu terpengaruh oleh peradaban Cina dalam berbagai hal terkait gaya hidup, mulai dari kulinernya sampai ke barang-barang perabotan. Memang pada masanya, Cina merupakan peradaban yang unggul atau setidaknya begitu disegani sampai-sampai raja-raja Nusantara berkenan mengirimkan upeti-upetinya kepada kaisar Cina, atau sekedar mengimpor barang-barang Cina, terutama keramik, sebagai instrumen penunjuk kekayaan dan kekuasaan mereka.
Lalu bagaimana dengan pengaruh kesenian, terutama seni lukisnya? Cina memiliki tradisi seni lukis yang panjang dan akarnya terlacak bahkan ketika Nusantara belum memasuki masa sejarahnya. Namun setidaknya seni lukis Cina dianggap sudah bersentuhan dengan Nusantara sejak lampau walau secar mitologis: tertera dalam Serat Kandha, bahwa dahulu ada seorang pelukis kenamaan bernama Purbengkara yang diasingkan dari tanah Jawa ke Cina. Purbengkara diceritakan menghidupkan geliat seni lukis di Cina sebelum kesenian tersebut dibawa kembali ke Jawa oleh orang-orang Cina.
Kisah legenda di atas menjadi acuan bagi Werner Kraus, peneliti sejarah seni yang fokus pada Raden Saleh dan karya-karyanya, untuk menguatkan hipotesanya mengenai pengaruh seni lukis Cina dalam penciptaan seni lukis Indonesia modern; sebuah studi yang banyak sejarawan menyebut berpangkal dari kemunculan Raden Saleh dan lukisan-lukisan bergaya Eropanya pada abad ke-19. Pertanyaannya, seperti apakah kontribusi pelukis-pelukis Cina dalam sejarah seni lukis Indonesia?
Draughtsman sampai Pelukis Istana
Menurut laporan orang-orang Eropa sezaman, lukisan-lukisan Cina adalah komoditas yang perdagangannya sudah dikontrol sedemikian rupa oleh pedagang-pedagang Cina. Setidaknya di Filipina akhir abad ke-16, gereja-gereja misionaris Spanyol sudah dihias dengan lukisan-lukisan religius bergaya Eropa yang dibuat oleh pelukis-pelukis Cina. Salah satunya adalah Gereja Binondo yang memiliki sebuah lukisan Perawan Maria dan Yesus, dibuat pada 1588 oleh seorang pelukis Cina, dan disebut-sebut sebagai lukisan bergaya Eropa pertama yang dilukis seorang Asia.
Di Batavia, orang-orang Cina juga mendominasi pasar seni dan barang-barang kerajinan. Menurut Kraus, lukisan cat pertama yang dibuat oleh pelukis Cina di Jawa adalah ilustrasi hewan badak yang dimiliki oleh Caspar Schmalkalden, penjelajah asal Jerman yang tinggal di Hindia pada 1646-1651. Josua van Jpern, sekretaris Ikatan Kesenian dan Ilmu Batavia (Bataviaasch Genootschap, berdiri 1778), juga meninggalkan catatan mengenai seorang Cina Hokkian yang ia pekerjakan sebagai pelukis.
Dipekerjakannya pelukis-pelukis Cina sebagai ilustrator (draughtsman) oleh para penjelajah Eropa kian lumrah memasuki awal abad ke-19, seperti oleh William Marsden untuk keperluan bukunya History of Sumatra dan juga Thomas Stamford Raffles untuk History of Java. Mereka biasanya ikut masuk ke rimba belantara bersama klien-klien mereka dan menggambar objeknya seperti flora dan fauna secara langsung di tempat. Setidaknyam Raffles mengoleksi 2000 sampai 3000 kertas ilustrasi yang dibuat oleh pelukis-pelukis Cina yang ia pekerjakan.
Geger Pacinan: Sejarah Kelam Batavia 1740
Tumpahnya darah etnis Tionghoa di Batavia tahun 1740 menjadi bagian sejarah kelam ibukota metropolitan yang gemerlap ini.
Foto: Public Domain
Membangun Batavia
Awal abad ke-17, Belanda membutuhkan bantuan dalam pembangunan kota pesisir di Hinda Belanda. Kaum migran Tionghoa bekerja sebagai tukang bangunan, buruh pabrik gula dan berdagang. Sebagian tinggal di dalam tembok Batavia, sisanya di luar tembok. Beberapa di antara mereka menjadi kaya karena berdagang, namun tidak sedikit yang miskin dan dimanfaatkan oleh VOC.
Foto: Public Domain
Merosotnya pendapatan VOC
Awal awad ke 17, Kamar Dagang VOC kalah bersaing dengan maskapai dagang Inggris, Britisch East India Company. Alhasil VOC pusat menekan VOC Hindia Belanda untuk menaikkan pendapatan. Meningkatnya imigran Tionghoa yang masuk ke Batavia bukan lagi dianggap bantuan, melainkan ancaman. Tahun 1719, jumlah etnis Tionghoa lebih dari 7500 jiwa, sementara tahun 1739 melonjak jadi lebih dari 10 ribu.
Foto: public domain
Gula dunia merosot
Di pasar dunia, harga gula yang menjadi andalan VOC menurun, akibat banyaknya ekspor gula ke Eropa. Hal ini menyebabkan pabrik gula di Hindia Belanda terus merugi. Angka pengangguran termasuk para buruh gula Tionghoa di Batavia pun meningkat.
Foto: public domain
Aturan izin tinggal diperketat
Gubernur Jendral Hindia Belanda saat itu Adriaan Valckeneir memberlakukan aturan izin tinggal yang ketat. Ancamannya: penjara, denda atau di deportasi. Para etnis Tionghoa kaya merasa diperas. Semenatara itu isu berkembang, jika aturan izin tinggal tak dipenuhi, para buruh dan pengangguranTionghoa dikirim ke Zeylan (Sri Lanka). Etnis Tionghoa didera kecemasan.
Foto: Public Domain
Korupsi merajalela
Sementara kaum Tionghoa terdiskriminasi oleh pembatasan itu, oknum pejabat diduga memanfaatkan aturan untuk meraup duit ke kocek mereka sendiri. Situasi itu menciptakan rasa frustrasi yang berlanjut dengan perlawanan terhadap VOC. Perlawanan terjadi tanggal 7 Oktober 1740. Ratusan etnis Tionghoa menyerbu pabrik gula, pos-pos keamanan VOC, disusul serangan ke Benteng Batavia keesokan harinya.
Foto: Public Domain
Konflik internal di Dewan Hindia
Kebijakan pembatasan etnis Tionghoa sebenarnya ditentang keras oleh beberapa kalangan lain di Dewan Hindia, misalnya mantan gubernur Zeylan, Gustaaf Willem baron van Imhoff, yang datang kembali ke Batavia tahun 1738. Namun Valckeneir tetap mengambil tindakan tegas dan mematikan dalam mengatasi kerusuhan di bawah otoritasnya.
Foto: Public Domain
Pecah pemberontakan
Situasi itu menciptakan rasa frustrasi yang berlanjut dengan perlawanan terhadap VOC. Perlawanan memuncak pada tanggal 7 Oktober 1740. Ratusan etnis Tionghoa menyerbu pabrik gul, pos-pos keamanan VOC, disusul serangan ke Benteng Batavia kesokan harinya.
Foto: Public Domain
Pembumihangusan rumah kaum Tionghoa
9 Oktober 1740, tentara VOC mengatasi pemberontakan, berbalik mengejar pemberontak. Rumah-rumah & pasar warga Tionghoa dibumihanguskan. Ratusan warga Tionghoa lari ke kali, diburu & dibantai tanpa ampun. Kali Angke & Kali Besar banjir darah. Razia etnis Tionghoa berlanjut. Bahkan Dewan Hindia menjanjikan hadiah per kepala etnis Tionghoa yang dipancung. Hal itu memancing etnis lain ikut memburu.
Foto: Public Domain
Gustaaf Willem van Imhoff gantikan van Valkeneir
Diperkirakan hanya sekitar 600 hingga 3000 etnis Tionghoa yang selamat akibat insiden itu. Valckeneir ditarik kembali ke Belanda dan tahun 1742 ia digantikan Gustaaf Willem Imhoff yang berhasil meyakinkan pemegang saham utama VOC, bahwa Valckenier yang memicu pembantaian di Batavia.
Foto: Public Domain
9 foto1 | 9
Pelukis-pelukis Cina kian ramai berdatangan ke kota-kota kolonial Eropa di Asia Tenggara, terutama Batavia, setelah pelabuhan-pelabuhan wilayah selatan negeri mereka dibuka paksa untuk kepentingan pedagang-pedagang internasional setelah berakhirnya Perang Opium, pertengahan abad ke-19. Salah satunya adalah Hou Qua, yang berasal dari Hong Kong, tiba di Surabaya pada 1869 dan disebut-sebut lihai dalam melukis gambar potret dan pemandangan.
Abad ke-19 adalah masa-masa dimulainya percampuran kebudayaan lokal dan asing di Hindia, termasuk dalam hal seni lukisnya. Kita tahu bahwa tokoh utama dalam babakan sejarah ini adalah Raden Saleh, pelukis keturunan Arab-Jawa yang pendidikan seninya di Eropa disokong oleh pemerintah kolonial Belanda dan menjadi pionir seni lukis modern Indonesia. Namun Kraus dalam tulisannya di jurnal Archipel vol. 69 menyatakan bahwa setidaknya terdapat seorang pelukis Cina sezaman, Hou Qua, yang eksistensinya dapat memperkaya pemahaman kita terhadap kelahiran seni lukis modern Indonesia.
Hou Qua sempat bekerja di studio milik Raden Saleh di Batavia(kemungkinan pada 1866) sebelum ia pindah ke Surabaya. Seperti halnya Raden Saleh, ia tercatat melukis dengan gaya Romantisisme. Salah satunya adalah lukisan potret seorang gadis kecil bernama Julia Wilhelmina Jeane Ecoma Verstege yang dilukisnya kira-kira tahun 1873.
Pelukis Jawa di Eropa
Raden Saleh, pelukis Jawa yang punya nama besar di Eropa termasuk terkenal di pula Jerman pada abad ke-19,
Foto: gemeinfrei
Kepribadian Artistik
Raden Saleh (1811 - 1880) adalah orang Asia pertama yang menikmati pendidikan melukis secara akademis di Eropa. Sosok eksotis yang berkarya seni adalah hal mengejutkan bagi Eropa di pertengahan abad ke-19. Ia juga turut melahirkan aliran lukis orientalis di Jerman. Penampilannya dalam karya Johann Carl Bähr disukai publik, seorang pelukis tampan berkostum pangeran oriental.
Foto: Lindenau-Museum Altenburg
Pelukis Berbakat
Lahir di bekas koloni Belanda di Jawa, pada usia muda Saleh melihat hobi favorit penguasa kolonial yakni: berburu. Aktivitas itu menjadi salah satu motif favoritnya. Pelukis kolonial keturunan Belgia, Antoine Payen, melihat bakat Saleh dan mendukungnya. Dengan bantuan hibah, Saleh berangkat ke Belanda pada tahun 1830, di mana ia mendapat pendidikan melukis.
Foto: gemeinfrei
Seniman Lepas
Pemerintah Belanda mengirimnya untuk studi keliling di Eropa, termasuk di Dresden. "Di sana tahun 1839 Saleh tertahan," kata Dr. Julia M. Nauhaus, direktur Museum Lindenau di Altenburg, yang pertama kali di Jerman memamerkan lukisan-lukisan Saleh. "Dia menerima banyak pesanan dan bisa bekerja sebagai seniman lepas, tanpa ketergantungan pada Belanda."
Foto: picture alliance/ANN/The Jakarta Post
Hewan Spektakuler
Harimau, anjing, singa, hewan- hewan ini sering muncul dalam karya Saleh. Di tanah kelahirannya Jawa, tidak ada singa. Tampaknya ia secara seksama meriset binatang liar itu selama berkeliling Eropa. "Dia telah melakukan perjalanan antara lain ke kebun binatang London dan sirkus di Den Haag," kata Dr. Nauhaus.
Foto: Lindenau-Museum Altenburg
Diakui di Kalangan Seniman
Di Dresden, Saleh dianggap setara sebagai seniman dan warga. Suatu hal yang tidak umum pada waktu itu, karena masih adanya diskriminasi latar belakang dan warna kulit. Saleh dan pesonanya membuat dia disambut kalangan bangsawan dan borjuis. Dia mendapatkan kontrak-kontrak yang menguntungkan.
Foto: gemeinfrei
Lukisan Bersejarah
Tahun 1851 Raden Saleh merasa terpanggil untuk pulang ke tanah Jawa. Fasih dalam lima bahasa, dalam lukisannya ia mengangkat peristiwa sejarah. Lukisan ini, sekarang dipamerkan di istana presiden di Jakarta dan menunjukkan penangkapan Pangeran Diponegoro pada tahun 1857.
Foto: gemeinfrei
Menggambarkan Realita
Saleh juga seorang arkeolog amatir. Selama berekspedisi ke Jawa Tengah, ia mengalami peristiwa letusan Gunung Merapi yang mengerikan. Kesaksiannya dalam bentuk lukisan. Hasil pantauannya ini tergantung di Museum Nasional Sejarah di Leiden, Belanda. Pada tahun tujuh puluhan, Saleh berwisata bersama istri keduanya sekali lagi ke Eropa.
Foto: Lindenau-Museum Altenburg
Lukisan Terkenal
Di samping lukisan penangkapan Diponegoro , lukisan "Berburu Singa" juga menjadi karya Saleh yang paling terkenal. Menurut Direktur Nauhaus lukisan itu dijual hampir dua juta Euro pada tahun 2011. Saleh yang bekerja di Jerman memicu daya tarik orientalis - bersama dengan publikasi sastra Goethe dan Lessing.
Foto: Lindenau-Museum Altenburg
Peran Pangeran
Saleh, potret pelukis Jawa karya Frederick Schreuel tahun 1840 itu. Ia dianggap sebagai bapak seni lukis modern Indonesia dan meninggal pada tahun 1880 di rumahnya setelah mengalami stroke.
Foto: gemeinfrei
9 foto1 | 9
Di dekade-dekade setelahnya, pelukis-pelukis Cina kian eksis. Mereka menjadi langganan klien-klien Eropa, juga menjadi guru bagi pelukis-pelukis lokal. Sebut saja nama Yap Seng Teng, yang hijrah dari Taiwan ke Bali tahun 1930-an dan mendidik beberapa pelukis Bali ternama seperti I Made Rai Regug dan I Gusti Made Deblog. Hal ini membuktikan bahwa bukan hanya pelukis-pelukis Eropa, seperti Walter Spies dan Rudolf Bonet, yang membidani kelahiran generasi awal pelukis-pelukis Bali modern.
Posisi pelukis-pelukis Cina mulai mendapat perhatian dari penguasa berkat ketokohan dari Lee Man Fong. Tahun 1932 ia tiba di Batavia dari kampung halamannya di Guangzhou (Kanton), Cina selatan. Ia terlibat dalam pembentukan Persatuan Ahli-ahli Gambar Indonesia (Persagi) di akhir tahun 1930-an dan sempat dipenjara ketika Jepang berkuasa di Hindia. Bakat melukisnya menarik perhatian baik penanggung jawab Gubernur Jendral Hindia Belanda, Van Mook, maupun Presiden Indonesia, Sukarno, terlebih ketika Lee mengadakan pameran tunggal di Jakarta pada 1946.
Bersama Henk Ngantung dan Basuki Abdullah, Lee termasuk ke dalam tiga nama tenar dalam dinamika seni lukis di Jakarta tahun 1950-an. Lee mendirikan Yin Hua, sebuah organisasi pelukis Tionghoa pada 1955 yang bermarkas di Mangga Besar. Ia sempat dikunjungi oleh Sukarno. Dan Basuki Abdullah, yang saat itu bekerja sebagai pelukis istana, merekomendasikan Lee sebagai penerusnya. Lantas, Lee kemudian diangkat menjadi pelukis istana bersama seorang pelukis Cina lainnya, Lim Wasim, pada 1961.
Nostalgia Trem di Indonesia
Pernahkah membayangkan bagaimana kakek-nenek atau buyut Anda berkendara di kota-kota besar di Indonesia di masa lalu? Tropenmuseum di Belanda menyimpan koleksi nostalgia ini.
Foto: Collection Nationaal Museum van Wereldculturen
Dari kuda, ke uap lalu listrik
Tahun 1869, di Batavia sudah ada trem. Perusahaan Belanda, Bataviasche Tramweg Maatschappij BTM yang mengusahakan keberadaan trem ini. Trem di Batavia awalnya menggunakan tenaga kuda, yang dikendalikan kusir. Trem kuda digantikan trem uap tahun antara tahun 1881, lengkap dengan lokomotif dan ketel uap. Lalu muncul trem listrik pada tahun 1899. Jarak tempuh awal dari Kwitang ke Pasar Ikan.
Foto: Collection Nationaal Museum van Wereldculturen
Jalanan lengang
Pada awalnya jalan raya di Batavia masih lengang. Ketika trem listrik mulai digunakan, trem uap masih tampak di jalan-jalan. Seiring dengan perkembangan teknologi, beberapa trem tenaga uap secara bertahap semua berganti menjadi trem listrik. Tahun 1934 seluruh trem di Batavia beroperasi dengan listrik.
Foto: Collection Nationaal Museum van Wereldculturen
Jalur rel dibangun
Rute diperluas hingga Harmoni, yang kala itu masih menjadi batas ujung Batavia. Bersamaan dengan itu jalur-jalur trem lainnya juga dibangun. Di Batavia, rutenya pun lebih panjang, mulai dari Pasar Ikan sampai Jatinegara. Di Harmoni, jalurnya pun dibuat bercabang. Jalur lainnya: Tanah Abang, Jatinegara, Pasar Baru, Gunung Sahari, Kramat, Salemba, hingga Matraman
Foto: Collection Nationaal Museum van Wereldculturen
Jalur Kramat-Salemba
Ini foto jalur Kramat-Salemba. Trem listrik dihapus pada tahun 1960, karena dianggap membuat macet. Pada saat itu sudah banyak bermunculan oplet yang sering mogok dan menyebabkan kemacetan. Sementara, Soekarno presiden saat, mengusulkan model metro atau kereta api bawah tanah.
Foto: Collection Nationaal Museum van Wereldculturen
Juga ada di Soerabaja
Lima tahun setelah trem uap diresmikan di Batavia, jalur trem berikutnya dibangun di kota Surabaya. Trem berangkat dari Stasiun Wonokromo. Foto kenangan dari Tropenmuseum ini diambil di sekitar alun-alun Surabaya, antara tahun 1929-1932.
Foto: Collection Nationaal Museum van Wereldculturen
Sepur di Aceh
Dikutip dari AcehTourismAgency, jalur trem atau spoor Ulee Lheue diresmikan tahun 1876. Awalnya sarana transportasi ini dimanfaaatkan untuk mengangkut pasokan logistik perang dan serdadu. Namun kemudian dimanfaatkan pula oleh masyarakat. Tanggal 15 Juni 1906, dibuka jalur kereta trem Aceh Beureunoen – Lammeulo. Foto ini merupakan koleksi Nationaal Museum van Wereldculturen.
Foto: Collection Nationaal Museum van Wereldculturen
Metro Mini merajalela
Setelah trem dihapus, bis kota makin banyak berseliweran di ibukota Jakarta. Salah satu alat tranportasi umum yang banyak digunakan masyarakat adalah Metro Mini. Emisi karbon dari mesin tak terawat menyemburkan polusi. Sering terjadi kecelakaan, akibat ulah supir yang ugal-ugalan. Presiden Joko Widodo menganggap Metro Mini kurang mengutamakan keselamatan penumpang.
Foto: cc-by-nc-nd-Bentley Smith
Transjakarta
Sejak tahun 2004, ibukota Jakarta mendapat layanan transportasi Bus Rapid Transit (BRT) atau busway bernama Transjakarta, yang dirancang sebagai alat transportasi massal. Jalur lintasan BRT merupakan yang terpanjang di dunia, lebih 200 km. Terdapat 220 halte yang tersebar di 12 lintasan dan melayani penumpang 24 jam.
Lee Man Fong dan Sukarno cukup mesra. Sang pelukis bahkan diberi tanggung jawab untuk membuat buku mengenai karya-karya seni milik sang presiden berjudul "Lukisan-lukisan dan Patung dari Koleksi Presiden Soekarno dari Republik Indonesia”, sejumlah lima jilid. Lee, yang teknik melukisnya dikatakan merupakan campuran dari gaya Eropa dan Cina tradisional, bekerja di istana sampai akhirnya huru-hara Peristiwa 1965 pecah dan ia lari ke Singapura.
Apa yang mekar di masa Sukarno, dikubur dalam-dalam oleh Orde Baru. Ekspresi kultural kebudayaan Cina ditekan, membuat mati suri geliat pelukis-pelukis Cina di Indonesia. Kini, pelukis-pelukis Cina sudah bebas mengekspresikan bakatnya kembali. Beberapa bahkan telah diakui secara internasional, misalnya Sidik W. Martowidjojo yang dahulu berhenti total melukis di masa Orde Baru namun kini dianggap sebagai salah satu maestro seni lukis Indonesia kontemporer.
Eksistensi pelukis-pelukis Cina, dan sejarahnya yang walau samar-samar dalam narasi sejarah nasional Indonesia, tetaplah sebuah bukti heterogenitas kesenian Indonesia. Sehingga, saya rasa, anggapan bahwa kebudayaan Cina-Indonesia adalah entitas terpisah dari kebangsaan kita adalah suatu hal yang keliru dan sama sekali tidak berdasar.
Penulis: Rahadian Rundjan (ap/vlz)
Esais, kolumnis, penulis dan peneliti sejarah
@RahadianRundjan
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis.
Membuat Tiruan Karya Seni Kenamaan untuk Pasaran Dunia
Contohnya karya van Gogh dan Monet. Sekitar 10.000 pelukis di daerah Dafen, Cina Selatan memproduksi lima juta karya seni tiruan per tahun. Di gang-gang sempit, di bawah langit terbuka, karya-karya klasik dijiplak.
Melukis untuk Dunia
Diperkirakan satu dari lima tiruan karya seni terkenal dunia, tercipta di sini, di kawasan seniman Dafen di Shenzhen, Cina Selatan. Di kawasan yang luasnya tak sampai enam kilometer persegi, karya-karya pelukis kenamaan ditiru.
Produksi Terus-Menerus
Biasanya teknik yang digunakan adalah melukis lapis demi lapis. Artinya, lapisan warna diwarnai kembali atau diubah, jika lapisan pertama sudah kering. Sembari menunggu yang pertama kering, para pelukis "profesional" menggunakan waktu untuk bekerja pada lukisan lain.
Tempat Kerja "Sederhana"
Para pelukis berkumpul di pusat kawasan itu, di mana bengkel-bengkel seni berjejalan. Orang bekerja dan bertetangga, kata mereka. Di iklim tropis, sama-sama bekerja di udara terbuka malah menyenangkan.
Karya Kenamaan dengan Harga Murah
Di gang-gang sempit mereka melukis. Sebuah kipas angin kecil menghembuskan sedikit angin dan inspirasi bagus. Yagn paling banyak ditiru adalah karya pelukis impresionis Perancis, Claude Monet. Salah satu karyanya yang berjudul "Matahari Terbit" dari tahun 1872 bisa dilihat di sebelah kanan. Di sebelah kiri...
… Karya Vincent van Gogh
Lukisan "Bei der Ernte" (1888) dari seniman Belanda Vincent van Gogh bisa dibeli hanya dengan harga sekitar 56 Dolar saja. Tiruan dari karya Gustav Klimt harganya lebih mahal. Pelukis Austria itu menggunakan berbagai warna, sehingga contekan karyanya juga harus berkali-kali melewati proses pemberian warna.
Perangkat Dasar Seorang Seniman
Selain warna-warna klasik dan kuas, ponsel pintar termasuk dalam perangkat dasar seniman. Dengan cara itu, para peniru bisa selalu dapat melihat lukisan aslinya dari dekat. Dengan ponsel diterima pesanan baru, yang diberikan lewat program obrolan, yang juga jadi media pembayaran. Klien mereka banyak yang wisatawan, tapi juga toko penjual barang desain interior di negara-negara barat.
Warna-Warni
Seorang pedagang barang seni dari Hongkong menemukan Dafen tiga dasawarsa lalu. Dari desa yang hanya berpenduduk 200 jiwa di akhir tahun 80-an, kini berkembang jadi komunitas seniman, yang diperkirkan, terdiri dari 10.000 orang. Sekarang lukisan-lukisan tiruan dari Dafen tergantung di jutaan ruang duduk di dunia.
Kulit Telanjang di Depan Umum?
Tidak masalah. Bukankah penggambaran badan yang telanjang dalam karya seni dianggap sesuatu yang menyenangkan? Penulis: Hao Gui (ml/hp)