1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Senjata Nuklir Tidak Akan Pernah Jadi Solusi

9 Agustus 2015

Serangan bom nuklir 70 tahun yang lalu menjadikan Jepang sebagai korban. AS bersikeras, langkah tersebut harus ditempuh agak perang bisa berakhir. Tapi haruskah senjata nuklir menjadi solusi? Komentar Alexander Freund.

Lebih dari 200.000 orang meninggal - 90.000 diantaranya tewas seketika. Kota Nagasaki bisa dibilang hanya bernasib buruk, karena bukan merupakan sasaran sesungguhnya. Nagasaki hanya terpilih karena ada awan gelap yang menutupi langit di atas target utama, Fukuoka.

Kini seluruh dunia tahu nama kedua kota Jepang ini. Hiroshima dan Nagaski. Setelah menjatuhkan bom atom ke Hiroshimo, kopilot pesawat Enola Gay mengatakan: "Oh Tuhan, apa yang telah kami lakukan?"

Saat bom dijatuhkan ke Nagasaki, beberapa hari setelah Hiroshima diserang, seluruh dunia sudah mengetahui kekuatan bom tersebut. Ini menjadi kejahatan perang yang tidak termaafkan. Amerika membela strategi ini dengan mengatakan perang di Pasifik akan berlangsung lebih lama tanpa serangan bom tersebut dan jutaan nyawa akan melayang dalam invasi ke kepulauan Jepang. Menurut AS, Jepang hanya bersedia menyerah setelah serangan bom nuklir.

Walau keterangan tersebut tidak sesuai dengan pendapat beberapa pakar sejarah, fakta yang tersisa adalah kejahatan terhadap kemanusiaan yang tidak bisa dibenarkan. AS hanya ingin mencoba sistem persenjataan baru dan memamerkan kekuatannya, tidak hanya kepada Jepang tetapi juga Rusia.

Kepala Bagian Asia Alexander Freund

Sejak Hiroshima dan Nagasaki, setiap negara adidaya, termasuk negara yang menganggap dirinya sebagai negara berkuasa, ingin memiliki senjata nuklir. Termasuk Rusia, Inggris, Perancis, Cina, India dan Pakistan.

Satu hal yang tidak bisa dilupakan, serangan bom nuklir juga memungkinkan Jepang mengambil peran sebagai korban. Ini citra yang dipilih oleh Jepang dan bukan sebagai negara yang dahulu bersikap secara kejam kepada negara-negara tetangganya di Asia.

Sang korban sebenarnya juga lah sang pelaku kejahatan. Hingga kini, Jepang gagal mengkonfrontasi sejarah perangnya dan mengupayakan rekonsiliasi dengan negara-negara tetangga.

Sementara PM Jepang menunjukkan penghormatannya terhadap korban bom atom, ia juga ingin merevisi Konstitusi Jepang tahun 1947 yang ditulis ketika Jepang berada di bawah pendudukan Sekutu seusai Perang Dunia II dan direncanakan untuk menggantikan sistem monarki absolut yang militeristik dengan suatu bentuk demokrasi liberal.

PM Shinzo Abe ingin memperkuat kemampuan militer Jepang untuk bisa menyaingi Cina di kawasan Asia. Ini mungkin bisa dimengerti dari sudut pandang geostrategi, Abe tidak mengharapkan dukungan dari mayoritas warga Jepang.

Bukan kekuatan militer dan pamer kekuatan yang bisa mewujudkan perdamaian dan stabilitas, tetapi rekonsiliasi dan kemakmuran. Kebrutalan perang seharusnya menjadi pelajaran berharga, tidak hanya bagi korban di Jepang dan pelaku kejahatan, tetapi juga semua pemain global.