Sejak diculik tahun 1998, keluarga dan para sahabatnya tak pernah lagi melihatnya. Kepedihan tersisa, namun perjuangan Wiji Thukul tak lekang ditelan masa. Dengan apa ia berjuang. Berikut guratan Wahyu Susilo.
Iklan
Sebulan yang lalu, pada mulanya beredar di grup-goup whatsapp secara terbatas sebuah postingan dari @ndorokakung di akun media sosial Path, isinya mengejutkan: mengutip pidato Xanana Gusmao bahwa Wiji Thukul dikabarkan dihilangkan oleh ABRI (saat itu) di wilayah konflik bersenjata Timor Timur karena diduga menjadi pemasok dan perakit amunisi bersenjata bagi kalangan gerilyawan Timor Timur.
Sebagai sebuah isu yang menghebohkan, postingan ini akhirnya menjadi viral dan semakin heboh oleh liputan media massa yang hampir semuanya mengutip mentah-mentah postingan tersebut tanpa pernah melakukan konfirmasi kepada Xanana Gusmao (yang juga membantah pernah berpidato perkara tersebut).
Awal mulanya, berita ini dikembangkan dari penghargaan kalangan veteran pejuang Timor Timur terhadap para aktivis Indonesia (khususnya anggota Partai Rakyat Demokratik) yang punya kontribusi besar terhadap perjuangan pembebasan nasional Timor Leste. Penghargaan tersebut diberikan langsung oleh Xanana Gusmao di ibukota Timor Leste, Dili. Tapi entah kenapa berita yang beredar di Indonesia berkembang liar dan berfokus pada isu yang tidak berdasar pada sumber yang dipercaya: Wiji Thukul perakit dan pemasok amunisi bersenjata.
Tulisan ini TIDAK hendak memperpanjang atau mempersoalkan berita lawas sebulan yang lalu. Dengan bantahan resmi dari Associado Dos Combatentes Da Brigada negra (ABCN), seharusnya peletup pertama kabar tak benar tentang Wiji Thukul bergegas menunjukkan niatnya menyatakan maaf secara terbuka kepada publik dan keluarga Wiji Thukul yang sangat terlukai, namun hingga kini niat tersebut tak terwujud.
Kembalikan Wiji Thukul
Hingga kini ia tak diketahui rimbanya. Wiji Thukul, sastrawan yang giat menyuarakan kaum tertindas, hilang ketika penculikan terhadap para aktivis terjadi antara 1996-1998. Yaitu menjelang runtuhnya Orde Baru.
Foto: Wahyu Susilo
Mencintai puisi sejak kecil
Sastrawan dan aktivis yang melawan penindasan rezim Orde Baru ini lahir di Solo, 26 Agustus 1963. Ia mencintai puisi sejak kecil. Anak tukang becak ini menjadi buruh plitur, ngamen puisi dan mengalah putus sekolah demi pendidikan adik-adiknya.
Foto: Wahyu Susilo
Menyuarakan orang pinggiran
Di tengah kesulitan keuangan ia tetap giat menelurkan karya-karya puisi dan berteater di Sarang Teater Jagat. Ia juga mengajar anak-anak kecil melukis di Sanggar Suka Banjir dan menyuarakan nasib orang kecil dalam Jaringan Kerja Kesenian Rakyat JAKKER.
Foto: Wahyu Susilo
Dengan puisi melawan penindasan
Foto ini diambil ketika Wiji Thukul latihan teater di Sarang Teater Jagat, Jagalan, Solo tahun 1987. Salah satu petikan puisi Wiji berjudul PENYAIR: " Jika tak ada kertas, aku akan menulis pada dinding.. Jika aku menulis dilarang, aku akan menulis dengan tetes darah!"
Foto: Wahyu Susilo
Dianiaya ketika membela kaum tertindas
1992 ia memprotes pencemaran lingkungan oleh pabrik tekstil PT Sariwarna Asli Solo. 1994 dalam aksi petanidi Ngawi, Jawa Timur, Thukul dipukuli tentara. Tahun 1995 mengalami cedera mata kanan karena dibenturkan pada mobil oleh aparat sewaktu ikut dalam aksi protes karyawan PT Sritex. Istri Wiji Thukul, Siti Dyah Sujirah (Sipon) selalu mendukung perjuangan suaminya.
Foto: Wahyu Susilo
Tanpa jejak
Pasca peristiwa 27 Juli 1996, jelang kejatuhan Soeharto tahun 1998, dia masuk dalam daftar pencarian orang (DPO). Di masa itu ia tetap berkarya. Pada masa tersebut sejumlah aktivis ditangkap, diculik dan dihilangkan secara paksa, termasuk Thukul. Sekitar bulan Maret-April 1998 jejaknya tak lagi diketahui. Tuduhan ia menyulut kerusuhan dlam peristiwa 27 Juli 1996 tak pernah terbukti.
Foto: Wahyu Susilo
Puisinya tetap abadi
Sajak-sajak Wiji Thukul populer di kalangan aksi massa. Di antaranya: Peringatan, Sajak Suara, dan Bunga dan Tembok. Tanpa henti, puisinya selalu menggambarkan perjuangan kaum tertindas. Kumpulan puisinya dibukukan. Puisi nyanyian akar rumput melambangkan dendang para rakyat yang tidak terima dengan perlakuan pemerintahan yang tirani.
Foto: Wahyu Susilo
Keabadian dalam Sajak
Apa Guna: “Apa guna punya ilmu tinggi, kalau hanya untuk mengibuli Apa guna banyak baca buku, kalau mulut kau bungkam melulu Dimana-mana moncong senjata berdiri gagah Kongkalikong dengan kaum cukong” (Wiji Thukul) Gambar: wijithukul.tk/BarisanPengingat
Foto: Barisan Pengingat / Wahyu Susilo
Janji Jokowi
Sebelum menjadi presiden, Joko Widodo menyatakan, baik hidup atau meninggal dunia, kejelasan nasib Wiji Thukul harus menjadi perhatian pemerintah. Dalam kunjungannya ke Eropa, April 2016, Jokowi berujar, pemerintah masih mendalami kasus pelanggaran HAM berat, termasuk di antaranya penghilangan aktivis 1997-1988.
Foto: DW/R.Nugraha
Perjuangan tiada akhir
Istri Wiji Thukul, Siti Dyah Sujirah (Sipon) tak kenal lelah mencari keadilan, setelaah suaminya dihilangkan secara paksa. Pasangan Thukul-Sipon dikaruniai anak pertama bernama Fitri Nganthi Wani, kemudian pada tanggal 22 Desember 1993 anak kedua mereka lahir yang diberi nama Fajar Merah. Hingga kini Sipon, keluarga dan kawan-kawannya masih terus berjuang mencarinya. Kembalikan Wiji Thukul.
Foto: Wahyu Susilo
9 foto1 | 9
Jika kita simak puisi-puisi Wiji Thukul dalam dua dekade baik 80-an maupun 90-an mengkonfirmasi bahwa Wiji Thukul sangat membenci senjata sebagai instrumen kekerasan.
Pengalaman nyata yang dihadapinya adalah tentang kematian tetangganya, seorang gali (stigma kriminal yang diberikan aparat Orde Baru) dalam operasi penembakan misterius (Petrus) yang marak pada tahun 1983-1984 selepas Pemilu 1982.
Dalam puisinya “Sajak Bagong”, Wiji Thukul berkisah tentang nasib tragis tetangganya:
“ya ya.. Bagong namanya, pemilu kemarin besar jasanya
Bagong ya Bagong, tapi bagong sudah mati
Pada suatu pagi, mayatnya ditemukan orang di tepi rel kereta api”.
Di puisi Wiji Thukul yang lain, dengan judul Kuburan Purwoloyo mengkisahkan tempat dimana para korban pembunuhan misterius itu dimakamkan:
“disini,
gali-gali,
tukang becak,
orang-orang kampung yang berjasa dalam setiap pemilu
terbaring”
Jika di dekade 1980-an, senjata dan kekerasan dalam puisi-puisi Thukul adalah imajinasinya tentang apa yang dialami oleh tetangga-tetangganya yang mengakhiri hidupnya dalam operasi extra-judial killing penembakan misterius (Petrus), maka di dekade sembilanpuluhan puisi-puisinya tentang senjata adalah pengalaman pribadinya ketika merasa bahwa sebagai penyair, dia harus menerabas panggung, masuk dalam barisan perlawanan, tetapi tetap melawan kekerasan.
Periode akhir delapanpuluhan dan memasuki dekade 90-an, masa dimana Wiji Thukul masuk dalam dunia pergerakan, adalah periode perlawanan massa rakyat (buruh dan tani) yang dihadapi oleh represi militer. Di masa ini hanya segelintir mahasiswa, intelektual dan seniman berani menyuarakan protes. Situasi tersebut digambarkan Wiji Thukul dalam puisi yang sering dinyanyikannya Apa Guna:
“Apa guna punya ilmu tinggi, kalau hanya untuk mengibuli
Apa guna banyak baca buku, kalau mulut kau bungkam melulu
Dimana-mana moncong senjata berdiri gagah
Kongkalikong dengan kaum cukong”
Pada periode tersebut, Wiji Thukul sangat produktif menulis puisi-puisi perlawanan dan semakin yakin bahwa senjatanya bukanlah mesiu amunisi tetapi adalah puisi. Sebagai seniman penulis puisi yang harus melawan, dia mendeklarasikan dalam puisinya berjudul Penyair:
Jika tak ada mesin tik, aku akan menulis dengan tangan
Jika tak ada tinta hitam, aku akan menulis dengan arang
Jika tak ada kertas, aku akan menulis pada dinding
Jika aku menulis dilarang, aku akan menulis dengan tetes darah!
Dengan penuh kesadaran, Wiji Thukul mengolah dan meracik kata (baca: bukan mesiu) untuk mengobarkan semangat kaum tani dan buruh memperjuangkan haknya, merebut tanah dan menuntut upah. Pergulatannya dalam pengorganisasian kaum buruh diberbagai kota melahirkan puisi Satu Mimpi Satu Barisan. Inilah penggalan puisinya:
“Dimana-mana ada Sofyan, ada Sodiyah, ada Bariyah
Tak bisa dibungkam KODIM, tak bisa dibungkam popor senapan
Dimana-mana ada Neni, ada Udin, ada Siti
Dimana-mana ada Eman
Di Bandung, Solo, Jakarta, Tangerang
Tak bisa dibungkam KODIM, tak bisa dibungkam popor senapan
Satu mimpi, satu barisan”.
Puisi ini ditulis tahun 1992 dan tiga tahun kemudian, tepatnya 10 Desember 1995, Wiji Thukul mengalami langsung apa yang pernah dia tuliskan: dipopor senapan! Dalam demonstrasi ribuan buruh PT Sritex di Sukoharjo, muka Wiji Thukul dipopor senapan hingga menimbulkan luka serius dimatanya.
Bait “cahaya sudah kaurampas dari biji mataku” di puisi Derita Sudah Naik Seleher dan bait “meski bola mataku diganti, ia tak mati-mati” dalam puisi Aku Masih Utuh dan Kata-Kata Belum Binasa adalah kesaksian otentik apa yang dialaminya.
Dari penjelajahan puisi-puisi Wiji Thukul dalam masa-masa tersebut jelas terlihat bahwa dia sangat membenci penggunaan senjata, apalagi untuk tujuan kekerasan dan mempertahankan kekuasaan.
Wiji Thukul memang melawan, tetapi tidak dengan perlengkapan senjata yang mematikan, dia melawan tanpa kekerasan, dengan puisi-puisinya yang menggerakkan.
Ada baiknya, @ndorokakung membaca puisi Wiji Thukul yang berjudul Kucing, Ikan Asin dan Aku. Puisi ini menggambarkan, bahkan untuk membunuh kucing yang mencuri lauknya pun tangannya lunglai, tak mampu menggunakan pisau sebagai alat pembunuh.
Simaklah:
Seekor kucing kurus menggondol ikan asin, laukku siang ini
Aku meloncat, kuraih pisau, biar kubacok dia, biar mampus!
Ia tak lari, tapi menongak, menatapku tajam
Mendadak lunglai tanganku, aku melihat diriku sendiri
Lalu kami berbagi, kuberi ia kepalanya
Batal nyawa melayang, aku hidup, ia hidup
Kami sama-sama makan.
Penulis:
Wahyu Susilo, adik Wiji Thukul, pendiri Migrant CARE, sekaligus bekerja sebagai analis kebijakan di lembaga tersebut. Tahun 2007, meraih Hero-Acting to End Modern Slavery Award dari Department of State USA.
Telah banyak yang dicapai gerakan buruh dalam 150 tahun terakhir ini. Semuanya berawal dari pemberontakan para pekerja terhadap pemilik-pemilik pabrik.
Foto: Getty Images
Kutukan dan Berkah Industrialisasi
Industrialisasi yang dimulai pada abad ke- 18 di Inggris bukan saja membawa kemajuan di bidang teknologi, tapi juga menimbulkan krisis sosial. Buruh pabrik, yang merupakan tulang punggung produksi industri, berusaha membela diri atas tindakan eksploitatif pemilik pabrik. Kerusuhan pertama pecah di Inggris, saat para buruh menghancurkan mesin pabrik, menewaskan banyak buruh.
Foto: imago/Horst Rudel
Manifesto Komunis
Juga para pekerja lainnya di bidang industri menghadapi kondisi yang tidak lebih baik dibandingkan para buruh: jam kerja yang panjang, upah dan hak yang rendah. Karl Marx (foto) dan Friedrich Engels menggagas satu program bagi para pekerja yang tertindas: Manifesto Komunis, yang menyerukan "perjuangan kelas“ dengan tujuan untuk satu kemenangan bagi kelas proletar atas borjuis.
Foto: picture-alliance /dpa
Gerakan Buruh menjadi Politis
Tahun 1864 berbagai gerakan buruh bergabung untuk bekerja sama secara internasional. Selain itu, bermunculan partai dan serikat buruh, seperti Asosiasi Pekerja Jerman ADAV dan Partai Pekerja Sosial Demokrat SDAP pimpinan Wilhelm Liebknecht (dalam foto tengah mengangkat tangan) serta August Bebel (di kanan Liebknecht). SDAP menjadi cikal bakal partai Partai Sosial Demokrat Jerman SPD.
Foto: AdsD der Friedrich-Ebert-Stiftung
Sosial Demokrat vs Komunis
Sosial Demokrat Jerman menjadi model bagi negara-negara Eropa lainnya. Perjuangan mereka bagi hak pekerja sangat dipengaruhi ideologis. Setelah akhir Perang Dunia I, gerakan buruh di banyak negara Eropa terpecah, memisahkan diri menjadi gerakan sosialis dan komunis, di mana Lenin (foto) merupakan salah seorang motor gerakan ini.
Foto: Getty Images
Nazi Bubarkan Serikat Buruh
Perpecahan di tahun 1920-an tidak menghentikan masa kejayaan gerakan buruh: serikat-serikat buruh berhasil merangkul rekor jumlah anggota. Berkuasanya Nazi menjadi akhir gerakan buruh di Jerman: serikat-serikat buruh dibubarkan, aktivis buruh dikerja dan bahkan beberapa di antara mereka dihukum mati. Foto: Paramiliter Partai Nazi mengambil alih satu kantor serikat buruh.
Foto: picture-alliance/dpa
Pemberontakan di Jerman Timur
Setelah Perang Dunia II berakhir di bawah pengawasan Sekutu, serikat-serikat buruh kembali diakui. Di Jerman Timur serikat-serikat buruh bernaung dalam Federasi Serikat Buruh Bebas FDGB. Pada 17 Juni 1953 terjadi pemberontakan: ratusan ribu buruh memprotes kebijakan politik Jerman Timur. Pemberontakan dibasmi oleh pasukan Soviet. FDGB berpihak pada rezim Jerman Timur.
Foto: picture-alliance / akg-images
Gerakan Buruh tanpa Buruh
Setelah tahun 1945, gerakan buruh meredup di negara-negara demokratis. Semakin sedikit pekerja industri yang terlibat dalam gerakan buruh. Selain itu, antara tahun 1960 dan 70-an muncul berbagai gerakan lain seperti gerakan perempuan atau gerakan lingkungan.
Foto: picture-alliance/dpa
Dari Pemimpin Serikat menjadi Presiden
Satu serikat buruh yang terkenal secara internasional: Solidarność di Polandia. Dalam waktu hanya beberapa bulan, gerakan yang didirikan tahun 1980 ini berubah menjadi gerakan massa, yang turut berperan dalam peralihan haluan politik di Polandia. Ketua Solidarność yang pertama, Lech Walesa (foto), berhasil menjadi presiden Polandia di tahun 1990.
Foto: picture-alliance/dpa
Gerakan Buruh Hari Ini
Saat ini di Jerman, serikat-serikat buruh dan partai-partai kiri terus berjuang menuntut perbaikan hak para pekerja, seperti menentang upah dumping, diskriminasi di tempat kerja atau memperjuangkan pensiun yang memadai.