Sentimen anti-Cina seolah kembali menyeruak akhir-akhir ini. Berbagai berita bohong (hoax) dengan mudah dapat ditemui media sosial. Mengapa diskriminasi dan rasisme tak kunjung pudar? Berikut opini Sumanto al Qurtuby.
Iklan
Komunitas Cina atau Tionghoa sudah mendarat di kepulauan yang kini bernama Indonesia sejak berabad-abad silam, jauh sebelum kedatangan para kolonialis Eropa maupun para pengelana dari kawasan Arab, khususnya Yaman. Banyak dari mereka yang kemudian kawin dengan penduduk setempat. Mereka juga ikut berkontribusi membentuk atau menciptakan tradisi dan kebudayaan lokal di Nusantara sehingga terbentuk semacam Sino-Indonesian culture.
Di Pulau Jawa khususnya, seperti pernah saya tulis dalam buku Arus Cina-Islam-Jawa (2003), juga terbentuk Sino-Javanese Muslim culture yang membentang dari Banten sampai Surabaya lantaran kontribusi masyarakat Muslim Cina dalam penyebaran Islam atau sebagai dampak dari perjumpaan dinamis dan saling memperkaya antara komunitas Cina dan masyarakat Jawa.
Dengan kata lain, komunitas Cina turut berperan sebagai "co-creator” aneka tradisi dan kebudayaan di Indonesia seperti makanan, minuman, pakaian, kesenian, obat-obatanan dan mekanisme pengobatan, sistem pelayaran, dlsb.
Menariknya, atau ironisnya, meskipun komunitas Cina sudah lama "bersimbiosis” dan menjadi bagian integral dari kebudayaan Nusantara, tetapi kehadiran mereka belum sepenuhnya diterima oleh sebagian masyarakat di negeri ini.
Sentimen anti-Cina masih cukup kuat dimana-mana. Ada yang mengekspresikan sentimen itu dengan terbuka di publik (baik publik "dunia nyata” maupun "dunia maya” seperti medsos). Ada pula yang melampiaskannya secara diam-diam dan sembunyi-sembunyi, misalnya dengan menggunakan bahasa-bahasa simbol tertentu atau menggunjing mereka di "belakang panggung”. Kata "aseng” yang merupakan sebutan peyoratif-sarkastik untuk Cina yang kini sedang ramai adalah bagian dari "bahasa simbol” sekaligus ekspresi dari sentimen anti-Cina tadi.
Bukti belum punahnya sentimen anti-Cina ini adalah mudahnya masyarakat bawah untuk diprovokasi, digiring, dan disulut oleh sejumlah kelompok dan "oknum” yang memiliki kepentingan politik-ekonomi untuk melakukan tindakan pelecehan dan kekerasan terhadap warga Cina.
Penjara Kaum Sipit di Negeri Kulit Putih
Penasehat Donald Trump menyebut kamp pengasingan Jepang selama Perang Dunia II sebagai model untuk menampung imigran Muslim di Amerika. Seperti apa bentuk kamp yang dibangun atas dasar histeria perang bermotif rasis itu?
Foto: STF/AFP/Getty Images
Relokasi Paksa
Setelah serangan Jepang ke Pearl Harbor, pemerintah AS yang dipimpin Franklin D. Roosevelt tahun 1942 memerintahkan relokasi paksa 120.000 warga negara AS berdarah Jepang ke kamp-kamp pengasingan yang dijaga ketat. Mereka, tanpa terkecuali, dikategorikan sebagai enemy alien alias musuh asing.
Foto: Public Domain
Rasisme Terbuka
Gagasan dasar kamp pengasingan buat warga keturunan Jepang adalah untuk mencegah aksi spionase atau sabotase selama masa perang. Kecurigaan yang berdasarkan pola pikir rasialis dan dipicu oleh politisi dan militer itu ikut menyebar di kalangan penduduk.
Foto: Public Domain
Kerugian Materiil
Relokasi paksa cuma mengizinkan warga keturunan Jepang membawa barang-barang seadanya. Sebagian besar penduduk yang diasingkan akhirnya kehilangan harta benda atau dipecat dari pekerjaan hanya karena latarbelakang etnis. Petani yang menggarap lahan sewaan juga kehilangan hak sewanya seketika.
Foto: Public Domain
Penghilangan Etnis
Anehnya kelompok yang terkena kebijakan tersebut cuma warga keturunan Jepang. Sementara untuk warga negara AS berlatar belakang Eropa seperti Jerman atau Italia tidak mengalami relokasi atau hanya dalam skala kecil. Sekitar 300.000 warga negara Jerman yang saat itu tinggal di Amerika misalnya cuma harus melaporkan diri secara berkala.
Foto: Public Domain
Minim Fasilitas
Bahwa keputusan tersebut diambil secara mendadak, terlihat dari ketidaksiapan pemerintah AS membangun fasilitas perumahan untuk mereka yang diasingkan. Sebagian bahkan dibiarkan tinggal di barak kayu tanpa dapur atau saluran pembuangan. Di banyak kamp, barak yang sedianya dibangun untuk empat orang disesaki hingga 25 orang.
Foto: Public Domain
Kondisi Muram
Pada 1943 Menteri Dalam Negeri AS Harold Ickles mengeluhkan kondisi di kamp yang dinilainya "buruk dan semakin parah." Pasalnya kualitas sebuah kamp bergantung pada pemerintahan negara bagian yang memfasilitasi pengasingan warga keturunan Jepang.
Foto: Public Domain
Doktrin dan Propaganda
Untuk sekitar 30.000 bocah yang ikut direlokasi paksa bersama keluarganya, kamp pengasingan serupa seperti pusat re edukasi. Mereka tidak hanya dilarang berbicara bahasa Jepang, tetapi juga dicekoki materi pelajaran berbau propaganda untuk membangun jiwa patriotisme. Minimnya tenaga pengajar dan buku pelajaran juga memperburuk kualitas pendidikan di kamp-kamp tersebut.
Foto: Public Domain
Melanggar Konstitusi
Pada Desember 1944, Mahkamah Agung Amerika Serikat memutuskan penahanan warga negara tanpa alasan jelas melanggar konstitusi. Keputusan tersebut mengakhiri praktik relokasi paksa terhadap warga keturunan Jepang. Tapi butuh waktu lebih dari satu tahun untuk membubarkan kamp-kamp pengasingan.
Foto: Public Domain
Aroma Permusuhan
Sebagian besar bekas tahanan diberikan uang sebesar 25 Dollar AS untuk melanjutkan hidup setelah masa pengasingan. Namun sejumlah lain diusir paksa kembali ke Jepang tanpa uang ganti rugi. Penduduk yang kembali ke kota asalnya juga dilaporkan mengalami presekusi dan teror, antara lain penembakan dan ledakan bom di rumah tinggal.
Foto: Public Domain
Setengah Abad Menunggu Maaf
Menyusul tekanan dari aktivis sipil, pemerintah Amerika Serikat 1980 akhirnya sepakat memberikan uang ganti rugi sebesar 20.000 Dollar AS terhadap setiap warga yang diasingkan. Namun baru 11 tahun kemudian korban relokasi mendapat permintaan maaf resmi dari Gedung Putih, yakni oleh Presiden George Bush Sr. (rzn/ap)
Foto: Public Domain
10 foto1 | 10
Kesenjangan sosial-ekonomi, persaingan politik, atau kompetisi dagang sering menjadi akar di balik kasus-kasus rasisme dan kekerasan anti-Cina seperti terjadi di Medan, Solo dan kota-kota lain. Meski begitu, peru dicatat, bukan berarti dimana-mana selalu terjadi perseteruan antara penduduk lokal dan komunitas Cina. Di Maluku, saya melihat relasi warga Cina dengan warga setempat terjalin cukup baik dan harmonis dalam bingkai simbiosis mutualisme. Demikian pula di Cirebon (Jawa Barat), Semarang (Jawa Tengah), dan sejumlah kota di Kalimantan Barat.
Buah diskriminasi
Meskipun hubungan Cina-warga lokal tidak selalu buruk, bukan berarti tidak ada konflik dan ketegangan. Jika konflik dan ketegangan ini tidak disikapi dengan bijak dan tidak dikelola dengan baik dan benar, maka berpotensi menjadi kekerasan komunal seperti terjadi di Medan dan lainnya. Kita juga masih ingat tragedi Mei 1998 yang memilukan itu. Kala itu, banyak warga Cina dan propertinya yang menjadi korban: dijarah, dibakar, dibunuh, diperkosa. Akibat kerusuhan ini, banyak warga Cina yang kabur ke luar negeri atau daerah lain di Indonesia yang cukup aman.
Sepanjang tatanan sosial-politik dan hukum masih rapuh dan ekonomi masih lemah, maka ancaman terhadap warga Cina masih terus berlanjut di negeri ini. Sepanjang ideologi-ideologi keagamaan intoleran masih berkembang, maka praktik rasisme terhadap Cina tidak akan berhenti. Sepanjang Pancasila yang menjunjung tinggi pluralitas dan kebangsaan itu belum dihayati dan diamalkan secara tulus oleh masyarakat, maka komunitas Cina akan tetap menjadi "target operasi” para elit yang korup, serakah dan arogan serta massa yang kalap, kerdil dan intoleran.
Prahara Mei 1998
Mei 1998 menjadi arus balik dalam sejarah demokrasi di Indonesia. Tapi bulan berdarah itu hingga kini masih menyisakan sejumlah pertanyaan tak terjawab perihal keterlibatan militer.
Foto: Juni Kriswanto/AFP/Getty Images
Kebangkitan Mahasiswa
Mai 1998 menandai perputaran sejarah Indonesia. Berawal dari ketidakpuasan rakyat atas kenaikan harga kebutuhan pokok, mahasiswa mulai bergerak memrotes pemerintahan Suharto. Saat itu presiden kedua Indonesia itu baru saja terpilih secara aklamasi oleh parlemen untuk ketujuh kalinya. MPR berdalih, kepemimpinan Suharto dibutuhkan di tengah krisis moneter yang melanda.
Foto: picture-alliance/dpa
Protes dari Kampus
Bibit protes sebenarnya sudah bermunculan sejak pengangkatan Suharto sebagai Presiden RI pada Maret 1998. Namun karena sebatas di wilayah kampus, aksi tersebut masih dibiarkan oleh militer. Kendati begitu bentrokan dengan aparat keamanan tetap tak terelakkan.
Foto: Getty Images/AFP/R. Gacad
Titik Api di Sumatera
Awalnya cuma sekelompok kecil mahasiswa yang berdemonstrasi menentang pemilihan ulang Suharto. Namun ketika pemerintah menaikkan harga barang pokok pada 4 Mai, rakyat kecil pun ikut terlibat. Penjarahan pertama muncul di Medan yang tidak berlangsung lama, tapi menjalar ke berbagai daerah.
Foto: Getty Images/AFP/P. Richards
Bara di Jakarta
Pada 9 Mei, sehari setelah kerusuhan Medan berakhir, Jakarta mulai bergolak. Tapi Suharto terbang ke Kairo untuk menghadiri KTT G15. Dia pulang lebih dini saat kerusuhan di Jakarta memasuki fase paling mematikan. Pada 12 Mei, 10.000 mahasiswa berkumpul di kampus Trisakti. Saat itu empat mahasiswa, Elang Mulia Lesmana, Hafidhin Royan, Hery Heriyanto dan Hendriawan Sie tewas tertembak peluru polisi.
Foto: picture-alliance/AP Images
Protes dari Luar Negeri
Peristiwa berdarah di Indonesia juga disimak oleh aktivis kemanusiaan asing dan mahasiswa Indonesia di mancanegara. Berbagai aksi protes digelar di Australia, Jerman, Belanda, Inggris (gambar), Swedia, Perancis dan Amerika Serikat.
Foto: Getty Images/AFP/J. Eggitt
Bergerak ke Senayan
Hingga tanggal 13 Mei kepolisian masih berupaya membarikade kampus-kampus di Jakarta untuk mencegah mahasiswa keluar. Sebagian yang berhasil menerobos, berkumpul di berbagai titik untuk kemudian bergerak ke arah Senayan. Momentum terbesar adalah ketika ribuan mahasiswa menduduki gedung MPR/DPR.
Foto: picture-alliance/dpa
Api di Klender
Termakan amarah lantaran mendengar kabar mahasiswa yang tewas ditembak, massa kembali melakukan aksi penjarahan di beberapa sudut kota. Yang terparah terjadi di kawasan Klender, di mana massa membarikade dan membakar gedung Yogya Department Store. Sekitar 1000 orang yang terjebak di dalam tewas seketika.
Foto: picture-alliance/dpa
Akhir Pahit Orde Baru
Aksi pendudukan mahasiswa terhadap gedung MPR/DPR dan tekanan internasional memaksa Presiden Suharto undur diri dari jabatannya. Diktatur yang berkuasa selama 32 tahun itu menyisakan republik yang carut marut oleh kasus korupsi dan pelanggaran HAM. Sesaat setelah pengunduran diri Suharto, Wapres B.J. Habibie memulai 517 hari perjalanannya membawa Indonesia kembali ke pangkuan demokrasi.
Foto: picture alliance/CPA Media
Saling Tuding di TNI
Tragedi 1998 menyisakan pertanyaan besar buat TNI. Bekas Pangkostrad, Prabowo Subianto diduga ikut mendalangi kerusuhan, berdasarkan temuan tim Gabungan Pencari Fakta. Bekas Jendral bintang tiga itu kemudian dipecat oleh Presiden Habibie menyusul isu kudeta yang disebarkan Panglima ABRI Wiranto. Prabowo sebaliknya menuding Wiranto lah yang mengeluarkan perintah agar TNI menyulut kerusuhan berdarah
Foto: Juni Kriswanto/AFP/Getty Images
9 foto1 | 9
Saya sendiri menilai kekerasan anti-Cina dewasa ini hanyalah "buah” dari politik diskriminasi dan segregasi sosial-politik yang diterapkan rezim pemerintah selama ini, khususnya sejak kolonial Belanda dan puncaknya pada masa Orde Baru (Orba) ketika orang-orang Cina hanya diposisikan sebagai sapi (perah), kambing (hitam) dan kelinci (percobaan).
Penting untuk diingat bahwa tragedi Medan atau Jakarta bukanlah awal dari kekerasan anti-Cina di Indonesia. Sudah puluhan kali sentimen anti-Cina meletus dalam bentuk kekerasan di negeri ini. Misalnya, pada saat Perang Jawa (1825–1830), kemudian pada waktu kerusuhan di Solo pada awal abad ke-20, yang kemudian terulang kembali pada 1998. Pada 1916, kerusuhan anti-Cina juga meledak di Kudus seperti ditulis Tan Boen Kim dalam buku klasiknya, Peroesoehan di Koedoes (1918). Setelah bangsa ini merdeka, tepatnya pada masa Orde Lama (Orla), juga terjadi lagi kekerasan terhadap warga Cina, yaitu pada tahun 1946–1948 dan 1963. Pada masa Orba, warga Cina mengalami puncak penderitaan. Sejak mereka dituding berada di balik layar PKI (Partai Komunis Indonesia), kampanye dan pengganyangan anti-Cina terus dilakukan secara sistematis. Hingga kini, sejumlah kelompok masih mengaitkan antara Cina dan komunisme, meskipun banyak di antara mereka yang anti-komunis. Kampanye anti-Cina ini tidak hanya dalam pengertian fisik saja tetapi juga dalam bentuk pemusnahan segala hal yang berbau Cina termasuk kebudayaan dan tradisi agamanya. Ini adalah bagian dari ironi dan sejarah gelap bangsa Indonesia.
Geger Pacinan: Sejarah Kelam Batavia 1740
Tumpahnya darah etnis Tionghoa di Batavia tahun 1740 menjadi bagian sejarah kelam ibukota metropolitan yang gemerlap ini.
Foto: Public Domain
Membangun Batavia
Awal abad ke-17, Belanda membutuhkan bantuan dalam pembangunan kota pesisir di Hinda Belanda. Kaum migran Tionghoa bekerja sebagai tukang bangunan, buruh pabrik gula dan berdagang. Sebagian tinggal di dalam tembok Batavia, sisanya di luar tembok. Beberapa di antara mereka menjadi kaya karena berdagang, namun tidak sedikit yang miskin dan dimanfaatkan oleh VOC.
Foto: Public Domain
Merosotnya pendapatan VOC
Awal awad ke 17, Kamar Dagang VOC kalah bersaing dengan maskapai dagang Inggris, Britisch East India Company. Alhasil VOC pusat menekan VOC Hindia Belanda untuk menaikkan pendapatan. Meningkatnya imigran Tionghoa yang masuk ke Batavia bukan lagi dianggap bantuan, melainkan ancaman. Tahun 1719, jumlah etnis Tionghoa lebih dari 7500 jiwa, sementara tahun 1739 melonjak jadi lebih dari 10 ribu.
Foto: public domain
Gula dunia merosot
Di pasar dunia, harga gula yang menjadi andalan VOC menurun, akibat banyaknya ekspor gula ke Eropa. Hal ini menyebabkan pabrik gula di Hindia Belanda terus merugi. Angka pengangguran termasuk para buruh gula Tionghoa di Batavia pun meningkat.
Foto: public domain
Aturan izin tinggal diperketat
Gubernur Jendral Hindia Belanda saat itu Adriaan Valckeneir memberlakukan aturan izin tinggal yang ketat. Ancamannya: penjara, denda atau di deportasi. Para etnis Tionghoa kaya merasa diperas. Semenatara itu isu berkembang, jika aturan izin tinggal tak dipenuhi, para buruh dan pengangguranTionghoa dikirim ke Zeylan (Sri Lanka). Etnis Tionghoa didera kecemasan.
Foto: Public Domain
Korupsi merajalela
Sementara kaum Tionghoa terdiskriminasi oleh pembatasan itu, oknum pejabat diduga memanfaatkan aturan untuk meraup duit ke kocek mereka sendiri. Situasi itu menciptakan rasa frustrasi yang berlanjut dengan perlawanan terhadap VOC. Perlawanan terjadi tanggal 7 Oktober 1740. Ratusan etnis Tionghoa menyerbu pabrik gula, pos-pos keamanan VOC, disusul serangan ke Benteng Batavia keesokan harinya.
Foto: Public Domain
Konflik internal di Dewan Hindia
Kebijakan pembatasan etnis Tionghoa sebenarnya ditentang keras oleh beberapa kalangan lain di Dewan Hindia, misalnya mantan gubernur Zeylan, Gustaaf Willem baron van Imhoff, yang datang kembali ke Batavia tahun 1738. Namun Valckeneir tetap mengambil tindakan tegas dan mematikan dalam mengatasi kerusuhan di bawah otoritasnya.
Foto: Public Domain
Pecah pemberontakan
Situasi itu menciptakan rasa frustrasi yang berlanjut dengan perlawanan terhadap VOC. Perlawanan memuncak pada tanggal 7 Oktober 1740. Ratusan etnis Tionghoa menyerbu pabrik gul, pos-pos keamanan VOC, disusul serangan ke Benteng Batavia kesokan harinya.
Foto: Public Domain
Pembumihangusan rumah kaum Tionghoa
9 Oktober 1740, tentara VOC mengatasi pemberontakan, berbalik mengejar pemberontak. Rumah-rumah & pasar warga Tionghoa dibumihanguskan. Ratusan warga Tionghoa lari ke kali, diburu & dibantai tanpa ampun. Kali Angke & Kali Besar banjir darah. Razia etnis Tionghoa berlanjut. Bahkan Dewan Hindia menjanjikan hadiah per kepala etnis Tionghoa yang dipancung. Hal itu memancing etnis lain ikut memburu.
Foto: Public Domain
Gustaaf Willem van Imhoff gantikan van Valkeneir
Diperkirakan hanya sekitar 600 hingga 3000 etnis Tionghoa yang selamat akibat insiden itu. Valckeneir ditarik kembali ke Belanda dan tahun 1742 ia digantikan Gustaaf Willem Imhoff yang berhasil meyakinkan pemegang saham utama VOC, bahwa Valckenier yang memicu pembantaian di Batavia.
Foto: Public Domain
9 foto1 | 9
Kekerasan anti-Cina terbesar terjadi pada tahun 1740 yang dikenal dengan Chineezenmoord ("Pembantaian orang-orang Cina”) di Batavia (kini Jakarta). Pada saat itu, lebih dari 10.000 nyawa orang Cina melayang. Banyak sejarawan menduga otak dari genosida ini adalah VOC karena Cina dianggap sebagai pesaing strategis dalam bidang perekonomian. Cina waktu itu memang menguasai hampir semua sektor perdagangan. Para syahbandar (penguasa pelabuhan) banyak dikontrol dan dikuasai Cina. Mereka juga banyak yang menduduki jabatan sebagai adipati dan elit kerajaan di Jawa. Jan Risconi telah menguraikan cukup baik peristiwa 1740 ini dalam disertasinya Sja'ir Kompeni Welanda Berperang dengan Tjina (1935).
Setelah peristiwa 1740 itu, VOC mengeluarkan sebuah keputusan yang disebut passenstelsel, yaitu keharusan bagi setiap warga Cina untuk mempunyai surat jalan khusus (semacam paspor) apabila hendak bepergian ke luar distrik tempat mereka tinggal. Dengan adanya surat jalan ini, VOC dapat mengawasi aktivitas sosial warga Cina, mencegah percampuran budaya (untuk memelihara perbedaan ala rasisme), dan mencegah interaksi sosial-politik-ekonomi komunitas Cina dengan penduduk lain. Selain passenstelsel, VOC juga mengeluarkan peraturan yang disebut wijkenstelsel. Peraturan ini melarang orang Cina untuk tinggal di tengah kota dan mengharuskan mereka untuk membangun suatu ghetto khusus sebagai tempat tinggal, yang kelak dikenal dengan nama "Pecinan”. Tujuan peraturan ini jelas untuk mengisolasi dan memutus kontak Cina dengan penduduk lain.
Diskriminasi Kulit Hitam di Amerika Serikat
Diskriminasi terhadap warga kulit hitam di Amerika Serikat masih menjadi momok. Di banyak bidang situasinya justru memburuk setelah era Martin Luther King.
Foto: picture-alliance/dpa/Justin Lane
Sebuah Ilusi tentang Persamaan
Ketika Barack Obama dikukuhkan sebagai presiden kulit hitam pertama AS, banyak yang menilai Amerika Serikat telah memasuki era "Post Racial", sebuah negara tanpa perbedaan ras dan diskriminasi. Tidak cuma kasus di Ferguson, data-data statistik lainnya mengubur imipian tersebut.
Foto: Reuters
Kemiskinan
Penduduk kulit hitam mendominasi statistik kemiskinan Amerika Serikat. Situasi tersebut tidak berubah banyak sejak 30 Tahun lalu. Tahun 1974 cuma 8 persen warga kulit putih dililit kemiskinan (kini 10%), sementara pada warga kulit hitam jumlahnya sebesar 30 persen (kini 28%).
Foto: Reuters
Separuh Prespektif
Diskriminasi di pasar tenaga kerja AS berlangsung hampir secara sistematis. Tingkat pengangguran masyarakat kulit hitam sejak 50 tahun adalah dua kali lipat lebih tinggi ketimbang warga kulit putih. Mirisnya jumlah tersebut tidak berubah terlepas dari pertumbuhan ekonomi atau perubahan pada tingkat pengagguran secara umum.
Foto: picture-alliance/dpa/Justin Lane
Perbedaan Pendapatan
Sejak 1950 pendapatan rata-rata warga kulit hitam selalu berada di bawah 60% dari upah yang diterima oleh warga kulit putih. Cuma pada tahun 1969/1970 jumlahnya meningkat menjadi sekitar 63 persen.
Foto: DW/G. Schließ
Jurang Kemakmuran
Saat ini rata-rata kekayaan warga kulit putih berkisar 97.000 US Dollar. Sementara warga hitam cuma berkisar 4.900 USD, atau 1500 USD lebih sedikit ketimbang tahun 1980. Melihat perbedaan pendapatan antara dua kelompok yang signifikan, tidak heran jika kemampuan warga Afro-Amerika buat menabung atau menyimpan harta lebih sedikit ketimbang warga kulit putih.
Foto: picture alliance/landov
Risiko Dibui
Peluang buat seorang warga kulit hitam mendekam di balik terali bui enam kali lipat lebih besar ketimbang seorang kulit putih. Menurut data NAACP, organisasi lobi kulit hitam AS, jumlah warga kulit putih yang menggunakan narkoba lima kali lipat lebih banyak ketimbang warga hitam. Namun warga Afro-Amerika yang didakwa terkait narkoba berjumlah 10 kali lipat lebih banyak ketimbang kulit putih
Foto: M. Tama/Getty Images
Cuma Pendidikan Dasar
Menurut catatan tahun 2012, cuma 21 persen warga Afro-Amerika yang memiliki ijazah universitas. Sementara warga kulit putih mencatat angka 34 persen. Secara ironis Departemen Pendidikan AS mengeluarkan statistik 2009 lalu, bahwa untuk pertamakalinya terdapat lebih banyak pemuda kulit hitam yang sedang berkuliah ketimbang mendekam di penjara.
Foto: Reuters
Pendidikan Terpisah
Pengucilan adalah keseharian pada sistem pendidikan AS. Hampir 40 persen bocah kulit hitam menempuh pendidikan di sekolah-sekolah yang juga didominasi oleh murid Afro-Amerika. Jumlah ini banyak berkurang ketimbang tahun 1968 yang mencatat angka 68%. Tidak berubah adalah fakta bahwa tigaperempat bocah kulit hitam belajar di sekolah yang lebih dari 50% muridnya non kulit putih.
Foto: Chris Hondros/Newsmakers/Getty Images
Besar di Ghetto
Segregasi di tengah masyarakat AS juga terlihat pada tempat tinggal. 45 persen bocah kulit hitam yang berasal dari keluarga miskin, hidup di wilayah-wilayah kumuh atau Ghetto. Sebaliknya cuma 12 persen bocah kulit putih yang hidup dalam situasi serupa.
Foto: picture alliance / blickwinkel/Blinkcatcher
Dua Realita yang Berjauhan
Lebih dari 50% warga kulit hitam Amerika Serikat menyebut empat hal sebagai ladang diskriminasi, yakni perlakuan aparat kepolisian, pekerjaan, pengadilan dan sekolah. Sementara pada warga kulit putih jumlahnya kurang dari 30 persen. Secara keseluruhan penduduk Afro-Amerika meyakini adanya praktik diskriminasi berbau rasisme terhadap mereka, entah itu di restoran atau rumah sakit.
Foto: Getty Images
Euforia Berakhir
Sebanyak 35% Warga kulit putih menilai kondisi hidup mereka lebih baik ketimbang lima tahun lalu. Sementara pada warga Afro-Amerika, jumlahnya cuma berkisar 26 persen. Euforia sempat memuncak ketika Barack Obama terpilih sebagai presiden Amerika 2009 silam. Namun kini harapan akan perbaikan situasi warga kulit hitam tergerus oleh realita.
Foto: Reuters
11 foto1 | 11
Ketika Orba mengkopi politik Belanda
Politik segregasi model kolonial Belanda ini kelak difotokopi oleh pemerintah Orba. Berbagai macam peraturan diskriminatif, baik dalam bentuk Peraturan Pemerintah maupun Surat Keputusan Kabinet, dibuat agar jurang perbedaan antara Cina dan etnis lain tetap terpelihara dengan baik. Setidaknya ada sekitar 21 peraturan perundang-undangan yang rasis-diskriminatif diterapkan oleh Orba terhadap etnis Cina. Bahkan dulu dibuat satu badan intelijen khusus yang bertugas untuk mengawasi "masalah Cina” yang bernama Badan Koordinasi Masalah Cina (BKMC).
Anehnya, perlakuan diskriminatif ini tidak berlaku bagi "etnis asing” lain seperti Arab. Lebih ironis lagi, berbagai keputusan diskriminatif itu diambil bersamaan ketika rezim Orba memakai banyak pengusaha Cina dalam program pembangunan ekonominya. Rupanya, sentimen rasis dipelihara oleh Orba untuk mengontrol kepatuhan Cina terhadapnya.
Meskipun kini Orba sudah "almarhum”, tetapi bukan berarti warga Cina bisa hidup bebas dan dijamin hak-hak politik mereka sebagai warga negara. Memang ada yang menggembirakan di "era reformasi” ini. Beberapa peraturan diskriminatif seperti Inpres No. 14 tahun 1967 yang pada masa Orba dijadikan tameng pembersihan segala hal yang berbau Cina sudah dicabut pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) untuk kemudian diganti dengan Keputusan Presiden No. 6/2000 yang lebih manusiawi. Setigma "pribumi” dan "non-pribumi” yang menyesatkan itu juga sudah dihapus seiring dengan terbitnya Inpres No. 26 Tahun 1998.
Wara Wiri Gubernur Petahana
Meski segudang prestasi, gaya kepemimpinan Basuki Tjahaja Purnama di Jakarta banyak mendulang kontroversi. Ini sejumlah skandal yang digunakan musuh politiknya untuk menohok bekas Bupati Belitung Timur tersebut
Foto: picture-alliance/AP Photo/D. Alangkara
Pro dan Kontra
Gayanya yang blak-blakan dan terbuka kerap memicu perang mulut dengan sejumlah politisi atau pejabat di Jakarta. Ahok yang mengincar kursi DKI 1 pada Pilkada 2017 harus menghadapi sejumlah skandal untuk bisa melanjutkan masa jabatannya. Mampukah musuh-musuh politiknya menjungkalkan Ahok?
Foto: picture-alliance/epa/B. Indahono
Singkat Kata Penistaan Agama
Berawal dari pidatonya di Pulau Seribu ihwal politisasi surat Al-Maidah 51, Ahok kini berseteru dengan kelompok Islam konservatif yang digalang FPI buat mencari keadilan di depan meja hijau. Polemik penistaan agama menjadi bola liar pada pilkada, lantaran dampaknya pada elektabilitas yang dinamis dan sulit diukur. Sidang kasus penodaan agama menjadi batu sandungan terbesar ahok menuju kursi DKI 1
Foto: Reuters/B. Indahono/Pool
Reklamasi Sarat Kontroversi
Simpang siur soal kewenangan pemberian izin reklamasi pantai utara Jakarta adalah batu sandungan terbesar buat Ahok jelang Pilkada 2017. Sang gubernur diyakini menyalahi aturan soal pemberian izin. Proyek raksasa tersebut akhirnya ditunda setelah pemerintah turun tangan. KPK menangkap anggota DPRD DKI Sanusi dan Direktur Agung Podomoro Land, Ariesman Widjaja, atas dugaan kasus suap reklamasi.
Foto: Fotolia/aseph
Sumber Waras Tanah Bertulah
Berawal dari audit Badan Pemeriksa Keuangan, pembelian lahan di rumah sakit Sumber Waras memicu kontroversi karena diindikasikan sarat korupsi. Kasusnya hingga ditangani KPK. Negara ditengarai merugi sekitar 191 miliar Rupiah lantaran pembengkakan harga tanah. Tapi pemerintah daerah DKI meragukan keabsahan audit BPK karena dinilai menghitung harga tanah di jalan yang salah.
Foto: Gacad/AFP/Getty Images
Tumbang Luar Batang
Dengan rencana menata kampung Luar Batang dan Pasar Ikan di Jakarta Utara untuk dijadikan Kawasan Wisata Bahari Sunda Kelapa, Ahok menggusur rumah penduduk yang berdiri di atas tanah ilegal. Penggusuran itu mendulang kritik karena dinilai merugikan kaum miskin. Pemda DKI berkilah telah menyediakan rumah susun yang lebih layak untuk penduduk Luar Batang.
Foto: Reuters/Beawiharta
Darah Kurban di Jalur Hijau
Menjelang hari raya Idul Adha ratusan massa Front Pembela Islam menyantroni Gedung DPRD DKI Jakarta. Mereka mengecam Ahok karena telah melarang penyembelihan dan penjualan hewan kurban. Pemda DKI sebaliknya mengatakan cuma menjalankan peraturan daerah yang melarang penjualan hewan kurban di jalur hijau.
Foto: Reuters/Darren Whiteside
Geger Kalijodo
Selama berpuluh tahun Kalijodo dibiarkan menjadi sarang prostitusi gelap. Ahok nekad menggusur kawasan tersebut untuk dijadikan jalur hijau. Langkah pemda DKI disambut gugatan di PTUN oleh sejumlah tokoh masyarakat Kalijodo. Ahok juga dikritik lantaran menyertakan 1000 tentara dan polisi untuk mengawal penggusuran. Kisruh langsung mereda setelah penggusuran berakhir.
Foto: Imago/Xinhua
Kisruh Bantar Gebang
Berawal dari keluhan DPRD Bekasi soal sampah Jakarta, kisruh seputar TPS Bantar Gebang kembali bergulir. Ahok sebaliknya menuding pengelola TPS, PT. Godang Tua wanprestasi. Hasilnya truk-truk sampah DKI dihadang massa tak dikenal. Ahok pun bentrok dengan DPRD. Kisruh berakhir setelah Presiden Joko Widodo turun tangan.
Foto: Reuters/D. Whiteside
Anggaran Siluman
Akhir 2014 Ahok murka lantaran menemukan dana siluman sebesar 8,8 trilyun dalam rancangan APBD 2015 yang telah digodok DPRD DKI. Setelah coret sana-sini, APBD kembali diserahkan kepada parlemen untuk dibahas. Namun DPRD memilih berpolemik karena merasa tudingan Ahok soal adanya indikasi mafia anggaran tidak berdasar. APBD DKI akhirnya baru disahkan bulan Februari dengan menggunakan pagu ABPD 2014.
Foto: Imago
9 foto1 | 9
Dalam Inpres tersebut juga diinstruksikan agar semua pejabat pemerintah memberikan layanan yang sama kepada setiap warga negara serta menginstruksikan dilakukan peninjauan kembali dan penyelesaian seluruh produk hukum perundang-undangan, kebijakan, program dan kegiatan yang telah ditetapkan dan dilaksanakan. Kebijakan tersebut termasuk dalam bidang pemberian layanan dalam perizinan usaha, keuangan/perbankan, kependudukan, pendidikan, kesehatan dan kesempatan kerja lainnya. Selain itu, Presiden Habibie dulu juga mengeluarkan Inpres No. 4 tahun 1999 yang menghapuskan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) dan izin pelajaran bahasa Mandarin.
Walaupun di tingkat yuridis-formal, politik segregasi-diskriminatif semacam ini tidak lagi mendapat tempat, akan tetapi di tingkat praktis, kultur, dan mental masyarakat (termasuk kelompok elit), hal ini tidak sepenuhnya pupus. Di sana-sini kita masih menyaksikan sejumlah perlakuan diskriminatif terhadap warga Cina, baik dilakukan secara terbuka maupun terselubung, menyangkut hak-hak sipil dan hak-hak sosial budaya dan politik mereka. Inpres yang mencabut SBKRI juga diabaikan.
Sebaliknya, sebagian "oknum” pejabat masih memberlakukan UU Kewarganegaraan No. 62/1958 (Lembaran Negara No. 113 tahun 1958) yang sangat terbuka untuk menjadi ladang pemerasan terhadap warga Cina. Watak atau mentalitas seperti inilah yang perlu "diruwat” dan "direformasi” atau "direvolusi” guna menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.
Inilah Pemberi Utang Terbesar buat Indonesia
Menurut Statistik Utang Luar Negeri yang dirilis Bank Indonesia, utang pemerintah saat ini mencapai 4000 triliun Rupiah. Inilah daftar negara dan lembaga internasional yang meminjamkan uang paling banyak buat Indonesia
Foto: picture alliance/AFP Creative/K. Bleier
1. Singapura
54,1 miliar Dollar AS atau sekitar 728 triliun Rupiah
Foto: O. Barbieri
2. Jepang
32,9 miliar Dollar AS atau sekitar 442,8 triliun Rupiah
Foto: Getty Images/AFP/Y. Tsuno
3. Bank Dunia
17,2 miliar Dollar AS atau sekitar 231,5 triliun Rupiah
Foto: ullstein - Giribas
4. Cina
14,3 miliar Dollar AS atau sekitar 192,5 triliun Rupiah
Foto: picture-alliance/dpa/H.H. Young
5. Amerika Serikat
10,3 miliar Dollar AS atau sekitar 138,6 triliun Rupiah
Foto: Getty Images/AFP/Joe Raedle
6. Belanda
9,3 miliar Dollar AS atau sekitar 125,1 triliun Rupiah
Foto: Jenifoto-Fotolia.com
7. Asian Development Bank
9 miliar Dollar AS atau sekitar 121,1 triliun Rupiah
Foto: Reuters/E. De Castro
7 foto1 | 7
Hentikan kekerasan
Ke depan, semua elemen masyarakat dan pemerintah harus menghentikan segala bentuk sentimen dan kekerasan—baik kekerasan fisik maupun kekerasan kultural—terhadap warga Cina (dan juga terhadap etnis lain di Indonesia). Semua pihak perlu memelihara kerukunan dan kebersamaan serta menjaga persaudaraan universal antar-manusia yang lintas etnis dan agama.
Ingatlah bahwa Indonesia dibangun tidak oleh—dan untuk—satu atau beberapa etnis saja melainkan oleh (dan untuk) semua etnis yang ada di seluruh penjuru Nusantara termasuk tentu saja Cina sebagai bagian integral dari bangsa ini karena memang banyak tokoh Cina yang berkontribusi positif bagi perjuangan dan kemerdekaan RI. Untuk menatap masa depan bangsa yang gemilang, kita perlu memantapkan spirit kebangsaan atau nasionalisme bagi kesejahteraan bersama. Bagi masyarakat Cina khususnya, fenomena sentimen anti-Cina ini merupakan tantangan serius untuk membuktikan kadar kecintaan dan nasionalisme mereka, kemudian bersama-sama dengan etnis lain memperjuangkan republik ini agar kelak menjadi negara yang kuat secara ekonomi serta makmur dalam keadilan dan adil dalam kemakmuran sehingga diharapkan sentimen anti-Cina bisa pupus di kemudian hari.
Penulis: Sumanto Al Qurtuby
Dosen Antropologi Budaya dan Kepala Scientific Research in Social Sciences, King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi, serta Senior Scholar di National University of Singapore. Ia memperoleh gelar doktor dari Boston University serta telah menulis ratusan artikel ilmiah dan puluhan buku, antara lain Religious Violence and Conciliation in Indonesia (London & New York: Routledge, 2016).
Cina di Afrika: Kutukan atau Berkah?
Cina ingin mengubah imej - menjauh dari pengeksploitasi sumber daya Afrika dan menuju mitra pembangunan. Berikut langkah-langkah yang ditempuh Beijing untuk merebut hari Afrika.
Foto: AFP/Getty Images
Mitra yang Setara?
Cina membawa jalanan beraspal, stadion sepakbola, dan layanan akses internet berkecepatan tinggi ke Afrika. Pada saat bersamaan, mereka mengekstrak minyak bumi dan bahan mentah lainnya dalam jumlah besar. Cina adalah mitra dagang terbesar Afrika. Volume perdagangan diharapkan naik menjadi 303 miliar Euro pada tahun 2020. Kritikus khawatir hanya akan ada satu pemenang dalam kemitraan ini: Cina.
Foto: Getty Images
Proyek Bantuan Pembangunan Pertama
Kerjasama Cina-Afrika dimulai tahun 50-an dan 60-an. Sebagai wujud ikatan sosialis, Cina membiayai konstruksi jalur kereta untuk transportasi bijih tembaga dari Zambia menuju Dar Es Salaam, kota terbesar di Tanzania. Proyek ini bermaksud untuk mendemonstrasikan kemitraan antaretnis dan solidaritas pekerja. Jalur ini masih aktif hingga sekarang.
Foto: cc-by-sa-Jon Harald Søby
Kritik dari Barat
Tahun 90-an, Cina mengubah kebijakannya di Afrika dan berhasil mengamankan ladang minyak dan tambang logam berharga di Afrika. Pemerintahan di Beijing tidak segan untuk bekerjasama dengan rezim otoriter dan korup. Ini tidak diterima dengan baik oleh Eropa dan Amerika Serikat. Kritikus menilai Cina hanya tertarik untuk mengeksploitasi sumber daya alam dan bukan kesejahteraan warga Afrika.
Foto: picture-alliance/Tong jiang
Mitra Bisnis yang Meragukan
Cina juga berbisnis dengan Presiden Sudan Omar al-Bashir, yang sudah didakwa oleh Mahkamah Pidana Internasional atas tuduhan genosida. Cina adalah investor paling penting bagi industri minyak Sudan dan mendanai konstruksi bendungan Merowe di Sudan, terbesar di Afrika.
Foto: picture-alliance/dpa
Hadiah bagi Uni Afrika
Cina bersedia membayar untuk mempunyai hubungan baik dengan Afrika. Tahun 2012 Beijing membiayai pembangunan markas Uni Afrika di Addis Ababa. Pada upacara pembukaan, ketua delegasi Cina mengatakan bahwa Cina akan mendukung negara-negara Afrika dalam memperluas kekuatan serta kebebasan mereka.
Foto: Imago
Penguasa Pasar Ponsel
Dua perusahaan Cina mendominasi pasar telekomunikasi Afrika: ZTE dan Huawei. Pemerintah dari seluruh penjuru benua itu berbisnis dengan mereka. Di Ethiopia, Huawei dan ZTE mendirikan jaringan 3G untuk seluruh negeri dengan biaya 1,3 miliar Euro. Di Tanzania, kedua perusahaan Cina itu membentangkan sekitar 10.000 kilometer kabel serat kaca.
Foto: AFP/Getty Images
Pesaing yang Tidak Dicintai
Tak hanya perusahaan besar, tapi juga ribuan warga Cina pergi ke Afrika untuk meningkatkan pemasukan. Mereka membuka usaha kecil dengan menjual produk-produk murah Cina: pecah belah, perhiasan modis, barang elektronik. "Banyak pedagang Afrika yang tidak senang dengan adanya kompetisi baru," ujar ekonom Kenya, David Owiro.
Foto: DW/J. Jaki
Mengharapkan Pekerjaan
Baik itu usaha kecil atau pembangunan jalan, "orang Afrika hampir tidak diuntungkan oleh keterlibatan Cina. Perusahaan Cina membawa pekerja sendiri," ungkap Owiro. Ini mungkin berubah di Afrika Selatan. Cina baru saja membangun pabrik perakitan untuk truk. Pemerintah Afrika Selatan memuji proyek ini sebagai tonggak sejarah menuju industrialisasi Afrika dan menyebut lapangan kerja yang diciptakan.
Foto: Imago
Perbaikan Imej
"Cina khawatir akan reputasinya di mata dunia," kata Yun Sun dari lembaga pemikir Brookings. Kritik media yang menyebut Cina hanya tertarik pada sumber daya alam Afrika telah mendorong perubahan ini. Pemerintah Beijing telah mengeluarkan daftar program bantuan, yang termasuk 30 rumah sakit, 150 sekolah, 105 proyek air dan energi regeneratif.
Foto: AFP/Getty Images
Berusaha Memukau
Cina telah meluncurkan serangan media besar-besaran untuk memenangkan dukungan bagi misinya di Afrika. Laporan-laporan oleh media penyiaran Cina memiliki fokus bisnis yang jelas. Afrika digambarkan sebagai benua yang makmur. Laporan semacam ini disambut baik warga Afrika ketimbang latar belakang laporan negatif yang berdekade lamanya dilancarkan media barat.