UU Keimigrasian Jerman Tolak Warga Asing Tanpa Kualifikasi
2 Oktober 2018
Pemerintah Jerman akhirnya menyepakati UU Keimigrasian baru yang mempersulit warga asing tanpa kualifikasi untuk bermigrasi. Melalui UU baru tersebut, pengungsi yang berhak mendapat suaka akan diprioritaskan.
Iklan
Koalisi pemerintah Jerman menyepakati Undang-undang Keimigrasian baru menyusul proses pembahasan yang alot seputar isu pengungsi. UU baru tersebut terinspirasi dari model keimigrasian Kanada yang mempersulit kaum berpendidikan rendah dan kaum miskin untuk bermigrasi ke Jerman.
Kesepakatan tersebut bertumpu pada prinsip pemisahan antara pencari suaka dan buruh migran," serta memastikan mereka yang memiliki hak untuk mendapat suaka benar-benar bisa bermigrasi ke Jerman.
Namun salah satu pasal yang tertera dalam rancangan tersebut membuat warga negara non-EU tanpa kualifikasi akademis atau kontrak kerja nyaris mustahil untuk bisa menetap di Jerman. "Kami tidak ingin imigrasi dari warga negara non-EU yang tidak berkualifikasi," begitu bunyi siaran pers pemerintah.
Layaknya Kanada, imigran asing akan ditempatkan di dalam sistem ranking berdasarkan tingkat pendidikan, usia, kemampuan bahasa, tawaran kerja dan "keamanan finansial."
Bagaimana Pengalaman Pencari Suaka Jalankan Ramadan Pertama di Sisilia?
Di Sisilia, Italia, pencari suaka yang baru tiba, jalani Ramadan pertama mereka jauh dari rumah. Bagi banyak orang, ini adalah latihan untuk bertahan dan beradaptasi dengan tantangan budaya.
Foto: DW/D.Cupolo
Puasa di negeri asing
Sampai tahun 2017, Italia telah menerima 85 persen imigran tak resmi yang masuk ke Eropa. Sebagian besar pendatang baru berkeyakinan Islam. Sebagian dari mereka, baru pertama kali ini merasakan Ramadan jauh dari rumah. Berbulan suci di luar negeri, mereka berusaha menemukan penyegaran rohani, seperti di Masjid Rahim Ar-Rahmah di Sisilia, Italia ini.
Foto: DW/D.Cupolo
Beradaptasi dengan Eropa
Berpuasa di siang hari juga menjadi momen berinteraksi sosial. Saat tiba dari Nigeria, Galadima, yang masih berusia 16 tahun alami keterkejutan budaya. "Hal yang paling mengagetkan tentang Eropa adalah Anda bisa melihat orang-orang yang sama di jalanan selama berbulan-bulan, tapi tidak tahu siapa nama mereka," katanya. "Ini sangat aneh."
Foto: DW/D.Cupolo
Jam puasa lebih lama
Perbedaan terbesar dalam Ramadan bukan hanya dalam hal budaya, melainkan juga geografis. Jarak yang jauh dari khatulistiwa mengakibatkan matahari bersinar lebih lama di musim panas, sehingga jam puasa pun lebih lama. "Saya tidak pernah berpikir seseorang bisa berpuasa dari jam 3 pagi sampai jam 9 malam," kata Galadima. "Sekarang saya berpuasa sepanjang hari dan lumayan kaget."
Foto: DW/D.Cupolo
Tumbuhnya komunitas Bangladesh
Migran dari negara-negara sub-Sahara dan Afrika timur secara tradisional tiba di Italia melalui rute penyelundupan di Libya. Warga negara Bangladesh sekarang juga menggunakan rute tersebut dan jumlahnya yang masuk ke Italiapun meningkat, demikian menurut kementerian dalam negeri Italia.
Foto: DW/D.Cupolo
Quran dalam bahasa Bengali
Sebagai tanggapan atas keragaman migran yang tiba di Sisilia, Ismail Bouchnafa, imam Masjid Ar-Rahmah mengisi rak-rak bukunya dengan Quran yang diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa. "Orang-orang dari seluruh dunia datang untuk beribadah di sini," kata Bouchnafa, yang berasal dari Maroko. "Kami mengelolanya bersama, karena kami semua berada di sini untuk alasan serupa."
Foto: DW/D.Cupolo
Hanya persinggahan
"Masjid kami makin ramai, tapi Sisilia hanya jadi persinggahan. Sedikit migran yang tinggal untuk jangka waktu lama di sini karena tidak ada pekerjaan, lalu mereka melanjutkan perjalanan," lanjut Bouchnafa. "Ada banyak hal yang ingin kita lakukan untuk membantu migran dalam perjalanan mereka, tapi hanya ada sedikit waktu dan dana ... biasanya, kita mencarikan tempat berlindung."
Foto: DW/D.Cupolo
Benturan budaya
Khan, 28 tahun, seorang tukang las asal Pakistan berbagi pengalaman interaksi sosial. "Ini adalah budaya yang sangat berbeda dari kita, Italia bukan negara yang banyak penganut Islam, saya sendiri bukan orang Kristen, tapi tidak masalah, asalkan kita bisa saling memperlakukan dengan baik dan respek."
Foto: DW/D.Cupolo
Tidak ada libur
Toko-toko tradisional di Italia selatan tutup pada tengah hari untuk istirahat makan siang atau "tidur siang", namun pemilik toko di Bangladesh mencari nafkah dengan kerja berjam-jam lamanya dan hal yang sama berlaku saat mereka berpuasa. "Kami tetap buka meski kami lelah," kata Momin Mattubbar, dari Bangladesh tiba di Italia delapan bulan lalu. "Tidak sulit berpuasa, ini agama kami."
Foto: DW/D.Cupolo
Kuliner yang nikmat
Bagi banyak migran, Ramadan juga identik dengan masakan tertentu dari negara asalnya. Mengalami Ramadan di luar negeri berarti mencoba makanan baru, seringkali dengan hasil yang beragam. "[Orang Afrika] biasa makan ayam dan nasi," kata Ismail Jammeh, seorang mediator budaya. "Mereka tidak tahu apa itu bakso atau pasta apa. Bahkan ketika saya pertama kali datang, saya tidak suka pasta."
Foto: DW/D.Cupolo
Rasa kesepian
"Pada hari-hari di bulan suci, kami mengingat kembali kampung halaman kita dan merasa sangat sendirian," kata Mala, seorang remaja yang baru saja tiba melalui Libya. "Ini adalah Ramadan pertama saya tanpa keluarga. Kami orang asing di Italia dan kami stres di tanah baru ini. Berada di sini tanpa keluarga adalah bagian tersulit." (Ed: Diego Cupolo /ap/hp)
Foto: DW/D.Cupolo
10 foto1 | 10
Kesepakatan tersebut ditandatangani Menteri Ketenagakerjaan asal partai SPD, Hubertus Heil, dan Menteri Dalam Negeri dari CSU, Horst Seehover. Seehofer yang merupakan tokoh konservatif sejak lama mendesak reformasi keimigrasian sebagai reaksi atas krisis pengungsi 2015. Ia bahkan mengancam akan mengundurkan diri Juni silam jika tuntutannya tidak dipenuhi.
"Tenaga kerja berkualifikasi dari luar negeri sudah membuat kontribusi signifikan dalam memperkuat daya saing perekonomian Jerman," seperti yang tertulis dalam rancangan UU yang antara lain dibuat untuk menutup kekurangan tenaga kerja ahli.
Salah satu isu yang tidak masuk dalam butir kesepakatan adalah dispensasi alias pengecualian untuk pengungsi atau pencari suaka yang ditolak, namun telah terintegrasi secara baik di dalam masyarakat Jerman.
Kepada kantor berita DPA, Hubertus Heil, mengaku Seehofer juga menyetujui butir bahwa pemerintah harus berhati-hati agar "tidak mendeportasi orang yang salah."
Undang-undang Keimigrasian yang baru juga memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk menutup pintu imigrasi untuk jenis pekerjaan tertentu jika dirasa perlu.
rzn/hp
Foto Ikonik Krisis Pengungsi Di Eropa
Jutaan pengungsi hijrah ke Eropa antara tahun 2015 dan 2016. Pemberitaan migrasi gelap dan penderitaan para pengungsi beberapa tahun terakhir turut mempengaruhi opini publik di Eropa.
Foto: picture alliance/AP Photo/E. Morenatti
Upaya mempertahankan hidup
Pengungsian dan penderitaan: Ratusan ribu orang, kebanyakan berasal dari Suriah, masuk ke Yunani dari Turki tahun 2015 dan 2016. Sekitar 10.000 orang terdampar di pulau Lesbos, Chios dan Samos. Tahun 2017, tercatat sudah lebih dari 6.000 pengungsi yang datang dari Januari sampai Mei.
Foto: Getty Images/AFP/A. Messinis
Berjalan kaki menembus Eropa
Tahun 2015 dan 2016, lebih satu juta orang mencoba mencapai Eropa Barat dari Yunani atau Turki melalui rute Balkan - lewat Makedonia, Serbia dan Hungaria. Aliran pengungsi hanya terhenti ketika rute ini ditutup secara resmi. Saat ini, sebagian besar pengungsi memilih rute Mediterania yang berbahaya dari Libya ke Eropa.
Foto: Getty Images/J. Mitchell
Kemarahan global
Gambar ini mengguncang dunia. Mayat bocah Aylan Kurdi berusia tiga tahun dari Suriah hanyut di pantai di Turki, September 2015. Foto ini tersebar luas dengan cepat lewat jejaring sosial dan menjadi simbol krisis pengungsi.
Foto: picture-alliance/AP Photo/DHA
Kekacauan dan keputusasaan
Kerusuhan di menit-menit terakhir: Ribuan pengungsi mencoba masuk ke dalam bus yang sudah penuh sesak dan kereta api di Kroasia setelah mengetahui rute melalui Eropa akan segera ditutup. Pada Oktober 2015, Hongaria menutup perbatasannya dan membuat kamp penampungan tempat pengungsi tinggal selama proses pendaftaran suaka.
Foto: Getty Images/J. J. Mitchell
Perbatasan ditutup
Penutupan resmi rute Balkan bulan Maret 2016 menyebabkan kondisi kacau-balau di seberang perbatasan. Ribuan pengungsi yang terdampar mulai marah dan putus asa. Banyak yang mencoba menyeberangi perbatasan dengan segala cara, seperti para pengungsi ini di perbatasan Yunani-Makedonia tak lama setelah perbatasan ditutup.
Seorang anak berbalut debu dan darah: Foto Omran yang berusia lima tahun mengejutkan publik saat dirilis tahun 2016. Ini menjadi gambaran kengerian perang saudara dan penderitaan rakyat di Suriah. Setahun kemudian, gambar-gambar baru Omran beredar di internet dalam kondisi yang sudah lebih baik.
Foto: picture-alliance/dpa/Aleppo Media Center
Belum tahu tinggal di mana
Seorang pria Suriah membawa putrinya di tengah hujan di perbatasan Yunani-Makedonia di Idomeni. Dia berharap bisa hidup aman dengan keluarganya di Eropa. Menurut peraturan Dublin, permohonan suaka hanya bisa diajukan di negara pertama tempat pengungsi menginjak Eropa. Yunani dan Italia menanggung beban terbesar.
Foto: Reuters/Y. Behrakis
Mengharapkan pertolongan
Jerman tetap menjadi tujuan utama para pengungsi, meski kebijakan pengungsi dan suaka di Jerman sejak munculnya arus pengungsi diperketat. Tetapi Kanselir Jerman Angela Merkel menyatakan Jerman tetap terbuka bagi pengungsi. Sejak 2015, Jerman telah menerima sekitar 1,2 juta pengungsi. Kanselir Merkel jadi ikon harapan bagi banyak pengungsi baru.
Foto: picture-alliance/dpa/S. Hoppe
Situasi darurat di penampungan
Di utara Prancis, pihak berwenang membersihkan "hutan" yang terkenal di Calais. Kamp itu terbakar saat dilakukan evakuasi bulan Oktober 2016. Sekitar 6.500 penghuninya disalurkan ke tempat-tempat penampungan lain di Perancis. Setengah tahun kemudian, organisasi bantuan melaporkan banyak pengungsi anak-anak yang menjadi tunawisma di sekitar Calais.
Foto: picture-alliance/dpa/E. Laurent
Tenggelam di Laut Tengah
Kapal penyelamat organisasi bantuan dan pemerintah setempat terus melakukan pencarian kapal migran yang terancam tenggelam. Meski pelayaran sangat berbahaya, banyak pengungsi tetap berusaha melarikan diri dari konflik dan kemiskinan. Mereka berharap menemukan masa depan yang lebih baik di Eropa. Pada tahun 2017 ini saja, sudah 1.800 orang meninggal di perjalanan. (Teks: Charlotte Hauswedell/hp,rn)