Ledakan besar di luar bandara internasional Karachi menewaskan dua warga negara Cina. Ini bukan pertama kalinya militan menargetkan pekerja Cina di Pakistan.
Iklan
Kedutaan Besar Cina di Pakistan mengonfirmasi bahwa dua warga negara Cina tewas dan satu orang terluka dalam ledakan di dekat Bandara Internasional Jinnah di Karachi pada Minggu (06/10).
Sebanyak tiga orang tewas dan setidaknya 11 orang terluka dalam apa yang digambarkan pihak berwenang Pakistan sebagai "serangan teroris."
Menurut pernyataan Kedutaan Besar Cina, sebuah konvoi yang membawa staf Cina dari Port Qasim Electric Power Company (Private) Limited menjadi sasaran serangan.
Kementerian Luar Negeri Pakistan pada Senin (07/10) mengatakan bahwa para pelaku tidak akan dibiarkan lolos dari hukuman.
"(…) Badan keamanan dan penegak hukum Pakistan tidak akan menyisakan upaya untuk menangkap pelaku dan fasilitatornya. Tindakan barbar ini tidak akan dibiarkan tanpa hukuman," demikian pernyataan tersebut.
Kantor berita Reuters melaporkan bahwa kelompok militan separatis Balochistan Liberation Army (BLA) mengeklaim bertanggung jawab atas serangan hari Minggu (06/10) tersebut.
Pakistan: Bagaimana Militan Hancurkan Kehidupan Seorang Perempuan
Baswaliha, perempuan berusia 55 tahun yang tinggal di kawasan adat di perbatasan dengan Afganistan, kehilangan suami dan anaknya dalam konflik dengan kelompok Taliban. Sekarang dia khawatir kekerasan akan kembali.
Foto: Saba Rehman/DW
Kehidupan yang sulit
Bertahan hidup merupakan hal yang sulit bagi perempuan Pakistan di kawasan perbatasan. Hidup Baswaliha, seorang janda 55 tahun, makin memilukan setelah kehilangan anaknya tahun 2009, dan suaminya pada 2010. Baswaliha tinggal di Galanai, sebuah desa adat di kawasan Mohmand, yang berbatasan dengan Afghanistan.
Foto: Saba Rehman/DW
Serangan dari segala penjuru
Imran Khan, anak sulung Baswaliha, terbunuh pada usia 23 tahun oleh kelompok lokal anti-Taliban karena dituduh membantu gerakan teroris, jelasnya pada tim DW. Operasi militer Pakistan memang menciptakan suasana tenang untuk beberapa kawasan, namun penarikan pasukan NATO dari Afghanistan meningkatkan kekhawatiran bahwa kelompok Taliban akan kembalio berkuasa.
Foto: dapd
Fase penuh kekerasan
Abdul Ghufran, suami Baswaliha, tewas setahun kemudian akibat dua bom bunuh diri yang meledakkan gedung pemerintahan, 6 Desember 2010. Saat itu suaminya hendak mengambil uang duka anaknya yang tewas dibunuh, kata Bawaliha kepada DW. Banyak yang tewas dalam serangan itu. Baswaliha mengatakan, seorang perempuan yang hidup tanpa suami atau laki-laki dewasa di kawasan adat penuh risiko dan berbahaya.
Foto: Getty Images/AFP/A. Majeed
Belum menyerah
Abdul Ghufran, suami Baswaliha, tewas setahun kemudian akibat dua bom bunuh diri yang meledakkan gedung pemerintahan, 6 Desember 2010. Saat itu suaminya hendak mengambil uang duka anaknya yang tewas dibunuh, kata Bawaliha kepada DW. Banyak yang tewas dalam serangan itu. Baswaliha mengatakan, seorang perempuan yang hidup tanpa suami atau laki-laki dewasa di kawasan adat penuh risiko dan berbahaya.
Foto: Saba Rehman/DW
Jahit dan jual
Baswaliha ingin anak-anaknya mendapat pendidikan yang layak. “Tidak mudah. Saya merasa hidup saya tidak ada gunanya lagi, dan saya tidak bisa bertahan hidup di lingkungan seperti ini,” katanya. Dia menceritakan perempuan di desanya dilarang berbelanja sendiri ke pasar. Saat ini, pendapatan utamanya menjahit. Dia mematok harga sekitar 13 ribu hingga 15 ribu rupiah untuk satu setel pakaian wanita.
Foto: Saba Rehman/DW
Wajib didampingi lelaki
“Setelah ditinggal suami, saya biasa membuat jajanan roti dan anak perempuan saya yang kecil menjualnya kepada warga di jalanan utama. Namun ketika dia sudah mulai cukup besar, anak perempuan yang berkeliaran dicap jelek di sini,” jelasnya. “Saat itulah saya mulai membuat berbagai macam selimut.” Tetapi untuk ke pasar, dia harus ditemani seorang laki-laki, berapapun umur laki-laki tersebut.
Foto: Saba Rehman/DW
Akan ada lebih banyak kekerasan?
Ribuan keluarga di kawasan adat di utara dan barat laut Pakistan menjadi korban kekejaman kelompok ekstrem di daerahnya. Abdur Razaq, saudara ipar Baswaliha, mengatakan bahwa dia masih ingat saat Abdul Ghufran terbunuh dalam sebuah serangan kelompok Taliban. Dia berharap kawasan adat tidak berubah lagi menjadi daerah kerusuhan dan keganasan. (Teks S. Rehman/mh/hp)
Foto: Saba Rehman/DW
7 foto1 | 7
Apa yang dilakukan warga negara Cina di Pakistan?
Ribuan pekerja Cina di Pakistan sebagian besar terlibat dalam proyek Koridor Ekonomi Cina-Pakistan (CPEC), yang merupakan bagian dari Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI) senilai miliaran dolar dari Beijing.
Cina mengumumkan CPEC pada 2015 dengan tujuan memperluas hubungan perdagangan dan pengaruhnya di Pakistan serta Asia Tengah dan Selatan.
Proyek ini bertujuan untuk menghubungkan provinsi Xinjiang di barat Cina dengan laut melalui Pakistan. Hal ini akan mempersingkat rute perdagangan Cina dan membantu menghindari Selat Malaka, jalur laut sempit yang menghubungkan Samudra Hindia dan Pasifik.
Pakistan, di sisi lain, diharapkan mendapat manfaat dari peningkatan perdagangan, infrastruktur, dan industri di sepanjang koridor sepanjang 2.000 kilometer tersebut, yang seluruhnya dibiayai oleh Cina.
Meskipun proyek ini akan meningkatkan konektivitas dan mendukung pertumbuhan ekonomi, banyak penduduk provinsi Balochistan, yang merupakan pusat CPEC, menentangnya.
Ayo berlangganan newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Ancaman konflik di Balochistan
Balochistan, provinsi barat daya Pakistan yang berbatasan dengan Afganistan dan Iran, adalah provinsi termiskin dan paling sedikit penduduknya. Kelompok pemberontak telah melakukan pemberontakan separatis selama beberapa dekade, mengeluh bahwa Islamabad dan provinsi Punjab yang lebih kaya mengeksploitasi sumber daya mereka secara tidak adil.
Pemerintah Pakistan telah mencoba mengakhiri pemberontakan ini dengan cara militer.
Separatis Baloch mengeklaim bahwa Cina berinvestasi di Gwadar, kota kecil nelayan di Balochistan yang memainkan peran penting dalam proyek CPEC, untuk mengeksploitasi sumber daya alam provinsi tersebut.
Proyek-proyek Cina di seluruh provinsi dan di bagian lain negara itu, termasuk kota pelabuhan Karachi, telah menjadi sasaran serangan militan Baloch selama bertahun-tahun.
Pada 2018, BLA menyerang konsulat Cina di Karachi. Pada April 2021, sebuah serangan bunuh diri di luar hotel mewah di Quetta, tempat duta besar Cina menginap, menewaskan empat orang dan melukai puluhan lainnya.
Dalam beberapa tahun terakhir, BLA semakin meningkatkan serangan, menargetkan militer Pakistan sebagai balasan atas pengamanan proyek-proyek Cina.
Pada Agustus, BLA meluncurkan serangan terkoordinasi di provinsi tersebut yang menewaskan lebih dari 70 orang.
"Serangan telah meningkat selama beberapa waktu, mencerminkan militan separatis yang semakin berani dan marah terhadap investasi Cina, serta kapasitas yang semakin besar untuk melaksanakan operasi semacam ini," ujar Michael Kugelman, pakar Asia Selatan di Woodrow Wilson International Center for Scholars yang berbasis di Washington, kepada DW.
Derita Warga Kashmir Akibat Konflik Politik India-Pakistan
India dan Pakistan terus berseteru karena Kashmir, wilayah bergejolak yang telah dilanda pemberontakan bersenjata selama hampir tiga dekade. Banyak warga Kashmir yang sudah muak dengan Islamabad dan New Delhi.
Foto: Getty Images/AFP/T. Mustafa
Bahaya yang belum pernah ada sebelumnya?
Pada tanggal 27 Februari 2019, militer Pakistan mengatakan bahwa mereka telah menembak jatuh dua jet tempur India. Seorang juru bicara militer Pakistan mengatakan jet itu ditembak jatuh setelah mereka memasuki wilayah udara Pakistan. Ini adalah pertama kalinya dalam sejarah, di mana dua negara, yang memiliki senjata nuklir melakukan serangan udara terhadap satu sama lain.
Foto: Reuters/D. Ismail
India menjatuhkan bom di Pakistan
Militer Pakistan merilis gambar ini untuk menunjukkan bahwa pesawat tempur India menyerang wilayah Pakistan untuk pertama kalinya sejak kedua negara terlibat perang tahun 1971. India mengatakan serangan udara itu sebagai tanggapan terhadap serangan bom bunuh diri baru-baru ini terhadap pasukan India yang berbasis di Jammu dan Kashmir.
Foto: AFP/ISPR
Militer bukan solusi
Warga sipil India percaya bahwa pemerintah India tidak dapat membebaskan dirinya dari tanggung jawab dengan menuduh Islamabad menciptakan kerusuhan di lembah Kashmir. Sejumlah organisasi HAM menuntut agar pemerintahan Narendra Modi mengurangi jumlah pasukan di Kashmir dan membiarkan rakyat menentukan nasib mereka.
Foto: Getty Images/AFP/T. Mustafa
Kekerasan tiada akhir
Pada 14 Februari 2019, setidaknya 41 polisi paramiliter India tewas dalam serangan bom bunuh diri di wilayah Kashmir yang dikuasai India. Kelompok militan yang berbasis di Pakistan, Jaish-e-Mohammad, mengaku bertanggung jawab. Serangan itu meningkatkan ketegangan dan memicu kekhawatiran konfrontasi bersenjata antara dua negara yang memiliki kekuatan senjata nuklir.
Foto: IANS
Konflik yang pahit
Sejak tahun 1989, gerilyawan Muslim telah memerangi pasukan India di bagian Kashmir yang dikelola India. Wilayah ini berpenduduk 2 juta orang, dan sekitar 70 persen di antaranya adalah Muslim. Dua dari tiga perang antara India dan Pakistan sejak kemerdekaan tahun 1947 adalah karena sengketa wilayah Kashmir.
India menumpas pemberontakan militan
Pada Oktober 2016, militer India melancarkan serangan terhadap pemberontak bersenjata di Kashmir, yang mengepung sedikitnya 20 desa di distrik Shopian. New Delhi menuduh Islamabad mendukung militan, yang melintasi "Line of Control" Pakistan-India dan menyerang pasukan paramiliter India.
Foto: picture alliance/AP Photo/C. Anand
Kematian seorang separatis Kashmir
Situasi keamanan di Kashmir bagian India memburuk setelah peristiwa pembunuhan Burhan Wani, seorang pemimpin muda gerakan separatis Kashmir pada Juli 2016. Protes terhadap pemerintahan India dan bentrokan antara separatis dan tentara telah merenggut ratusan nyawa sejak saat itu.
Foto: Reuters/D. Ismail
Serangan Uri
Pada September 2016, militan Muslim membunuh setidaknya 17 tentara India dan melukai 30 lainnya di Kashmir India. Tentara India mengatakan para pemberontak telah menyusup ke bagian Kashmir India dari Pakistan. Investigasi awal menunjukkan bahwa gerilyawan itu adalah anggota kelompok Jaish-e-Mohammad yang bermarkas di Pakistan, yang telah aktif di Kashmir selama lebih dari satu dekade.
Foto: UNI
Pelanggaran HAM
Pihak berwenang India memblokir sejumlah situs media sosial di Kashmir setelah video yang menunjukkan pasukan India melakukan pelanggaran HAM berat menjadi viral di internet. Video-video itu menimbulkan kemarahan di media sosial. Salah satu video menunjukkan pemrotes Kashmir diikat pada jip tentara India, diduga digunakan sebagai tameng hidup.
Foto: Getty Images/AFP/
Demiliterisasi Kashmir
Mereka yang mendukung Kashmir untuk merdeka ingin Pakistan dan India membiarkan rakyat Kashmir menentukan masa depan mereka. "Sudah saatnya India dan Pakistan menarik pasukan mereka dari wilayah yang mereka kendalikan dan mengadakan referendum yang diawasi secara internasional," kata Toqeer Gilani, Presiden Front Pembebasan Jammu dan Kashmir, kepada DW.
Foto: picture-alliance/dpa/J. Singh
Tidak ada peluang untuk memisahkan diri
Sebagian besar pengamat Kashmir tidak melihat Kashmir merdeka dalam waktu dekat. Mereka mengatakan, meskipun sebagian strategi keras yang digunakan India untuk berurusan dengan militan dan separatis di Kashmir telah berhasil, cepat atau lambat New Delhi harus menemukan solusi politik untuk krisis ini. Perpisahan Kashmir, kata mereka, bukan bagian dari solusi. (Teks: Shamil Shams. Ed.: na/ap)
Foto: Getty Images/AFP/T. Mustafa
11 foto1 | 11
Tuntutan hak untuk Balochistan
Selain kelompok militan yang berjuang melawan Islamabad, ada beberapa partai politik dan kelompok hak asasi yang menuntut hak bagi provinsi dan masyarakat Baloch secara damai.
Kelompok-kelompok ini telah mengkritik keras tindakan pihak berwenang Pakistan di provinsi tersebut, menuduh militer dan badan intelijen melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang serius.
Para analis mengatakan bahwa protes massal baru-baru ini di Balochistan menyoroti meningkatnya ketidakpuasan di antara penduduk lokal.
"Sepuluh tahun setelah peluncuran CPEC, janji untuk mengubah Gwadar menjadi kota seperti Shenzhen, Hong Kong, atau Dubai belum terpenuhi," ujar Kiyya Baloch, seorang jurnalis dan komentator yang telah meliput Balochistan secara luas, kepada DW, menambahkan bahwa gerakan perdamaian dimaksudkan untuk menentang kebijakan Beijing dan Islamabad terhadap provinsi tersebut.
Baloch Yakjehti Committee (BYC), sebuah kelompok hak yang mengkampanyekan hak-hak sipil, politik, dan sosial ekonomi masyarakat Baloch, jadi kelompok yang paling vokal menyuarakan tuntutannya pada aksi demonstrasi baru-baru ini di Balochistan. Gerakan ini telah memobilisasi orang-orang dan menyelenggarakan demonstrasi besar di seluruh wilayah.
Mahrang Baloch, pemimpin BYC, mengatakan kepada DW bahwa mereka mengorganisir "gerakan melawan genosida Baloch," menuduh pihak berwenang Pakistan melakukan ribuan penghilangan paksa dan pembunuhan di luar hukum.
"Cina atau negara lain yang berinvestasi di Balochistan terlibat langsung dalam genosida Baloch. Penghilangan paksa dan pengusiran paksa di wilayah pesisir Makran sangat besar. Mereka menjarah sumber daya kami tanpa memberi manfaat kepada penduduk lokal Baloch," katanya.
Iklan
Situasi yang bergejolak
Militer Pakistan melabeli BYC sebagai "proksi" bagi apa yang disebutnya teroris dan mafia kriminal.
"Strategi mereka adalah mengumpulkan kerumunan dengan dana asing, menghasut kerusuhan di antara masyarakat, menantang otoritas pemerintah dengan melempar batu, melakukan perusakan, dan membuat tuntutan yang tidak masuk akal," ujar Ahmed Sharif Chaudhry, kepala bagian media militer, kepada wartawan pada bulan Agustus.
"Tapi ketika negara bertindak, mereka menggambarkan diri mereka sebagai korban yang tidak bersalah," tambahnya.
Qamar Cheema, seorang analis pertahanan, menggambarkan situasi keamanan di provinsi tersebut sebagai "bergejolak," mengutip serangan militan yang merajalela terhadap instalasi militer.
"Untuk mengatasi situasi di mana Beijing telah berinvestasi secara besar-besaran, harus ada perdamaian dan stabilitas, dan negara harus bertindak untuk mengendalikan situasi," katanya kepada DW.