Sepasang pria dan wanita tewas setelah dirajam oleh sekelompok orang di utara Mali. Mereka dituduh melanggar Syariah Islam karena hidup bersama tanpa menikah.
Iklan
Sepasang kekasih dirajam hingga mati di hadapan publik di Mali, Afrika. Kabar tersebut diungkapkan seorang pejabat pemerintahan lokal kepada kantor berita AFP. "Mereka menggali dua lubang untuk pria dan wanita yang hidup bersama tanpa menikah," kata pejabat tersebut. "Mereka lalu dirajam sampai mati."
Peristiwa tersebut terjadi pada Selasa (16/5) di Taghlit, utara Mali. Masyarakat ikut diajak untuk menyaksikan tindakan barbar tersebut. "Empat orang melempari mereka dengan batu," kata saksi. Pejabat pemerintah lain mengatakan kedua korban dituding melanggar "Syariah Islam," dan sebab itu harus dirajam.
Organisasi HAM lokal, Association for the Defence of Human Rights (ADMH), menyebut aksi rajam tersebut sebagai "pembunuhan pengecut." Hukuman terhadap kedua korban diduga dijatuhkan oleh kelompok Islam garis keras.
Menyelamatkan Naskah Islam Kuno Timbuktu
Ketika kelompok Islamis menaklukkan Mali utara pada tahun 2012, ribuan naskah bersejarah terancam hancur. Tapi rakyat Mali memahami pentingnya nilai warisan budaya mereka dan mengorganisir penyelamatan.
Foto: DW/P. Breu
Harta Karun Bersejarah
Naskah kuno dari Timbuktu memiliki nilai sejarah yang tak ternilai, yakni penelitian ratusan tahun tentang Islam. Dahulu kala, Timbuktu adalah Pusat Studi Islam dan Al Quran di Afrika.
Foto: DW/P. Breu
Naskah Diamankan
Tahun 2012, situs bersejarah di Mali Utara mulai dihancurkan kelompok ekstrimis. Untuk menyelamatkan dokumen penting itu, banyak naskah diselundupkan dari Timbuktu ke ibukota Bamako. Di sana, naskah disimpan di sebuah gedung apartemen, dalam kotak logam, menunggu untuk didigitalisasikan serta diawetkan.
Foto: DW/P. Breu
Menyelamatkan Naskah
Abdel Kader Haidara memimpin operasi penyelamatan. Pemilik perpustakaan keluarga ini tidak hanya menyelamatkan naskah-naskahnya sendiri, tetapi juga semua dokumen yang terancam mengalami kehancuran di Timbuktu.
Foto: DW/P. Breu
Perpustakaan Digital
Dalam sistem pengarsipan di Bamako, naskah didigitalisasi. Untuk mencapai tujuan ini, setiap halaman ditempatkan di bawah kamera, difoto, diperiksa dan kemudian dikatalogkan dalam arsip pusat. Raksasa internet Google telah menyatakan minatnya dalam penyimpanan naskah.
Foto: DW/P. Breu
Pengetahuan bagi Semua
Digitalisasi memiliki dua tujuan: Melestarikan naskah untuk anak cucu, sebagai antisipasi naskah aslinya yang rentan cuaca di Bamako. Tujuan keduanya, agar naskah ini tersedia untuk masyarakat umum. Sebelum konflik terjadi tidak ada proyek digitalisasi dokumen.
Foto: DW/P. Breu
Kotak Diukur
Setelah digitalisasi, naskah disimpan dalam kotak bebas asam, di mana dokumen bisa disimpan secara permanen. Karena setiap naskah memiliki formatnya sendiri, semua karton untuk naskah haruslah buatan tangan.
Foto: DW/P. Breu
Rak-rak Tetap Kosong
Tak ada buku lagi di perpustakaan Mamma-Haidara. Banyak yang berpendapat bahwa naskah-naskah lebih aman berada di Bamako. Namun kalangan lain berpendapat berbeda, status pusat budaya kota Timbuktu tanpa naskah-naskah ini jadi terancam.
Foto: DW/P. Breu
Perpustakaan Kosong
Institut Ahmed Baba dibangun dengan dana dari Aga Khan Foundation dan dengan dana dari Afrika Selatan serta Arab Saudi. Di sini, bukan hanya terdapat perpustakaan dan arsip, tetapi juga ada perangkat dan peralatan untuk pelestarian dan digitalisasi manuskrip.
Foto: DW/P. Breu
Peringatan
Ketika kelompok Islam datang, mereka ingin menunjukkan kekuatan mereka ke hadapan dunia Barat. Buku-buku dikumpulkan dan beberapa naskah dibakar di halaman Institut Ahmed Baba di Timbuktu. Sekitar 4000 jurnal hilang begitu saja. Sisa pembakaran sekarang disimpan di institut - sebagai peringatan.
Foto: DW/P. Breu
Timbuktu yang Terancam
Konflik pada tahun 2012 tidak hanya berdampak bagi dunia wisata di Timbuktu, namun juga budaya. Tampaknya Timbuktu sekarang benar-benar kehilangan, karena ada di kota ini hampir tidak ada naskah tersisa. Apakah naskah-naskah ini akan kembali ke Timbuktu, tidak jelas.
Foto: DW/P. Breu
Beberapa Naskah
Beberapa perpustakaan pribadi masih ada yang tersisa. Seorang warga Timbuktu, yang mewarisi dari kakeknya beberapa halaman naskah, dengan bangga memamerkan harta benda yang paling berharga.
Foto: DW/P. Breu
Masa Depan yang Tak Pasti
Situasi politik tetap tegang di Mali dan tentara Mali terlalu lemah untuk menjamin keamanan. Tahun 2012, banyak penduduk melarikan diri dari Timbuktu dan belum kembali karena tak percaya perdamaian akan berlangsung kekal. Kota ini memiliki masa depan yang tak pasti.
Foto: DW/P. Breu
12 foto1 | 12
"Tindakan ini sangat barbar. Mereka yang melakukan ini harus ditangkap dan diadili," kata Oumar Diakte, salah seorang aktivis.
Kawasan utara Mali sempat diduduki oleh kelompok jihadis pada Maret 2012. Meski berhasil diusir oleh militer Perancis pada 2013, pengaruh kaum radikal masih kuat dalam bentuk penerapan Syariah Islam seperti hukuman cambuk buat perempuan yang tidak mengenakan jilbab, atau bentuk pelanggaran lain.
Pada Juli 2012 kelompok Ansar Din merajam sepasang pria dan wanita setelah dituduh memiliki anak di luar nikah. Insiden di Taghlit terjadi menjelang kunjungan Presiden Perancis Emmanuel Macron yang ingin mengunjungi pasukan Perancis di utara Mali.
Tujuh Fakta Syariah Islam di Aceh
Sejak diterapkan lebih dari satu dekade silam Syariah Islam di Aceh banyak menuai kontroversi. Hukum agama di Serambi Mekkah itu sering dikeluhkan lebih merugikan kaum perempuan. Benarkah?
Foto: AP
Bingkisan dari Jakarta
Pintu bagi penerapan Syariah Islam di Aceh pertamakali dibuka oleh bekas Presiden Abdurrachman Wahid melalui UU No. 44 Tahun 1999. Dengan cara itu Jakarta berharap bisa mengikis keinginan merdeka penduduk lokal setelah perang saudara berkepanjangan. Parlemen Aceh yang baru berdiri tidak punya pilihan selain menerima hukum Syariah karena takut dituding anti Islam.
Foto: Getty Images/AFP/O. Budhi
Kocek Tebal Pendakwah Syariah
Anggaran penerapan Syariah Islam di Aceh ditetapkan sebesar 5% pada Anggaran Pendapatan dan Belanja (APBA). Nilainya mencapai hampir 700 milyar Rupiah. Meski begitu Dinas Syariat Islam Aceh setiap tahun mengaku kekurangan uang dan meminta tambahan anggaran. DSI terutama berfungsi sebagai lembaga dakwah dan penguatan Aqidah.
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
Polisi Agama di Ruang Publik
Sebanyak 22 milyar Rupiah mengalir ke lembaga polisi Syariah alias Wilayatul Hisbah. Lembaga yang berwenang memaksakan qanun Islam itu kini beranggotakan 1280 orang. Tugas mereka antara lain melakukan razia di ruang-ruang publik. Tapi tidak jarang aparat WH dituding melakukan tindak kekerasan dan setidaknya dalam satu kasus bahkan pemerkosaan.
Foto: Getty Images/AFP/C. Mahyuddin
Kenakalan Berbalas Cambuk
Menurut Dinas Syariat Islam, pelanggaran terbanyak Syariah Islam adalah menyangkut Qanun No. 11 Tahun 2002 dan No. 14 Tahun 2003. Kedua qanun tersebut mengatur tata cara berbusana dan larangan perbuatan mesum. Kebanyakan pelaku adalah kaum remaja yang tertangkap sedang berpacaran atau tidak mengenakan jilbab. Untuk itu mereka bisa dikenakan hukuman cambuk, bahkan terhadap bocah di bawah umur
Foto: Getty Images/AFP/C. Mahyuddin
Cacat Hukum Serambi
Kelompok HAM mengritik penerapan hukum Islam di Aceh tidak berimbang. Perempuan korban perkosaan misalnya harus melibatkan empat saksi laki-laki untuk mendukung dakwaannya. Ironisnya, jika gagal menghadirkan jumlah saksi yang cukup, korban malah terancam dikenakan hukuman cambuk dengan dalih perbuatan mesum. Adapun terduga pelaku diproses seusai hukum pidana Indonesia.
Foto: Getty Images/AFP/C. Mahyuddin
Petaka buat Perempuan?
Perempuan termasuk kelompok masyarakat yang paling sering dibidik oleh Syariah Islam di Aceh. Temuan tersebut dikeluhkan 2013 silam oleh belasan LSM perempuan. Aturan berbusana misalnya lebih banyak menyangkut pakaian perempuan ketimbang laki-laki. Selain itu penerapan Syariat dinilai malah berkontribusi dalam sekitar 26% kasus pelecehan terhadap perempuan yang terjadi di ranah publik.
Foto: picture-alliance/epa/N. Afrida
Pengadilan Jalanan
Ajakan pemerintah Aceh kepada penduduk untuk ikut melaksanakan Syariah Islam justru menjadi bumerang. Berbagai kasus mencatat tindakan main hakim sendiri oleh masyarakat terhadap tersangka pelanggar Qanun. Dalam banyak kasus, korban disiram air comberan, dipukul atau diarak tanpa busana. Jumlah pelanggaran semacam itu setiap tahun mencapai puluhan, menurut catatan KontraS