1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Seperti Kristenisasi, Islamisasi Itu Tidak Ada

30 Oktober 2017

Kalau diperhatikan secara cermat, sesungghnya tidak ada yang namanya "Kristenisasi” ataupun "Islamisasi”. Opini: Sumanto Al Qurtuby

Bildergalerie Hagia Sophia
Foto: Bulent Kilic/AFP/Getty Images

Banyak sekali berita-berita tentang “Kristenisasi” atau “Islamisasi” di Indonesia yang tidak jarang memicu kehebohan dan ketegangan antarkedua pemeluk agama Kristen dan Islam yang sama-sama dari rumpun agama Semit ini. Tetapi kalau diperhatikan secara cermat, sesungghnya tidak ada yang namanya "Kristenisasi” ataupun "Islamisasi” itu.

Dalam konteks Kristen, yang ada atau yang sesungguhnya terjadi adalah Katolikisasi, Protestantisasi, Pentakostalisasi, dan seterusnya. Umat Kristen bukan menyebarkan Kekristenan mereka, melainkan mewartakan denominasi dan kongregasi Kristen mereka. Dengan kata lain, yang riil terjadi di lapangan adalah umat Kristen mendakwahkan gereja mereka masing-masing yang tidak jarang terjadi saling benturan dan konflik di antara mereka sendiri karena sama-sama mengklaim sebagai yang paling "Kristiani” dan paling otentik ajaran kekristenannya.

Penulis: Sumanto al QurtubyFoto: S. al Qurtuby

Hal yang sama juga terjadi dalam komunitas Muslim. Islamisasi hanya slogan belaka. Yang sesungguhnya terjadi adalah proses Sunniisasi, Syiaisasi, Ahmadiyahisasi, Salafisasi, Wahhabisasi dan seterusnya. Bahkan lebih spesifik lagi, dakwah Islam akan disesuaikan dengan mazhab, aliran, sekte, ormas atau bahkan parpol sang pendakwah atau "juru Islam” itu.

Maka, para pengikut "almarhum” HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) misalnya, akan menyebarkan dan mendakwahkan keislaman versi HTI (atau katankanlah, "Islam HTI”). Demikian juga para penggemar FPI (Front Pembela Islam), mereka akan cenderung menyebarkan keislaman ala FPI. Sementara para fanatik PKS (Partai Keadilan Sejahtera), akan mendakwahkan "Islam ala PKS”. Anggota Jamaah Tabligh akan menyebarluaskan Islam versi Jamaah Tabligh. Begitu seterusnya.

Tidak perlu

Saya sendiri berpendapat bahwa mengkristenkan atau mengislamkan orang lain itu (apapun jenis kekristenan dan keislaman mereka) sesungguhnya tidak perlu. Apalagi proses Kristenisasi atau Islamisasi itu dilakukan atau diiringi dengan pemaksaan atau iming-iming dengan barang tertentu supaya kepincut (tertarik masuk ke sebuah agama tertentu).

Sebagai umat beragama tentu saja tidak ada salahnya untuk berbagi sesuatu yang dianggap benar atau menyebarkan warta kebaikan kepada orang atau umat lain. Tidak ada salahnya pula, bagi umat beragama untuk menebarkan kasih, baik dengan perkataan maupun dengan tindakan, kepada orang lain. Tetapi hendaknya sebatas berbagi warta dan menyampaikan kabar saja. Tak perlu diiringi dengan paksaan, rayuan, atau bahkan kutukan.

Kita boleh saja dan sah-sah saja meyakini kebenaran agama kita setengah mati. Tetapi harus diingat bahwa orang lain atau umat lain juga memiliki dan meyakini akan kebenaran agama atau kepercayaan yang mereka pegang teguh. Kita tidak boleh menganggap kebenaran agama kita lebih benar dan otentik ketimbang kebenaran agama orang dan umat lain. Tidak ada kebenaran yang benar benar benar dan bersifat otentik dan universal di muka bumi ini. Kebenaran selalu bersifat terbatas dan partikular.

Saya percaya baik agama Islam maupun Kristen tidak perlu membutuhkan pengikut. Saya juga meyakini bahwa Tuhan juga sama sekali tidak memerlukan pengikut dan jamaah umat beragama. Seandainya semua mahkluk di muka bumi tidak menyembah-Nya pun, Tuhan tetapi Sang Khalik yang Maha Besar. Yang sesunguhnya membutuhkan data umat beragama itu hanyalah pemerintah, petugas sensus, partai politik, ormas agama, institusi keagamaan, atau tokoh agama.

Dalam Islam ada sebuah kisah yang sangat menarik. Konon dulu Nabi Muhammad sangat sedih karena paman beliau (bernama Abu Thalib) yang merawat, menjaga, membesarkan dan membelanya sepeninggal sang kakek (Abdul Muttalib) tidak kunjung masuk Islam. Beliau kemudian memanjatkan do'a agar Allah membukakan hatinya. Tetapi doa Nabi Muhammad itu justru dibalas dengan "sindiran” oleh Allah yang menegaskan bahwa menjadi Muslim (baca masuk Islam) atau tidak bukanlah urusan manusia melainkan hak prerogatif Tuhan (ini kurang lebih sama dengan konsep Kristen tentang "Roh Kudus”).

Al-Qur'an sendiri menegaskan bahwa seandainya Tuhan mau, Dia bisa mengislamkan seluruh umat manusia. Tetapi Dia tidak melakukannya. Makna tersirat dari ayat ini adalah Tuhan menghendaki pluralitas. Tetapi sayang sebagian umat manusia justru mengendaki singularitas. Sebagian umat beragama begitu gigih dan bangga mengagamakan orang lain seperti dirinya.

Bertentangan dengan visi Al-Qur'an dan spirit kenabian

Umat Islam yang gigih "mengislamkan” orang lain, apalagi dengan cara-cara paksa, sesungguhnya bertentangan dengan visi Al-Qur'an dan spirit kenabian. Al-Qur'an jelas menghendaki kemajemukan dan bahkan dengan tegas mendeklarasikan tentang larangan pemaksaan agama ("la ikraha fiddin”) kepada orang lain. Sedangkan Nabi Muhammad sendiri diutus ke muka bumi ini bukan untuk mengislamkan orang lain. Bukan pula untuk menghimpun pengikut sebanyak-banyaknya. Melainkan untuk menyempurnakan akhlak atau moralitas umat manusia yang bejat. 

Dalam sejarah keislaman awal di Timur Tengah, proses transformasi masyarakat dari non-Muslim menjadi Muslim lebih karena faktor politik-kekuasaan bukan teologi-keagamaan. Dengan kata lain, masyarakat "menjadi Muslim” karena untuk menghindari eksekusi, diskriminasi politik-ekonomi, pajak negara, dan sebagainya. Sementara para penguasa Muslim sendiri membutuhkan pengikut (umat Islam) sebagai medium untuk meneguhkan otoritas kekuasaan, selain tambahan amunisi perang dan ekspansi kekuasaan (misalnya untuk rekruitmen milisi dan tentara). Proses yang kurang lebih sama juga terjadi dalam sejarah Kristen di Timur Tengah dan Eropa.

Sementara di Indonesia di zaman kerajaan, orang menjadi Muslim karena mengikuti agama sang raja karena karakter budaya Nusantara yang "raja centric”. Gelombang besar masyarakat menjadi Muslim terjadi di zaman transisi dari Orde Lama ke Orde Baru. Karena khawatir dicap PKI oleh rezim Suharto, banyak masyarakat abangan waktu itu yang tidak jelas agamanya kemudian berbondong-bondong mendaftarkan diri sebagai "Muslim”.

Jelasnya, dalam banyak hal, orang (secara formal-nominal) menjadi Muslim atau Kristen itu karena faktor-faktor yang bersifat duniawi.

Akhirul kalam, tentu saja tidak ada salahnya orang mau menjadi Muslim atau Kristen. Mau menjadi Muslim Sunni/Syiah atau Katolik/Protestan dan seterusnya. Semua itu merupakan hak masing-masing individu. Yang perlu dijaga adalah spirit persaudaraan sesama umat manusia apapun agama (atau bahkan tidak beragama) mereka.

Silakan saja berlomba-lomba mewartakan kebaikan dan menyebarkan agama di masyarakat tetapi hendaknya harus dilakukan dengan cara-cara yang baik dan diiringi dengan sikap saling menghormati satu sama lain. Meskipun begitu, akan jauh lebih baik jika umat beragama berlomba-lomba dalam menebarkan kebajikan dan kemanusiaan, bukan dalam menghimpun pengikut. Semoga bermanfaat.

Penulis:

Sumanto Al Qurtuby (ap/as)

Dosen Antropologi Budaya dan Direktur Scientific Research in Social Sciences, King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi, serta Senior Scholar di National University of Singapore. Ia memperoleh gelar doktor dari Boston University dan pernah mendapat visiting fellowship dari University of Oxford, University of Notre Dame, dan Kyoto University. Ia telah menulis ratusan artikel ilmiah dan puluhan buku, antara lain Religious Violence and Conciliation in Indonesia (London & New York: Routledge, 2016)

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis.