Kalau diperhatikan secara cermat, sesungghnya tidak ada yang namanya "Kristenisasi” ataupun "Islamisasi”. Opini: Sumanto Al Qurtuby
Iklan
Banyak sekali berita-berita tentang “Kristenisasi” atau “Islamisasi” di Indonesia yang tidak jarang memicu kehebohan dan ketegangan antarkedua pemeluk agama Kristen dan Islam yang sama-sama dari rumpun agama Semit ini. Tetapi kalau diperhatikan secara cermat, sesungghnya tidak ada yang namanya "Kristenisasi” ataupun "Islamisasi” itu.
Dalam konteks Kristen, yang ada atau yang sesungguhnya terjadi adalah Katolikisasi, Protestantisasi, Pentakostalisasi, dan seterusnya. Umat Kristen bukan menyebarkan Kekristenan mereka, melainkan mewartakan denominasi dan kongregasi Kristen mereka. Dengan kata lain, yang riil terjadi di lapangan adalah umat Kristen mendakwahkan gereja mereka masing-masing yang tidak jarang terjadi saling benturan dan konflik di antara mereka sendiri karena sama-sama mengklaim sebagai yang paling "Kristiani” dan paling otentik ajaran kekristenannya.
Hal yang sama juga terjadi dalam komunitas Muslim. Islamisasi hanya slogan belaka. Yang sesungguhnya terjadi adalah proses Sunniisasi, Syiaisasi, Ahmadiyahisasi, Salafisasi, Wahhabisasi dan seterusnya. Bahkan lebih spesifik lagi, dakwah Islam akan disesuaikan dengan mazhab, aliran, sekte, ormas atau bahkan parpol sang pendakwah atau "juru Islam” itu.
Maka, para pengikut "almarhum” HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) misalnya, akan menyebarkan dan mendakwahkan keislaman versi HTI (atau katankanlah, "Islam HTI”). Demikian juga para penggemar FPI (Front Pembela Islam), mereka akan cenderung menyebarkan keislaman ala FPI. Sementara para fanatik PKS (Partai Keadilan Sejahtera), akan mendakwahkan "Islam ala PKS”. Anggota Jamaah Tabligh akan menyebarluaskan Islam versi Jamaah Tabligh. Begitu seterusnya.
Tidak perlu
Saya sendiri berpendapat bahwa mengkristenkan atau mengislamkan orang lain itu (apapun jenis kekristenan dan keislaman mereka) sesungguhnya tidak perlu. Apalagi proses Kristenisasi atau Islamisasi itu dilakukan atau diiringi dengan pemaksaan atau iming-iming dengan barang tertentu supaya kepincut (tertarik masuk ke sebuah agama tertentu).
Sebagai umat beragama tentu saja tidak ada salahnya untuk berbagi sesuatu yang dianggap benar atau menyebarkan warta kebaikan kepada orang atau umat lain. Tidak ada salahnya pula, bagi umat beragama untuk menebarkan kasih, baik dengan perkataan maupun dengan tindakan, kepada orang lain. Tetapi hendaknya sebatas berbagi warta dan menyampaikan kabar saja. Tak perlu diiringi dengan paksaan, rayuan, atau bahkan kutukan.
Masa Depan Agama di Dunia
Sebuah penelitian oleh Pew Research Centre 2015 silam mencatat Islam sebagai agama dengan tingkat pertumbuhan populasi tertinggi di dunia. Secara umum pemeluk agama Samawi masih mendominasi pada 2050.
Foto: picture alliance /Godong/Robert Harding
1. Kristen
Umat Kristen pun mengalami lonjakan populasi pada 2050, kendati tidak sebesar kaum Muslim. Pertumbuhan umat Kristen mencapai 35% menjadi 2,9 miliar manusia atau 31% dari total populasi dunia. Menurut hasil penelitian PEW, pada tahun 2050 populasi pemeluk dua agama terbesar di dunia itu akan berimbang, untuk pertamakalinya dalam sejarah.
Foto: Getty Images
2. Islam
Mengacu pada tingkat kesuburan perempuan Muslim yang saat ini mencapai 3,1 bayi per perempuan, jumlah populasi kaum Muslim di dunia pada 2050 akan meningkat sebanyak 70%, menjadi 2,8 miliar orang atau 30% dari penduduk Bumi. Jumlah tersebut sekaligus menyamai populasi umat Kristen di dunia. Selain itu kaum Muslim juga akan mewakili sebanyak 10% dari total populasi penduduk Eropa.
Foto: Getty Images/AFP
3. Hindu
Pertumbuhan populasi pemeluk Hindu terutama dimotori perkembangan demografi di India. Serupa Kristen, umat Hindu akan tumbuh sebanyak 34% pada 2050 menjadi 1,3 miliar manusia atau sekitar 15% dari total populasi dunia.
Foto: picture-alliance/AP Photo
4. Ateisme & Agnostisisme
Kendati bertambah dalam jumlah populasi, prosentase kelompok yang tidak memiliki agama terhadap jumlah penduduk Bumi berkurang dari 16% pada 2010 menjadi 13% pada 2050. Peningkatan terbesar tercatat di Amerika Utara dan Eropa. Pada 2050 sebanyak 26% penduduk AS diyakini tidak memiliki agama. Secara umum jumlah kaum non-agamis di dunia akan meningkat menjadi 1,2 miliar manusia.
Foto: Imago/imagebroker
5. Buddha
Semua pemeluk agama di dunia akan bertambah, kecuali umat Buddha. Populasi pemeluk Buddha di seluruh dunia tidak banyak berubah menyusul tingkat kesuburan yang rendah dan populasi yang menua di Cina, Thailand dan Jepang. Menurut studi PEW, populasi umat Buddha menurun sebanyak 0,3% dari 487 juta pada 2010 menjadi 486 juta pada 2050 atau 5,2% dari total populasi dunia.
Foto: Getty Images/AFP
6. Aliran Kepercayaan
Jumlah pemeluk kepercayaan tradisional saat ini banyak bergantung pada perkembangan demografi di Cina dan Afrika. Pertumbuhannya mencapai 11% dari 405 juta manusia pada 2010 menjadi 450 juta pada 2050 atau sekitar 4,8% dari penduduk Bumi.
Foto: Klaus Bardenhagen
7. Yahudi
Kelompok terkecil agama Samawi adalah Yahudi yang saat ini tercatat memiliki 14 juta pemeluk di seluruh dunia. Dengan tingkat kesuburan sebesar 2,3 bayi per perempuan, pemeluk Yahudi diyakini akan tumbuh sebanyak 14% pada 2050 menjadi 16 juta manusia. Namun prosentasenya hanya sebartas 0,2% dari total penduduk Bumi.
Foto: picture-alliance/ dpa
7 foto1 | 7
Kita boleh saja dan sah-sah saja meyakini kebenaran agama kita setengah mati. Tetapi harus diingat bahwa orang lain atau umat lain juga memiliki dan meyakini akan kebenaran agama atau kepercayaan yang mereka pegang teguh. Kita tidak boleh menganggap kebenaran agama kita lebih benar dan otentik ketimbang kebenaran agama orang dan umat lain. Tidak ada kebenaran yang benar benar benar dan bersifat otentik dan universal di muka bumi ini. Kebenaran selalu bersifat terbatas dan partikular.
Saya percaya baik agama Islam maupun Kristen tidak perlu membutuhkan pengikut. Saya juga meyakini bahwa Tuhan juga sama sekali tidak memerlukan pengikut dan jamaah umat beragama. Seandainya semua mahkluk di muka bumi tidak menyembah-Nya pun, Tuhan tetapi Sang Khalik yang Maha Besar. Yang sesunguhnya membutuhkan data umat beragama itu hanyalah pemerintah, petugas sensus, partai politik, ormas agama, institusi keagamaan, atau tokoh agama.
Dalam Islam ada sebuah kisah yang sangat menarik. Konon dulu Nabi Muhammad sangat sedih karena paman beliau (bernama Abu Thalib) yang merawat, menjaga, membesarkan dan membelanya sepeninggal sang kakek (Abdul Muttalib) tidak kunjung masuk Islam. Beliau kemudian memanjatkan do'a agar Allah membukakan hatinya. Tetapi doa Nabi Muhammad itu justru dibalas dengan "sindiran” oleh Allah yang menegaskan bahwa menjadi Muslim (baca masuk Islam) atau tidak bukanlah urusan manusia melainkan hak prerogatif Tuhan (ini kurang lebih sama dengan konsep Kristen tentang "Roh Kudus”).
Al-Qur'an sendiri menegaskan bahwa seandainya Tuhan mau, Dia bisa mengislamkan seluruh umat manusia. Tetapi Dia tidak melakukannya. Makna tersirat dari ayat ini adalah Tuhan menghendaki pluralitas. Tetapi sayang sebagian umat manusia justru mengendaki singularitas. Sebagian umat beragama begitu gigih dan bangga mengagamakan orang lain seperti dirinya.
Kota Tua As-Salt di Yordania - Tempat Aman Umat Beragama
Walau banyak berita tentang ketegangan antara umat beragama, di As-Salt umat Kristen dan Muslim bisa hidup berdampingan secara damai. Fotografer Fatima Abbadi menangkap keunikan tersebut dengan lensanya.
Foto: Fatima Abbadi
Kota metropolis kuno
Fotografer Fatima Abbadi lahir di Abu Dhabi, tapi 10 tahun terakhir ia mempelajari kota As-Salt di Yordania, yang didirikan 300 S.M dengan populasi 90.000 warga. As-Salt adalah kota kosmopolitan dimana budaya Arab dan Eropa melebur berkat hubungan yang harmonis.
Foto: Fatima Abbadi
Tidak ada tembok, tidak ada batasan
Berkat keunikannya, kota ini masuk nominasi situs warisan dunia UNESCO. Tapi tidak hanya arsitektur dan fesyen Timur dan Barat yang bisa ditemukan di As-Salt. "Mayoritas umat Muslim dan populasi Kristen hidup berdampingan tanpa ada pemisahan," ujar Ismael Abder-rahman Gil, peneliti yang membantu Abbadi dengan proyek fotografinya.
Foto: Fatima Abbadi
Dari St. George ke al-Khidr
Gil menjelaskan, umat Kristen As-Salt memainkan peran penting dalam perkembangan budaya, ekonomi, dan politik. Sejarah kedua agama saling terkait di As-Salt, sehingga seringnya harus berbagi rumah ibadah. Pada foto tampak gereja Saint George dengan altar yang dikelilingi oleh kutipan dari Al Qur'an dan kisah dari Alkitab.
Foto: Fatima Abbadi
Rumah bagi semua
Rumah ibadah ini didirikan tahun 1682, setelah seorang penggembala mendapat wahyu dari Santo Georgius untuk membangun gereja setelah melindunginya dari hewan liar yang mengancam ternaknya. "Hingga kini gereja dipenuhi oleh umat Kristen dan Muslim As-Salt yang menyalakan lilin untuk mendoakan Santo," ujar Abder-rahman Gil. Gereja latin, anglikan dan ortodoks juga ditemukan di kota ini.
Foto: Fatima Abbadi
Sejarah 2000 tahun
Hubungan Yordania dan umat Kristen diawali dengan pembaptisan Yesus di sungai Yordan. Banyak komunitas Kristen yang menetap di Yordania pada abad ke-1 dan hingga kini bisa menjalankan agamanya secara bebas dan terbuka. Umat Kristen terwakili di parlemen dan memiliki fungsi resmi kenegaraan.
Foto: Fatima Abbadi
Demonstrasi dan proklamasi
Walau hidup berdampingan secara damai selama ratusan tahun, dan penegasan Raja Abdullah II bahwa "umat Arab Kristen adalah bagian integral wilayah saya baik di masa lalu, masa kini, maupun masa depan," ketegangan antara umat Muslim dan Kristen meningkat di Yordania. Aksi protes bermunculan. "Keistimewaan As-Salt, hubungan antara kedua agama tersebut tidak terpengaruh disini," ujar Abbadi.
Foto: Fatima Abbadi
Berpesta bersama
"Saat Natal misalnya, warga Muslim yang pertama membuka pintu rumahnya bagi warga Kristen dan merayakannya bersama mereka. Begitu pula sebaliknya," cerita Abbadi. 35 persen populasi As-Salt beraga Kristen. Sangat kontras dibandingkan 4 persen populasi umat Kristen di seluruh Yordania.
Foto: Fatima Abbadi
Resep damai - saling menghormati
Seri foto Abbadi tentang As-Salt menggambarkan kehidupan pertanian tradisional hingga pengaruh barat di warga perkotaan. Ia yakin hubungan antara umat Muslim dan Kristen tidak akan berubah di kota ini. "Warga yang tinggal di As-Salt punya sejarah pribadi yang panjang. Mereka saling menghormati dan menganggap semua seakan adalah keluarga besar." Ed:Jan Tomes (vlz/hp)
Foto: Fatima Abbadi
8 foto1 | 8
Bertentangan dengan visi Al-Qur'an dan spirit kenabian
Umat Islam yang gigih "mengislamkan” orang lain, apalagi dengan cara-cara paksa, sesungguhnya bertentangan dengan visi Al-Qur'an dan spirit kenabian. Al-Qur'an jelas menghendaki kemajemukan dan bahkan dengan tegas mendeklarasikan tentang larangan pemaksaan agama ("la ikraha fiddin”) kepada orang lain. Sedangkan Nabi Muhammad sendiri diutus ke muka bumi ini bukan untuk mengislamkan orang lain. Bukan pula untuk menghimpun pengikut sebanyak-banyaknya. Melainkan untuk menyempurnakan akhlak atau moralitas umat manusia yang bejat.
Dalam sejarah keislaman awal di Timur Tengah, proses transformasi masyarakat dari non-Muslim menjadi Muslim lebih karena faktor politik-kekuasaan bukan teologi-keagamaan. Dengan kata lain, masyarakat "menjadi Muslim” karena untuk menghindari eksekusi, diskriminasi politik-ekonomi, pajak negara, dan sebagainya. Sementara para penguasa Muslim sendiri membutuhkan pengikut (umat Islam) sebagai medium untuk meneguhkan otoritas kekuasaan, selain tambahan amunisi perang dan ekspansi kekuasaan (misalnya untuk rekruitmen milisi dan tentara). Proses yang kurang lebih sama juga terjadi dalam sejarah Kristen di Timur Tengah dan Eropa.
Hagia Sophia Kembali Jadi Masjid
Hagia Sophia sudah lama jadi rebutan di Turki. Pemerintah mengubah gedung bersejarah itu dari museum menjadi masjid. Konversi tersebut menuai kritik.
Foto: picture-alliance/Marius Becker
Pencapaian Arsitektur
Tahun 532 Kaisar Romawi, Yustinianus I memerintahkan pembangunan gereja di Konstatinopel. Sebuah bangunan "yang sejak Adam tidak ada dan tidak akan pernah ada." 10.000 pekerja dikerahkan hingga 15 tahun kemudian ketika bangunan ini rampung,
Foto: imago/blickwinkel
Gereja Kaisar Byzantium
Sebanyak 150 ton emas dikucurkan Yustinianus I untuk membangun Hagia Sophia. Namun ketika rampung, bangunan megah ini harus direnovasi karena kubahnya runtuh karena gempa bumi. Bangunan yang namanya berarti "Kebijaksanaan Suci" itu didaulat sebagai gereja milik kerajaan. Hingga abad ke-7 semua kaisar Byzantium mengawali kekuasaannya di tempat ini.
Foto: Getty Images
Dari Gereja Menjadi Masjid
Kekaisaran Byzantium di Konstantinopel berakhir tahun 1453. Sultan Mehmet II dari Kesultanan Usmaniyah lantas mendaulat Hagia Sophia sebagai rumah ibadah kaum Muslim. Salib berganti bulan sabit, lonceng dan altar dipindahkan dan mosaik serta lukisan tembok ditutupi.
Foto: public domain
Dari Masjid Menjadi Museum
Tahun 1934, tidak lama setelah berkuasa, Perdana Menteri Turki, Mustafa Kemal Ataturk mengubah Hagia Sophia menjadi museum. Ataturk kemudian memerintahkan restorasi bangunan. Lukisan tembok dan mosaik dari era Byzantium diselamatkan, sementara peninggalan kesultanan Usmaniyah juga tetap dijaga.
Foto: AP
Islam dan Kristen
Dua wajah Hagia Sophia masih bisa disimak hingga kini. Gambar Yesus dan Bunda Maria melatari tulisan "Allah" dan "Muhammad". Gedung ini juga memiliki 40 jendela yang menghiasi kubah terbesarnya. Jendela itu berguna untuk pencahayaan dan mencegah keretakan pada dinding kubah.
Foto: Bulent Kilic/AFP/Getty Images
Ikon Byzantium
Mosaik paling berharga di dalam Hagia Sophia adalah lukisan dinding dari abad ke-14. Kendati restorasi tidak membebaskan lukisan secara utuh, pengunjung masih bisa menatap wajah yang tertoreh. Wajah Yesus misalnya terdapat di tengah sebagai penguasa bumi, sementara wajah Maria terdapat di sisi kiri dan Yohannes di sisi kanan.
Foto: STR/AFP/Getty Images
Bukan Rumah Ibadah
Beribadah dulu sempat dilarang di Hagia Sophia. Peraturan itu juga ditaati oleh Paus Bendiktus XVI ketika berkunjung 2006 silam. Kunjungannya berlangsung di bawah pengamanan yang ekstra ketat lantaran aksi protes. Kelompok pemuda nasionalis konservatif mengumpulkan 15 juta tandatangan untuk mengubah Hagia Sophia menjadi masjid. Kini sudah jadi masjid.
Foto: Mustafa Ozer/AFP/Getty Images
Nilai Simbolik
Sebenarnya rumah ibadah kaum muslim di sekitar Hagia Sophia tidak bisa dibilang langka. Di depannya bediri Masjid Sultan Ahmad yang juga dikenal dengan "masjid biru." Kelompok konservatif Turki menganggap pengalihan fungsi Hagia Sophia menjadi masjid adalah peninggalan kesultanan Usmaniyah yang harus dilindungi.
Foto: picture-alliance/Arco
Tuntutan Kristen Ortodoks
Klaim terhadap Hagia Sophia juga diajukan oleh Bartholomeus I. Patriark Konstantinopel yang juga menjabat pemimpin tertinggi Kristen Ortodoks itu sejak lama meminta bangunan ini dikembalikan fungsinya sebagai gereja. "Hagia Sophia dibangun untuk umat Kristen," katanya.
Foto: picture-alliance/dpa
Keputusan Belum Jelas
Apa yang akan terjadi dengan Hagia Sophia, diputuskan pengadilan Turki pertengahan Juli 2020. Tuntutan kelompok oposisi nasionalis untuk menjadikannya masjid yang telah ditolak oleh parlemen dibukakan jalan dengan pembatalan status museum oleh pengadilan. UNESCO--yang mendaulatnya sebagai Warisan Budaya Dunia tahun 1985-.padahal sudah mengajukan keberatan.
Foto: picture-alliance/Marius Becker
10 foto1 | 10
Sementara di Indonesia di zaman kerajaan, orang menjadi Muslim karena mengikuti agama sang raja karena karakter budaya Nusantara yang "raja centric”. Gelombang besar masyarakat menjadi Muslim terjadi di zaman transisi dari Orde Lama ke Orde Baru. Karena khawatir dicap PKI oleh rezim Suharto, banyak masyarakat abangan waktu itu yang tidak jelas agamanya kemudian berbondong-bondong mendaftarkan diri sebagai "Muslim”.
Jelasnya, dalam banyak hal, orang (secara formal-nominal) menjadi Muslim atau Kristen itu karena faktor-faktor yang bersifat duniawi.
Akhirul kalam, tentu saja tidak ada salahnya orang mau menjadi Muslim atau Kristen. Mau menjadi Muslim Sunni/Syiah atau Katolik/Protestan dan seterusnya. Semua itu merupakan hak masing-masing individu. Yang perlu dijaga adalah spirit persaudaraan sesama umat manusia apapun agama (atau bahkan tidak beragama) mereka.
Silakan saja berlomba-lomba mewartakan kebaikan dan menyebarkan agama di masyarakat tetapi hendaknya harus dilakukan dengan cara-cara yang baik dan diiringi dengan sikap saling menghormati satu sama lain. Meskipun begitu, akan jauh lebih baik jika umat beragama berlomba-lomba dalam menebarkan kebajikan dan kemanusiaan, bukan dalam menghimpun pengikut. Semoga bermanfaat.
Penulis:
Sumanto Al Qurtuby (ap/as)
Dosen Antropologi Budaya dan Direktur Scientific Research in Social Sciences, King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi, serta Senior Scholar di National University of Singapore. Ia memperoleh gelar doktor dari Boston University dan pernah mendapat visiting fellowship dari University of Oxford, University of Notre Dame, dan Kyoto University. Ia telah menulis ratusan artikel ilmiah dan puluhan buku, antara lain Religious Violence and Conciliation in Indonesia (London & New York: Routledge, 2016)
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis.
Satu Rumah Tiga Agama
Sebuah proyek di Berlin ingin menyatukan tiga agama Samawi dalam satu atap. Nantinya umat Muslim, Kristen dan Yahudi saling berbagi ruang saat beribadah. The House of One bakal dibiayai murni lewat Crowdfunding.
Foto: Lia Darjes
Berkumpul di Bawah Satu Atap
Tidak lama lagi ibukota Jerman, Berlin, bakal menyambut sebuah rumah ibadah unik, yang menyatukan tiga agama Ibrahim, yakni Islam, Kristen dan Yahudi. Rencananya The House of One akan memiliki ruang terpisah untuk ketiga agama, dan beberapa ruang umum untuk para pemeluk buat saling bersosialiasi.
Foto: KuehnMalvezzi
Tiga Penggagas
Ide membangun The House of One diusung oleh tiga pemuka agama, yakni Pendeta Gregor Hohberg, Rabi Tovia Ben-Chorin dan seorang imam Muslim, Kadir Sanci. "Ketiga agama ini mengambil rute yang berbeda dalam perjalanannya, tapi tujuannya tetap sama," ujar Kadir Sanci. Menurutnya The House of One merupakan kesempatan baik buat ketiga agama untuk menjalin hubungan dalam kerangka kemanusiaan
Foto: Lia Darjes
Berpondasi Sejarah
Di atas lahan yang digunakan The House of One dulunya berdiri gereja St. Petri yang dihancurkan pada era Perang Dingin. Arsitek Kuehn Malvezzi memutuskan menggunakan pondasi gereja St. Petri untuk membangun The House of One. Sang arsitek mengakomodir permintaan masing-masing rumah ibadah, seperti Masjid dan Sinagoga yang harus mengadap ke arah timur.
Foto: Michel Koczy
Cerca dan Curiga
Awalnya tidak ada komunitas Muslim yang ingin terlibat dalam proyek tersebut. Namun, FID, sebuah kelompok minoritas Islam moderat yang anggotanya kebanyakan berdarah Turki mengamini. Kelompok tersebut harus menghadapi cercaan dari saudara seimannya lantaran dianggap menkhianati aqidah Islam. Namun menurut Sanci, perdamaian adalah rahmat semua agama.
Foto: KuehnMalvezzi
Dikritik Seperti Makam Firaun
Tidak jarang proyek di Berlin ini mengundang kritik tajam. Salah seorang tokoh agama Katholik Jerman, Martin Mosebach, misalnya menilai desain arsitektur The House of One tidak mencerminkan sebuah bangunan suci. Bentuk di beberapa bagiannya malah tampak serupa seperti makan Firaun. Tapi ketiga pemuka agama yang terlibat memilih acuh dan melanjutkan dialog terbuka untuk menggalang dukungan publik
Foto: Lia Darjes
Sumbangan Massa
Penggagas proyek The House of One menyadari betul pentingnya peran publik dalam pembangunan. Sebab itu mereka sepenuhnya mengandalkan pendanaan massa alias crowdfunding. Setiap orang bisa menyumbang uang buat membeli satu batu bata. Sebanyak 4,350.000 batu bata dibutuhkan buat menyempurnakan bangunan. Sejauh ini dana yang terkumpul sebesar 1 juta Euro dari 43 juta yang dibutuhkan
Foto: KuehnMalvezzi
Merajut Damai
Manajamen proyek berharap rumah baru ini bakal menjadi pusat pertukaran budaya antara ketiga pemeluk agama untuk saling menengenal dan saling menghargai. "Adalah hal baik buat mengenal lebih dekat jiran kita," ujar Imam Kadir Sanci.