Negara paling muda di dunia itu merayakan satu dekade kemerdekaan dalam kesederhanaan. Bencana kelaparan dan krisis ekonomi pasca perang saudara mengusir antusisasme terakhir di ibu kota Juba.
Namun damai tak lama bertahan. Hanya dua tahun kemudian, seisi negeri terjerembab dalam konflik brutal antara dua pemimpin politik yang kini berdamai dan membentuk pemerintahan persatuan nasional.
Stabilitas yang rapuh, ditambah pandemi corona, menyurutkan perayaan pada hari kemerdekaan. Pada Jumat, jalan-jalan di ibu kota Juba diwartakan sepi manusia. Tidak ada kemeriahan seperti yang dulu mewarnai parade kemenangan, satu dekade silam.
"Presiden Salva Kiir telah memerintahkan masyarakat untuk merayakan kemerdekaan di rumah masing-masing,” kata Wakil Menteri Informasi, Baba Medan, yang merujuk pada kekhawatiran sejumlah anggota kabinet terkait eskalasi wabah corona.
Baba mengatakan, Kiir akan berpidato di televisi, "agar semua orang bisa menyimaknya di televisi, atau mendengar di radio sendiri. Dengan begitu kita bisa meminimalisir risiko kesehatan.”
Satu-satunya perayaan resmi yang digelar pemerintah adalah kegiatan lari sepanjang 10 kilometer di Juba, kata Baba.
Presiden Kiir menyalahkan sanksi internasional yang menyusutkan anggaran negara dan membebani perekonomian. "Sebab itu kita tidak merayakan 10 tahun kemerdekaan dengan cara seperti yang diinginkan masyarakat,” kata dia kepada stasiun televisi Kenya, CItizen TV, Rabu (7/7) silam.
Pemilu dan penegakan hukum di Sudan Selatan
Sudan Selatan menikmati kucuran dana bantuan bernilai milyaran Dollar AS usai memenangkan referendum kemerdekaan 2011 silam. Pada akhir 2013, perpecahan di tubuh Gerakan Pembebasan Rakyat Sudan (SPLM) membuahkan perang terbuka antara Presiden Salva Kiir dan wakilnya, Riek Machar.
Iklan
Pertumpahan darah yang terjadi menewaskan 400.000 orang, dan memaksa jutaan warga melarikan diri dari kampung halamannya. Konflik antara Kiir dan Machar juga ikut menghancurkan infrastruktur vital, dan memicu kelangkaan bahan pangan dan obat-obatan bagi 12 juta penduduk.
Akibatnya, Sudan Selatan masih bergantung dari kucuran dana bantuan internasional. Adapun pemerintahan persatuan nasional yang menduetkan kedua seteru sejak 2018 itu dinilai masih terlalu rapuh untuk bisa berdiri sendiri.
"Tantangan besar yang dihadapi Sudan Selatan adalah menciptakan kembali semangat persatuan, kekuatan dan harapan yang lahir pada hari ini, sepuluh tahun lalu,” tulis troika barat yang dibentuk Inggris, Norwegia dan Amerika Serikat.
Anak-Anak di Zona Perang Sudan Selatan
Sudan Selatan adalah negara ke-4 paling berbahaya di dunia ranking GPI. Badan PBB Protection of Civilian (POC) berikan warga perlindungan. Para pengungsi yang dilindungi mencakup anak-anak yang tidak disertai orang tua.
Foto: DW / F. Abreu
Terpaksa Mengungsi Tanpa Orang Tua
Lebih dari 30,000 orang tinggal di lokasi Protection of Civilians (PoC) di Juba, ibukota Sudan Selatan. Sekitar 7.000 di antaranya anak-anak yang kehilangan kontak dengan orang tua. LSM Nonviolent Peaceforce (tentara perdamaian tanpa kekerasan) berusaha mempersatukan mereka kembali.
Foto: DW / F. Abreu
Mencari Keluarga dan Mempersatukan
Langkah pertama adalah menetapkan identitas anak dan mengumpulkan sebanyak mungkin informasi yang bisa membantu pencarian orang tua. Data ini diunggah ke internet dan bisa diakses semua organisasi yang bekerja bagi perlindungan anak di Sudan Selatan. Jika pencarian tidak berhasil, atau jika anak memang yatim piatu, akan dicari orang tua angkat.
Foto: DW / F. Abreu
Penjaga Perdamaian Semua Perempuan
Di Sudan Selatan, Nonviolent Peaceforce memfokuskan diri pada perlindungan bagi anak-anak dan perempuan. Mereka tidak berpartisipasi dalam konflik senjata tapi terkena dampaknya, sehingga Nonviolent Peaceforce mendirikan tim penjaga perdamaian bagi perempuan, yang terlatih khusus untuk mencegah kekerasan seksual dan kekerasan berdasarkan gender.
Foto: DW / F. Abreu
Pemberdayaan Kaum Perempuan
Selain latihan, tim penjaga perdamaian bagi perempuan juga diberi sokongan selanjutnya sesuai kebutuhan pekerjaan mereka. Tim bekerjasama dengan perempuan lain di komunitas, membantu mereka mengidentifikasi risiko dan memberikan reaksi. Tim juga berhubungan dengan pihak berwenang, sehingga pelaku kejahatan bisa dituntut tanggungjawabnya.
Foto: DW / F. Abreu
Konflik Etnis Merebak
Perang saudara diawali sengketa politik, tetapi ini menyebabkan kembali renggangnya hubungan antara suku Dinka dan Nuer. Presiden Salva Kiir berasal dari suku Dinka dan pemimpin pemberontak Riek Machar dari suku Nuer. Kawasan Ulang didominasi etnis Nuer. Daerah ini diserang pasukan pemerintah Mei 2015 dan belasan tewas. Konflik terus merebak ke daerah yang tadinya damai.
Foto: DW / F. Abreu
Proyek Perlindungan Anak
Nonviolent Peaceforce menyelenggarakan proyek di Ulang, salah satu dari enam proyek serupa di Sudan Selatan. Proyeknya berbeda-beda sesuai kebutuhan lokal. Di Ulang, komunitas pekerja sukarela menjamin bahwa anak-anak memperoleh akses bagi kegiatan rekreasi dan sport.
Foto: DW / F. Abreu
Sepak Bola di Bekas Tempat Perang
Di sekolah dasar Kopuot di Ulang, anak-anak bermain sepak bola sebagai bagian proyek proteksi anak-anak. Bangunan di latar belakang penuh dengan lubang peluru, dan jadi tugu peringatan bahwa sekolah itu juga jadi sasaran tembak tentara pemerintah dalam serangan Mei 2015.
Foto: DW / F. Abreu
Kembali ke Sekolah
Semua materi untuk pengajaran dan peralatan lain yang dibutuhkan sekolah rusak total akibat penyerbuan tentara pemerintah. Tetapi sekarang, di ruang-ruang kelas yang masih direnovasi, kembali berlangsung proses belajar-mengajar.
Foto: DW / F. Abreu
8 foto1 | 8
Ketiga negara menuntut pemerintah Sudan Selatan segera memulai persiapan untuk menyelenggarakan pemilihan umum yang "damai, kredibel dan inklusif.” Kiir dan Machar juga diminta "menyatukan angkatan perang,” dan mementuk "mekanisme pengadilan transisional” untuk menjamin penegakan hukum.