1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Serangan Fanatisme ke Jantung Keagamaan Eropa

20 September 2006

Kontroversi seputar ceramah ilmiah Paus Benediktus ke-16 di kota Regensburg masih menuai reaksi dan komentar.

Bendera Jerman turut dibakar di Basra, Irak, dalam demonstrasi mengecam pidato Paus
Bendera Jerman turut dibakar di Basra, Irak, dalam demonstrasi mengecam pidato PausFoto: AP

Meskipun sejumlah pemimpin negara Islam seperi Presiden Iran, Mahmud Ahmadinejad, dan Perdana Menteri Malaysia, Abdullah Ahmad Badawi, telah menerima permintaan maaf Paus, suara-suara bernada kecaman dari dunia Islam masih terdengar.

Harian Italia, Corriere della Sera yang berhaluan kiri berkomentar, Reaksi yang berlebihan dunia Islam merupakan serangan terhadap kebebasan berpendapat di Eropa.

"Sejumlah negara Islam merasa puas dengan penjelasan Paus terhadap pidatonya di Regensburg. Sementara beberapa negara Islam lain mendesak agar Paus meminta maaf dan banyak yang mengepalkan tangannya melalui penggunaan kekerasan dan ancaman mati. Selama konflik karikatur nabi Muhammad, Eropa mengalami serangan terhadap kebebasan berpendapatnya yang terbesar sejak zaman totaliterisme. Dan pada akhirnya, perkara semacam ini hanya akan dimenangkan oleh sang agresor. Eropa telah menerima, bahwa sejak saat ini, kebebasan satir dan kritik akan berlaku bagi semua. Kecuali bagi Islam tentunya. Karena dalam hal ini, sensur pribadi sudah menjadi kewajiban.

Sekarang mereka berusaha dengan tujuan yang lebih ambisius. Mereka ingin mengenai jantung keagamaan dunia Barat dan memaksa kita untuk menerima, bahwa bahkan seorang Paus pun tidak diperbolehkan berpikir tentang ciri khas kristen dan perbedaannya dengan Islam."

Sementara harian Inggris Financial Times yang terbit di London berkomentar, Paus tidak boleh memancing amarah umat Muslim.

"Paus yang dididik secara luar biasa boleh mengetahui, bahwa di abad pertengahan, zaman di mana ia mengambil kutipannya, tidak ada perbedaan yang mendasar antara Islam dan Kristen dalam menjalankan perang salib. Adalah tentara salib yang didukung oleh Paus dan menyerang kebudayaan manusia secara biadab. Pada tahun 1099 mereka melakukan pembantaian terhadap umat Muslim, Yahudi dan Ortodox serta tahun 1204 membakar kota Konstantinopel. Saat ini, seruan Paus untuk melakukan dialog terbuka memang patut disambut. Akan tetapi memancing kemarahan umat Muslim tanpa ada dasar apapun adalah pilihan yang salah untuk mencapai dialog tersebut."

Sedangkan harian Perancis Le Monde yang berhaluan liberal kiri, dalam tajuknya menurunkan komentar, Seruan untuk meminta maaf adalah senjata kaum fanatik.

"Dalam kenyataannya, pidato yang amat terbuka dan penuh tuntutan milik Paus Benediktus adalah celah lebar untuk berdemonstrasi menentang nilai-nilai Barat dan tradisi kebijaksanaannya. Sampai titik itu, tidak ada yang lagi peduli, apa yang sebenarnya ingin dikatakan oleh Paus. Peristiwa ini adalah murni urusan politik. Teologi dan kenyamanan terhadap pertukaran intelektual akan hilang di tengah hujan kritik dan kritik terhadap pribadi sendiri. Apakah dapat dibayangkan, jika jutaan manusia di Israel, Eropa atau Amerika berdemonstrasi menuntut Presiden Iran Ahmadinejad untuk menarik kembali kecamannya terhadap zionisme? Atau menuntut agar dia meminta maaf, karena ia berulang kali mengatakan, Israel harus dilenyapkan dari peta bumi? Tentu saja tidak. Tuntutan untuk meminta maaf adalah ibarat senjata yang melayani kaum fanatik dengan despotismenya."