1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Serangan Teror di Yordania

10 November 2005

Rangkaian serangan bom bunuh diri di tiga hotel internasional di Yordania, adalah peringatan keras bagi kita bahwa serangan teror dapat terjadi kapan dan dimanapun juga.

Hotel Radisson di Amman yang menjadi sasaran serangan bom di Yordania, Rabu kemarin (09/11)
Hotel Radisson di Amman yang menjadi sasaran serangan bom di Yordania, Rabu kemarin (09/11)Foto: AP

Beberapa harian internasional mengangkat serangan teror di Yordania sebagai kepala berita utamanya. Selain itu, kerusuhan dan vandalisme yang terus berlangsung di Perancis, tetap merupakan tema komentar utama harian-harian internasional.

Kita awali dengan rangkaian serangan bom bunuh diri di Yordania. Harian AS The Washington Times memasang kepala berita, 57 orang tewas dalam ledakan di hotel-hotel di Yordania. Lebih jauh harian ini menulis :

"Serangan teror yang menewaskan sedikitnya 57 orang dan melukai 115 orang lainnya, diduga merupakan rangkaian serangan yang dilancarkan Al Qaida, terhadap dunia Arab yang dinilai terlalu dekat dengan AS. Di Yordania sendiri, kelompok persaudaraan Muslim Yordania mengutuk serangan teror tersebut sebagai menyerang Islam. Itu merupakan serangan penjahat dan teroris yang tidak dapat diterima oleh umat Islam. Serangan semacam itu bertentangan dengan agama Islam. Musuh-musuh negara, hanya akan memetik keuntungan dari aksi kriminal semacam itu. Warga Yordania kini juga berspekulasi, atas serangan yang dilancarkan tanggal 9 November yang jika ditulis dengan huruf Arab, akan sama dengan tulisan gaya Amerika mengenai serangan teror 11 September di AS, yakni 9-11 atau Nine-Eleven."

Harian Jerman Die Welt menulis, Al Qaida mengaku bertanggung jawab atas rangkaian serangan di Yordania.

"Dalam pernyataan Al Qaida di situs internet yang sulit dilacak kebenarannya disebutkan, rangkaian serangan bom di hotel-hotel mewah itu, merupakan peringatan kepada Raja Abdullah kedua. Kepala negara Yordania itu, dituduh sebagai pengkhianat, yang membuat hotel-hotel internasional tersebut menjadi surga bagi musuh agama. Hotel-hotel yang menjadi sasaran serangan teror, terletak di kawasan bisnis Djabal Amman dan Al Rabiya, dan kebanyakan disinggahi pengusaha internasional dan para diplomat, akan tetapi juga merupakan hotel favorit bagi wisatawan dari Israel."

Harian Australia Sydney Morning Herald menulis, di antara korban tewas juga terdapat kepala dinas rahasia Palestina, Bashir Nafeh.

"Dalam pernyataannya Al Qaida mengatakan, kami mengirim singa-singa terbaik untuk menyerang sarang musuh. Karena para pemimpin yang lalim mengubah Yordania menjadi kebun belakang bagi para musuh agama, kelompok Yahudi dan para pelaku perang salib. Akan tetapi, raja Yordania Abdullah II mengatakan, serangan bom itu merupakan aksi teroris dan berjanji akan mengejar para penjahat pelakunya. Yordania akan tetap teguh memerangi teroris, yang hendak merugikan warga sipil yang tidak berdosa."

Tema lainnya yang tetap menjadi sorotan harian-harian internasional adalah kerusuhan dan vandalisme di Perancis. Terutama dikomentari posisi Perancis dalam Uni Eropa, berkaitan dengan kerusuhan yang terus berlanjut. Harian Perancis DNA yang terbit di Strassburg menulis, krisis politik di Perancis juga berdampak terhadap Uni Eropa. Lebih lanjut harian ini menulis :

"Belum pernah posisi Perancis dalam Uni Eropa selemah saat ini. Setelah gagal dengan konstitusi Uni Eropa, disusul runtuhnya model sosialis Perancis serta tidak berhasilnya reformasi, sekarang model integrasi Paris juga ternyata tidak manjur. Terbukti dari semakin meluasnya kerusuhan di pinggiran kota-kota besar. Terlepas dari beberapa pernyataan sarkastis, sebetulnya tidak ada yang merasa gembira dengan huru-hara yang melanda Perancis. Bukan hanya sekedar khawatir aksinya akan menular, akan tetapi lebih dari itu. Yakni ketakutan akan vakum kekuasaan, yang menyebabkan ketidakseimbangan di dalam Uni Eropa."

Harian Swedia Svenska Dagbladet yang terbit di Stockholm berkomentar, kaisar telanjang Chirac dapat berkaca kepada Blair di London.

"Beberapa pekan lalu pimpinan puncak Uni Eropa masih membahas tantangan globalisasi. Presiden Chirac ketika itu masih menonjolkan sistem sosial Perancis. Sekarang, Chirac ibaratnya seorang kaisar telanjang, yang tidak memiliki jawaban, untuk pertanyaan bagaimana memadamkan api di pinggiran kota-kota besar Perancis. Negara itu harus menjadi sebuah negara terbuka. Dan Perancis dapat belajar kepada model Anglo-Saxon dari Tony Blair, yang dikecam oleh Chirac sebagai sistem yang anti-sosial."