1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KonflikLibya

Serdadu Pemerintah Usir Gerilyawan Oposisi di Tripoli

29 Agustus 2022

Kedamaian berangsur pulih di Tripoli seusai pertempuran antarfaksi yang menewaskan 32 orang dan melukai ratusan lainnya, Sabtu (27/8). Upaya oposisi merebut ibu kota justru memperkuat posisi PM Abdul Hamid Dbeibah.

Suasana di Tripoli, Sabtu (27/8)
Suasana pertempuran di ibu kota Libya, Tripoli, Sabtu (27/8)Foto: Hazem Ahmed/REUTERS

Pada Minggu (28/8), kobaran api di pelosok kota dikabarkan sudah padam menyusul pertempuran sengit antara serdadu pemerintah dan pasukan oposisi pimpinan Fathi Bashagha, yang didukung parlemen di timur. Petugas kebersihan terlihat menyapu jalanan dari selongsong peluru yang bertebaran, sementara yang lain berusaha memindahkan rongsokan mobil yang hangus terbakar.

Pertempuran pada Sabtu (27/8) itu meletus dan berakhir secara tiba-tiba. Reuters melaporkan, pada akhir pertempuran, serdadu pemerintah merebut sejumlah pangkalan yang sebelumnya diduduki gerilayawan dari timur. Insiden itu memperkuat kekhawatiran pecahnya perang saudara menyusul kebuntuan selama berbulan-bulan di Libya.

Peta wilayah teritorial di Libya

Libya dililit konflik antarfaksi sejak revolusi dukungan NATO menjatuhkan diktatur Muammar Gaddafi pada 2011 silam. Sejak 2014, negara kaya minyak itu terbelah dua antara faksi di timur yang dikuasai ketua parlemen, Aguila Saleh, dan bekas komandan militer, Khalifa Haftar, melawan faksi barat di bawah Perdana Menteri Abdullah Dbeibah. Kebuntuan itu akhirnya mengundang adidaya regional untuk campur tangan.

Peluang Bashagha merebut Tripoli kini semakin tipis, setelah pasukannya dipaksa mundur dari ibu kota. Kendati begitu, ketua parlemen, Aguila Saleh, dan komandan Tentara Nasional Libya (LNA), Khalifa Haftar, sejauh ini belum menunjukkan kesiapan berunding dengan Dbeibah.

Parlemen di timur menuntut Dbeibah mundur karena dianggap terlalu lama menguasai pemerintahan transisi dan gagal menyelanggarakan pemilihan umum. Buntutnya, Bashagha dinominasikan sebagai perdana menteri baru pada awal 2022 silam. Dbeibah menolak pemakzulan tersebut.

Pemilu semakin samar

"Dbeibah terlihat lebih kokoh dan permanen sekarang dibandingkan 48 jam silam," kata analis Libya, Jalel Harchaoui. "Haftar dan Aguila Saleh harus memutuskan apakah mereka bisa menerima konfigurasi politik, di mana mereka hampir tidak punya kekuasaan di Tripoli," imbuhnya.

Dia mengatakan, pertempuran biasanya disusul dengan negosiasi antarfaksi. Tapi menurutnya kedua rival juga bisa memupuk kekuatan baru untuk memperluas wilayah kekuasaannya.

Penyelenggaraan pemilihan umum, yang sedianya harus digelar tahun lalu sebagai bagian dari peta jalan damai PBB, kini semakin mustahil. Kedua pihak gagal bersepakat seputar siapa yang berhak mengawasi dan menentukan sistem pemilu.

Pada Sabtu (27/8), faksi yang mendukung Bhashagha sempat berusaha merebut kembali wilayah kekuasaannya di ibu kota, dengan merangsek dari arah barat dan selatan. Namun serangan tersebut berhasil dipatahkan serdadu pemerintah. Akibatnya, konvoi militer yang membawa Bashagha dari Misrata ke Tripoli harus berbalik arah sebelum tiba di ibu kota.

Osama Juweili, seorang komandan pro-Bashagha, mengatakan pertempuran dipicu oleh percekcokan antara serdadu di Tripoli. Kepada stasiun televisi al-Ahrar, dia menegaskan "bukan sebuah tindak kriminal" untuk membawa pemerintahan yang dipilih oleh parlemen ke ibu kota.

Menurut Kementerian Kesehatan, setidaknya 32 orang tewas dan 159 mengalami luka-luka akibat pertempuran tersebut. Tidak jelas berapa gerilayawan yang tewas. Hingga Minggu, petugas masih berusaha membersihkan puing-puing bangunan yang rontok terkena bom. "Siapa yang akan mengganti kerugian mereka?" teriak seorang warga di antara reruntuhan bangunan. "Dan siapa yang akan menghidupkan kembali mereka yang tewas?"

rzn/hp (rtr,afp)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait

Topik terkait

Tampilkan liputan lainnya