1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Sering Kebobolan, Indonesia Darurat Sinergi Pengamanan Laut

27 Agustus 2021

Pakar hukum laut mengatakan tanpa sinergi patroli laut bersama Bakamla, terjadi tumpang-tindih wilayah patroli di wilayah tertentu, sementara daerah lainnya tidak diawasi dan rawan pelanggaran.

Kapal-kapal melintasi Selat Malaka
Selat Malaka yang merupakan salah satu perairan tersibuk di dunia banyak diawasi oleh kapal patroliFoto: Getty Images/AFP/R. Rahman

Posisi geografis yang strategis membuat perairan Indonesia menjadi tempat yang rawan terjadinya pelanggaran oleh kapal-kapal berbendera asing. Jumlahnya tak hanya satu dua, bahkan ratusan kapal sudah ditangkap dengan berbagai macam pelanggaran.

Yang terbaru adalah ditangkapnya kapal tanker berbendera Bahama bernama MT Strovolos  oleh kapal TNI AL pada akhir Juli. Kapal ini menjadi buronan pemerintah Kamboja karena mencuri sekitar 300 ribu barel minyak mentah.

Panglima Koarmada I Laksda TNI Arsyad Abdullah dalam pernyataan tertulisnya pada Rabu (25/08) mengatakan kapal MT Strovolos ditangkap karena melakukan pelanggaran wilayah teritorial setelah berlabuh secara ilegal di perairan Anambas, Kepulauan Riau. Kapal ini berlabuh dengan mematikan sistem identifikasinya.

Banyak yang melintas tanpa izin

Sebelumnya, otoritas keamanan laut Indonesia yakni Badan Keamanan Laut (Bakamla) juga pernah menangkap kapal tanker berbendera Iran dan Panama, MT Freya dan MT Horse, saat mentransfer bahan bakar minyak secara ilegal pada 24 Januari di perairan Pontianak.

Kedua kapal tersebut ditangkap karena menyembunyikan identitas dengan tidak mengibarkan bendera, menutup lambung kapal dengan kain dan jaring, serta sengaja mematikan Sistem Identifikasi Otomatis atau Automatic Identification System (AIS). Ini adalah sistem yang memungkinkan otoritas maritim setempat melacak dan memantau pergerakan serta posisi kapal.

Pakar menilai kekosongan patroli di beberapa wilayah laut Indonesia menjadi salah satu penyebab Indonesia kerap kali mengalami kebobolan semacam ini. 

"Banyak dari kapal tersebut yang tidak minta izin ketika melintasi wilayah Indonesia. Sehingga terjadi pelanggaran lalu lintas navigasi," ujar Pakar Hukum Laut dari Universitas Indonesia (UI), Arie Afriansyah kepada DW Indonesia, Kamis (26/08).

Seharusnya, ujar Arie, pelanggaran navigasi bisa masuk ranah pidana. Namun penegakan hukum di Indonesia masih belum efektif.

Menurut dia, kekosongan penegakan hukum ini bisa diantisipasi dengan mensinergikan patroli wilayah laut oleh Bakamla dan instansi terkait seperti TNI Angkatan Laut (AL), Kementerian Perhubungan, Polair, Kementerian KKP, dan Bea Cukai. Nantinya, Bakamla dapat mengatur patroli di wilayah laut dan membuat jadwal untuk setiap wilayah setiap harinya sehingga tidak ada wilayah yang kosong tanpa patroli.

Namun ia mengatakan masing-masing kementerian masih belum mau melakukan sinergi patroli bersama Bakamla, dan karenanya terjadi tumpang tindih wilayah patroli. Misalnya, di daerah Kepulauan Riau dan sekitar Batam terdapat banyak kapal dari Bea Cukai, PSDKP, Bakamla dan TNI AL.

"Ada wilayah favorit mereka. Di sana banyak terjadi penyelundupan barang, orang, narkoba dan penangkapan ikan juga. Sementara kalau ngumpul semua di satu area 'kan pasti ada wilayah yang tidak terjaga. Padahal satu wilayah saja cukup satu yang jaga," ungkap Arief.

Perlunya konsistensi penegakan hukum

Undang-undang (UU) Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran mengatur sanksi berupa teguran disertai pencatatan bagi pelanggar yang mematikan sistem identifikasi otomatis, AIS. Sementara, transfer bahan bakar atau ship-to-ship berpotensi terkena denda paling tinggi sebesar Rp200 juta.

Arie mengakui sanksi administratif memang menimbulkan efek jera. Namun,selain itu, efek jera bisa juga ditimbulkan dari penegakan hukum yang berlanjut, misalnya dengan cara konsisten menindak tegas kapal asing yang masuk Indonesia tanpa kejelasan surat-surat izin.

"Lama kelamaan kapal asing akan jera juga sepanjang aparat kita tidak bosan menangkap kapal-kapal pelanggar tersebut."

Selain kekosongan patroli, ujar Arie, penyebab lainnya adalah keterbatasan baik dari aparat penegak hukum dan kekuatan armada sehingga tidak bisa mengamankan seluruh wilayah Indonesia. 

Indonesia setidaknya membutuhkan 32 buah satuan radar dan 18 unit kapal selam untuk memenuhi jumlah ideal pengamanan laut. Sementara saat ini, Indonesia baru memiliki 8 satuan radar dan 4 kapal selam. Sementara Bakamla memiliki 10 kapal atau baru 30 persen dari total kebutuhan ideal yaitu 60 kapal.

Pakar Keamanan dan Militer, Susaningtyas Kertopati mengatakan pemerintah perlu menjalankan komitmen untuk menguatkan sektor maritim, salah satunya dengan RUU Keamanan Laut yang saat ini sedang disusun.

"Harus ada pembahasan ulang atas regulasi yang sudah ada. Namun, ini semua bukan melulu regulasi yang kurang memadai tetapi implementasi yang tidak dilaksanakan dengan baik oleh petugasnya," kata dia.

Pemerintah dinilai kurang responsif

Sementara anggota Komisi I DPR RI, Effendi Simbolon, mengatakan kejadian pelanggaran laut kerap terulang karena Indonesia belum memiliki UU Badan Keamanan Laut/Coast Guard sehingga sanksi tidak memberikan efek jera.

Sementara, kata dia, jumlah pelanggaran yang dilakukan oleh kapal asing itu dapat mencapai ribuan. Belum lagi ditambah kerugian karena diambilnya sumber daya dari Indonesia secara ilegal.

"Jangan sampai karena regulasi lemah jadi membuat pelaku pelanggaran bebas sehingga tak menimbulkan efek jera. Jangan sampai seluruh kekayaan alam bawah laut jadi objek belanjaan kapal asing. Seharusnya pidananya berat dendanya juga harus besar," katanya.

Ia berharap Bakamla bisa menjadi lembaga adhoc untuk keamanan laut seperti halnya KPK yang menangani korupsi. "Jadi Bakamla bisa melakukan pencegahan, penuntutan dan dakwaan juga vonis dan bisa diselesaikan dalam satu atap, karena pelanggaran di laut hampir tiap malam terjadi." (ae)

Tria Dianti Kontributor DW. Fokusnya pada hubungan internasional, human interest, dan berita headline Indonesia.
Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait