1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Seruan Penolakan bagi Naskah Rancangan Konstitusi Myanmar

3 April 2008

Lewat undang-undang dasar yang baru, Junta Militer Myanmar berniat mengamankan kekuasaannya. Beberapa kalangan menilai konstitusi baru itu tidak akan memperbaiki kondisi rakyat Birma.

Upacara militer di Myanmar
Upacara militer di MyanmarFoto: AP

Rencananya Mei mendatang, rakyat Birma dapat memberikan suara mereka lewat referendum, untuk menerima atau menolak naskah undang-undang dasar baru itu.

Partai oposisi, Liga Nasional untuk Demokrasi LND menyerukan penolakan terhadap undang-undang dasar baru yang diajukan rezim militer Myanmar tersebut, yang sedianya akan menjadi landasan pemilu Myanmar tahun 2010 mendatang. Partai LND menilai rancangan undang-undang dasar itu tidak menjamin hak-hak asasi manusia maupun demokrasi.

Rincian naskahnya sendiri hingga kini belum diketahui. Cuma diketahui bahwa militer masih tetap akan memegang kendali politik. Dengan naskah UUD itu, maka di masa depan presiden harus mengurusi masalah militer. Presiden ditulis dalam naskah itu harus dari kalangan tentara. Dengan aturan itu, maka tertutup kemungkinan Aung San Suu Kyi yang menjalani tahanan rumah bertahun-tahun, untuk ikut dalam kancah pemilihan presiden tahun 2010 nanti.

Konstitusi itu juga menetapkan jatah seperempat dari kursi parlemen harus diserahkan kepada militer. Tak urung kritik tajam mengalir. Penerbit dan penulis Birma Zin Linn, yang hidup di Thailand sebagai pengungsi politik, menggambarkan situasinya:

"Menurut informasi dari aktivis, sekarang terdapat dua belas kelompok masyarakat, mulai dari asosiasi mahasiswa, biksu, jurnalis, dan pengacara, yang bersama-sama menyatakan tidak akan mendukung referendum ini.“

Juga di luar Myanmar, yang sebelum dikuasai junta militer bernama Birma itu, terdapat berbagai kelompok yang menolak naskah undang-undang dasar itu. Aktivis HAM Kyaw Lin Oo, pendiri salah satu organisasi perlawanan naskah konstitusi itu, berujar:

"Dapat diamati, ada gerakan dari berbagai kelompok yang berbeda-beda di Birma sendiri, yang menyerukan agar rakyat dalam referendum ini menjawab TIDAK. Organisasi kami akan mendukung orang-orang yang memilih kata TIDAK. Rakyat tidak menginginkan konstitusi semacam ini dan akan bersama-sama menolaknya.“

Apakah penentangan referendum itu akan berhasil, masih tanda tanya. Sebab junta militer akan tetap memaksakan undang-undang dasar itu dengan segala cara. Kembali penulis Birma Zin Linn menyebutkan:

"Mereka akan memanfaatkan milisi rakyat USDA yang akan mengancam orang-orang dari rumah-rumah dan menggriring mereka menuju tempat pemungutan suara. Serta memaksa warga memberikan suaranya. Namun sekarang rakyat lebih berani memberikan perlawanan, karena masyarakat internasional menekan junta militer menarik naskah undang-undang dasar tersebut. Dengan demikian, dapat saja terjadi konflik antara masyarakat dengan kelompok-kelompok yang dekat dengan pemerintahan.“

Hampir lima puluh tahun lamanya Birma berada dalam kekuasaan militer. Kemenangan partai di bawah kepemimpinan Aung San Suu Kyi, Liga Nasional untuk Demokrasi tahun 1990, tidak diakui oleh junta militer. Ketidakpuasan masyarakat berada dalam kekangan militer mendorong aksi besar yang didukung para biksu, setengah tahun silam. (ap)