1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Setahun Kudeta Militer Thailand

18 September 2007

Tanggal 19 hari Rabu ini tepat setahun kudeta militer di Thailand

Foto: AP

Dalam kudeta tak berdarah itu, perdana menteri Thaksin Sinawatra yang tengah melawat ke luar negeri digulingkan. Militer lalu membentuk pemerintah baru, dan melakukan segala upaya untuk menjebloskan Thaksin ke penjara.

Terlepas dari berbagai tuduhan, Thaksin adalah perdana menteri yang terpilih secara demokratis. Kudeta setahun lalu itu merupakan langkah mundur dalam demokrasi Thailand. Karenanya berbagai kelompok pro demokrasi yang bergabung dalam Aliansi Demokrasi Menentang Kediktatoran, DAAD, menyelenggarkan berbagai acara protes untuk menuntut dipulihkannya demokrasi.

Tokoh DAAD, Methaphan Phothitheerarot, mengungkapkan kepada radio DW:

"Pemerintah bentukan kudeta ini gagal total di segala aspek. Yang paling parah adalah rusaknya sendi-sendi demokrasi di masyarakat".

Pendapat itu diamini Somkiat Tangkitvanich, direktur Thailand Development Research Institute. Kepada DW ia mengungkapkan:

"Secara kasat mata sebetulnya tidak banyak yang berubah. Namun secara psikologis rakyat kehilangan kepercayaan. Mereka tak yakin apa yang akan terjadi dalam waktu dekat. Juga swasta, banyak perusahaan sangar ragu-ragu dalam menanam modal sampai mereka tahu apa yang akan terjadi. Di tingkat rumah tangga juga sama. Orang-orang tak lagi membeli barang-barang berharga seperti rumah, karena mereka tak merasa pasti apakah ekonomi akan berjalan baik atau tidak."

Kudeta militer tampaknya sangat berdampak pada segi ekonomi. Prospek ekonomi Bank Pembangunan Asia yang diluncurkan dua hari lalu meramalkan pertumbuhan ekonomi pesat di Asia, juga Asia Tenggara. Namun Thailand bukan termasuk yang dijagokan.

Sejak Thaksin masih berkuasa, ekonomi Thailand memang sudah buruk, namun makin tergelincir jauh sesudah kudeta militer. Pemerintah bentukan militer dipandang lebih sibuk mencari upaya menjegal bekas perdana menteri Thaksin Sinawatra dengan segala cara, namun mengabaikan penanganan ekonomi. Digambarkan oleh Somkiat Tangkitvanich:

"Ketika militer mengambil alih kekuasaan, situasi politik dan ekonomi sudah sulit. Keadaan keuangan negara sangat ketat. Pemerintah Thaksin menghambur-hamburkan uang, sehingga pemerintah militer yang sekarang tak memiliki ruang cukup untuk melakukan manuver ekonomi. Namun juga, kudeta itu sendiri menimbulkan berbagai permasalahan. Investor kehilangan kepercayaan. Ketegangan politik berlangsung lama. Lalu pemerintah juga melakukan sejumlah kesalahan besar. Misalnya dalam upaya mereka melalui Bank Sentral untuk mengendalikan arus keuangan, serta dalam upaya memberlakukan hukum penananman modal asing yang baru. Itu semua menciptakan keresahan di kalangan investor. Jadi, masalahnya rumit. Sebagian merupakan warisan pemerintah lalu, sebagian akibat kebijakan pemerintah sekarang."

Di jalanan dan di berbagai lapangan, para penentang kudeta militer menuntut pembubaran pemerintah bentukan militer, dan pemulihan demokrasi. Namun tampaknya harapan yang agak realistis adalah Pemilihan Umum, yang dijanjikan pemerintah akan diselengarakan tahun ini. Karena setidaknya pemerintah baru akan mendapat mandat rakyat. Berbeda dengan pemerintah sekarang. Kembali Somkiat Tangkitvanich, direktur Thailand Development Research Institute:

"Faktor yang paling menentukan adalah faksi mana yang akan menjadi pemerintah baru nanti. Dilemanya, kelompok yang setia kepada Thaksin Sinawatra. Jika faksi Thaksin menang Pemilu, ketidakpastian akan lebih besar lagi. Dalam arti, militer akan terdorong campur tangan lebih jauh. Namun jika pihak lain, terutama Partai Demokrat dengan sekutunya memenangkan Pemilu dengan keunggulan cukup besar, saya kira situasi akan cepat membaik. Kendati apapun yang terjadi, sebetulnya pemerintah mendatang tidak akan terlalu stabil. Karena perundangan Pemilu yang baru menentukan bahwa pembentukan pemerintah harus dilakukan oleh koalisi, dan bukannya satu partai saja".