1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Setahun Prabowo: Kebijakan Diplomasi dan Figur Presiden

20 Oktober 2025

Setahun menjabat, Prabowo mencatat 36 kunjungan di 25 negara. Di balik diplomasi maraton ini, muncul pertanyaan: Apakah kebijakan luar negeri Indonesia terlalu bergantung kepada figur presiden?

Presiden Prabowo Subianto di KTT PBB tentang Palestina dalam Sidang Umum PBB di New York, 22 September 2025
Presiden Prabowo Subianto di KTT PBB tentang Palestina, New York, AS, 22 September 2025Foto: Ludovic Marin/AFP/Getty Images

Kunjungan Prabowo Subianto ke Mesir untuk menghadiri forum KTT Perdamaian Gaza menjadi perjalanan diplomatik terakhirnya di tahun perdana sebagai presiden.

Forum yang digelar di Sharm el-Sheikh pada pertengahan Oktober itu dihadiri Presiden Amerika Serikat Donald Trump, Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi, serta perwakilan sejumlah negara Timur Tengah, Afrika, dan Eropa.

Dalam pertemuan itu, Prabowo menegaskan dukungan Indonesia terhadap rencana perdamaian yang diinisiasi Amerika Serikat. Ia juga memandang forum itu sebagai upaya besar bagi awal penyelesaian konflik di Gaza.

Prabowo juga menekankan pentingnya posisi Indonesia sebagai pemain aktif dalam isu global yang selama ini memiliki resonansi kuat di dalam negeri.

Namun, langkah ini juga menuai catatan kritis.

Menurut Shofwan Choiruzzad, dosen hubungan internasional Universitas Indonesia, keinginan Prabowo untuk lebih aktif dalam isu Palestina memang sejalan dengan perhatian publik Indonesia, tetapi arah kebijakannya perlu diawasi secara hati-hati.

Shofwan menjelaskan, KTT Perdamaian Gaza belum memberikan hasil nyata di lapangan. Ia menyoroti bahwa kekerasan terhadap warga Palestina masih terus terjadi meski pertemuan itu diklaim sebagai momentum awal perdamaian.

"Saya kira terlalu awal melihat apa yang disebut sebagai KTT Perdamaian tersebut telah berhasil. Di Tepi Barat, para pemukim ilegal yang dibekingi tentara Israel masih membakar, menyerang, bahkan membunuh orang-orang Palestina. Israel juga dilaporkan masih membunuh orang Palestina di Gaza. Netanyahu bahkan jelas mengatakan tidak akan menarik mundur IDF dari Gaza," ujarnya kepada DW Indonesia

Menurut Shofwan, Prabowo perlu berhati-hati karena keterlibatannya dalam rencana perdamaian yang tidak menyentuh akar persoalan, seperti blokade dan pelanggaran HAM, bisa membuat Indonesia terseret pada posisi yang bertentangan dengan prinsip politik luar negeri bebas-aktif dan komitmen hukum internasional.

"Keterlibatan Indonesia tidak boleh bertentangan dengan hukum internasional dan malah komplisit pada apa yang disebut oleh UN Independent Commission, HRW, dan Amnesty International sebagai genosida," kata Shofwan kepad DW Indonesia.

Pandangan itu sejalan dengan analisis Radityo Dharmaputra, dosen hubungan internasional dari Universitas Airlangga, Jawa Timur. Ia menilai kehadiran Prabowo di KTT Gaza justru sarat makna simbolik, tetapi belum disertai dengan implikasi yang jelas dari kesepakatan perjanjian tersebut.

"Ini seperti keputusan yang dibuat oleh negara-negara lain, tanpa benar-benar melibatkan pihak yang sedang berkonflik." ujar Radityo.

Prabowo di Beijing, menghadiri parade militer 80 tahun Cina tidak lama setelah demonsrasi besar di Jakarta.Foto: Sergei Bobylev/TASS/picture alliance

Diplomasi "FOMO" ala Prabowo

Berbeda dengan Presiden Joko Widodo, Prabowo tampak lebih sering tampil dominan di panggung diplomatik dunia. Kehadiran Prabowo kerap mendominasi sorotan dengan pidato berapi-api, dan janji besar.

Radityo Dharmaputra, dosen hubungan internasional dari Universitas Airlangga, mengkritisi gaya ini sebagai bentuk fear of missing out atau "FOMO diplomacy."

Dalam konteks politik luar negeri, istilah diplomasi FOMO menggambarkan dorongan seorang pemimpin untuk selalu hadir di setiap forum internasional karena khawatir tertinggal dari rekan-rekannya di panggung global.

"Jadi yang sangat khas dari diplomasi FOMO itu, Pak Presiden sedang kepingin ketemu sama siapa, berasa diundang di sana, semua pemimpin datang, maka beliau ingin berangkat.... Padahal yang lebih penting adalah tindak lanjut dari kunjungan sebelumnya," sebutnya.

Radityo mencontohkan, pola ini tampak dalam keputusan Prabowo berangkat ke Beijing di tengah demonstrasi besar yang melanda Jakarta pada akhir Agustus lalu. Saat situasi politik dalam negeri memanas, Prabowo justru menghadiri parade militer dan bertemu sejumlah tokoh seperti Xi Jinping, Vladimir Putin, dan Kim Jong Un.

Bagi Radityo, keputusan tersebut memperkuat kesan bahwa pencitraan luar negeri untuk bersanding dengan tokoh dunia lebih diutamakan dibanding kepekaan terhadap dinamika politik di dalam negeri. 

Fenomena diplomasi FOMO, menurut Radit, juga menjadi awal munculnya masalah yang lebih dalam, yaitu keputusan diplomatik yang berpusat pada figur presiden. Jika diplomasi FOMO berangkat dari dorongan untuk selalu hadir di setiap forum internasional, maka gaya diplomasi yang berpusat pada satu figur terlihat dari bagaimana arah dan pesan kebijakan luar negeri sering kali ditentukan langsung oleh Presiden Prabowo.

"Selama ini terlalu personal, semuanya tergantung maunya presiden. Kemenlu yang seharusnya jadi ujung tombak justru harus turun tangan ‘bersih-bersih’, merapikan pernyataan presiden agar tidak menimbulkan salah persepsi di dunia internasional," ujarnya.

Radityo mencontohkan momen pidato Prabowo di Sidang Umum PBB ke-80. Di sana, presiden mengumumkan sejumlah janji besar, salah satunya yakni target baru Indonesia dalam Perjanjian Paris 2060 dan menyerukan aksi global melawan perubahan iklim. Namun menurutnya di balik janji itu, kementerian teknis belum menyiapkan tindak lanjut yang konkret.

"Begitu presiden bicara soal target Paris Agreement baru, langsung muncul pertanyaan dari diplomat Eropa apakah Indonesia benar-benar berkomitmen? Saya waktu itu di sana, dan kementerian terkait belum bisa menjawab apa dampaknya. Nah, di sinilah gap diplomasi kita," ujarnya.

Bahkan dalam pernyataan lainnya di forum PBB, Prabowo sempat mengisyaratkan bahwa Indonesia "siap" menjalin hubungan diplomatik dengan Israel apabila Israel mengakui kemerdekaan Palestina. Langkah ini pun menyulut pro dan kontra tajam di kalangan masyarakat Indonesia tentang perubahan sikap diplomatik Indonesia.

"Pak Prabowo bilang mau mengakui Israel kalau Palestina diakui oleh Israel, itu kan ada konsekuensi lanjutannya. Indonesia siap tidak mengirimkan persyaratan perdamaian? Sudah siap belum? Bahkan sampai keluar pernyataan itu pun, sampai saat ini masih belum terlihat apa dampaknya," ujarnya.

Bagi Radityo, seharusnya diplomasi tidak berjalan berdasarkan preferensi pribadi presiden. Kebijakan luar negeri idealnya disusun secara terencana melalui koordinasi lintas lembaga, terutama dengan Kementerian Luar Negeri, agar pesan yang disampaikan di panggung global sejalan dengan prioritas dan kapasitas nasional di dalam negeri.

Pedang bermata dua investasi ekonomi era Prabowo

Diplomasi Prabowo juga diarahkan untuk menunjang janji politik pertumbuhan ekonomi 8 persen dan lapangan kerja.

Salah satu capaian diplomasi ekonomi Prabowo Subianto adalah kesepakatan dagang Indonesia - Uni Eropa atau IEU-CEPA pada September lalu. Kesepakatan yang sudah lebih dari 10 tahun dinegosiasikan ini mampu membuka pasar baru dan menarik investasi asing ke Indonesia. 

Prabowo Bertemu Presiden Uni Eropa Ursula Von Der Leyen, Bicara Perjanjian Dagang EIU-CEPAFoto: Laily Rachev - Biro Pers Sekretariat Presiden

Peneliti investasi asing langsung (FDI) di Vienna University of Economics and Business, Dewa Gede Sidan Raeskyesa, menilai langkah ini adalah sinyal positif. "Perjanjian dengan Uni Eropa patut diapresiasi, Ini fondasi penting untuk pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja ke depan."

Namun, Sidan juga mengingatkan bahwa perjanjian seperti IEU-CEPA tidak lantas menjamin kesejahteraan masyarakat Indonesia.

Ia menilai, manfaat ekonomi yang dijanjikan pemerintah hanya akan tercapai jika investasi yang masuk benar-benar produktif dan terhubung dengan ekonomi lokal. "Tidak cukup hanya mengandalkan ekspor impor. Yang sebenarnya kita butuhkan adalah investasi asing langsung yang benar-benar produktif."

Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) tahun 2025 memperlihatkan bahwa Jawa Barat menjadi provinsi penerima investasi asing terbesar, mencapai hampir Rp65 triliun, disusul DKI Jakarta Rp50 triliun, dan Banten Rp25 triliun. Namun, data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Februari 2025 menunjukkan tingkat pengangguran di ketiga provinsi itu tetap tinggi, masing-masing 6,7 persen, 6,1 persen, dan 6,6 persen.

Bagi Sidan, ini menunjukkan paradoks dari diplomasi ekonomi yang digencarkan Prabowo. "Ini pedang bermata dua, kalau tenaga kerja kita tidak punya keterampilan, atau regulasi tidak melibatkan UMKM lokal, investasi bisa memperlebar ketimpangan," katanya. 

Ia menyebut ketimpangan keterampilan dan lemahnya kapasitas industri lokal, dan regulasi dalam negeri sebagai hambatan struktural yang perlu segera dibenahi. Tanpa itu, pertumbuhan ekonomi hanya akan terkonsentrasi di sektor-sektor besar yang padat modal dan teknologi. "Kita perlu tanya dulu, pertumbuhan macam apa yang mau diciptakan dari semua perjanjian ini,” ujarnya.

Sidan menegaskan, diplomasi ekonomi memang membuka banyak peluang bagi Indonesia. Tetapi tanpa kebijakan yang memastikan pemerataan manfaat, diplomasi semacam ini justru berisiko memperlebar kesenjangan sosial, yang berujung pada instabilitas politik.

Kemenlu: Prabowo justru perkuat legitimasi Indonesia

Wakil Menteri Luar Negeri Arif Havas Oegroseno menegaskan bahwa masifnya aktivitas diplomasi Presiden Prabowo Subianto di tahun perdana justru memperkuat posisi dan legitimasi Indonesia di mata dunia.

Wakil Menteri Luar Negeri, Arief Havas OegrosenoFoto: Ausirio Sangga Ndolu/DW

Dalam wawancara eksklusif dengan DW Indonesia, Ia menolak pandangan bahwa kehadiran Prabowo di forum internasional adalah sekadar keinginan pribadi untuk tampil di panggung dunia, tanpa mempertimbangkan tujuan diplomatik yang jelas.

"Justru sebaliknya, dengan kunjungan ke berbagai kawasan dunia, ke PBB, ke Amerika Serikat, ke Cina, itu memperkuat legitimasi Indonesia sebagai negara yang punya politik luar negeri bebas aktif,  independen menentukan arah sendiri," sebut Havas.

Ia juga menyanggah bahwa setiap pidato yang dibawakan Prabowo di berbagai forum internasional adalah sikap personal presiden yang dinilai tak sejalan dengan panduan dari diplomat Kemenlu, meski ia juga mengakui bahwa tim presiden memiliki tim penulis pidatonya sendiri.

"Tidak ada istilah tidak koordinasi. Setiap pidato presiden disiapkan oleh tim speech writer yang berkoordinasi dengan Kemlu. Itu hal yang normal dan terjadi juga di negara demokrasi lain."

Havas meyakini setiap pemimpin memiliki gaya komunikasi dan pola diplomasi yang berbeda. Menurutnya, pola diplomasi yang berpusat pada figur kepemimpinan Prabowo dapat memperkuat kebijakan politik luar negeri Indonesia di kancah global.

"Ya kita harus present, karena diplomasi, being present is already half winning," ujarnya.

Editor: Arti Ekawati, 

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait